BincangMuslimah.Com – Mendengar kata perempuan banyak sekali streotype negatif yang ditujukan kepadanya. Mulai dari perempuan adalah manusia setengah, makhluk kedua hingga kasus kekerasan yang menimpanya. Kekerasan berupa verbal, fisik, mental bahkan seksual. Kondisi ini sering menjadi penyebab rusaknya fungsi-fungsi organ tubuh dan reproduksi perempuan.
Laporan PBB menyebutkan setiap tahunnya lebih dari sejuta perempuan meninggal oleh sebab kehamilan maupun melahirkan, Tujuh ribu perempuan meninggal karena keguguran dan pengguguran. Lebih mirisnya lagi, Tujuh juta bayi meninggal dikarenakan kondisi perempuan belim siap melahirkan dan tidak mendapatkan fasilitas layak. (Panduan Konvensi-Konvensi Utama PBB Tentang Hak Asasi Perempuan, Yayasan Jurnal Perempuan,2011).
Kenyataan tersebut tidak sangat sesuai dengan konsep Islam yang memuliakan perempuan. Kita tentunya tahu bahwa memenuhi hak-hak perempuan merupakan memenuhi hak asasi manusia. Islam sangat memuliakan perempuan, Islam sangat meninggikan derajat perempuan. Jelas dalam al-Qur’an Surat Luqman ayat 32: 412 bahwa “Kami wasiatkan kepada manusia (untuk berbuat baik) kepada kedua orang tua, karena ibunya telah mengandungnya dengan penuh kesusahan di atas kesusahan dan menyusuinya selama dua tahun, bersyukurlah kepada-Ku dan kedua orang tuamu, dan hanya kepada-Ku kamu akan kembali”. (QS. Luqman, 31: 412).
Fakta dan data di atas memaparkan secara jelas bahwa belum terjaminnya kesehatan reproduksi perempuan. Ini sangat berkaitan dengaan hak reproduksi perempuan dan dinilai sangat timpang juga tidak setara. Perempuan masih diposisikaan pada kondisi tidak berdaya dan berada dalam relasi kuasa dari patriarki.
Berkaitan tentang ini, Kiai Hussein Muhammad dalam buku Fiqih Perempuan menjabarkan pandangan al-Quran tentang hak reproduksi perempuan secara metodologis. Beliau memaparkannya melalui tafsir fiqh, yaitu cara membandingkan penafsiran para ulama dari al-Qur’an dengan kaidah ushul fiqh untuk menimbang suatu masalah, yang dalam hal ini berkaitan dengan reproduksi perempuan. Kiai Husein Muhammad menjabarkan ada empat hak reproduksi perempuan yakni:
Hak Menikmati Hubungan Seksual
Kita tidak bisa menafikan bahwa selain makhluk berakal, manusia juga makhluk seksual. Seks merupakan naluri atau nafsu yang ada dalam dirinya. Dalam Islam setiap bentuk naluri kemanusiaan memiliki tempat dan derajat, tentunya naluri ini harus disalurkan. Nikah atau kawin adalah hubungan seksual (persetubuhan) yang dilegitimasi agama.
Terminologi sosial menafsirkan berbeda-beda sesuai kecenderungan cara berperspektifnya. Dalam fiqih, sebagian besar ulama sepakat dan mendefinisikan nikah sebagai hak laki-laki atas tubuh perempuan untuk tujuan penikmatan seksual. Dalam pandangan berbeda-beda para ulama menyimpulkan nikah sebagai akad yang memberikan kepemilikian kepada laki-laki untuk memperoleh kesenangan dari tubuh seorang perempuan, karena mereka sepakat bahwa pemiliki kesenangan seksual adalah laki-laki.
Kemudian Islam datang memberikan kemerdekaan dan membebaskan perempuan. Al-Qur’an turun untuk mewartakan dan memberikan kepada perempuan hak-hak yang sama dengan laki-laki. Perempuan memiliki hak atas laki-laki dengan baik. Pada akhirnya kita bisa menarik benang merah bahwa nikah sebagai suatu perjanjian hukum yang memberikan hak seksual kepada laki-laki dan perempuan untuk tujuan-tujuan yang dikehendaki bersama.
Hak untuk Menolak Berhubungan Seksual.
Menurut asas keadilan dan kesetaraan laki-laki dan perempuan, mengenai hubungan hubungan seksual sesungguhnya dapat berlaku terhadap suami ketika dia menolak melayani keinginan seks istrinya.Ibnu Abbas mengatakan bahwa “aku suka berdandan untuk istriku seperti aku suka dia berdandan untukku” Ucapan ini mengandung arti bahwa suami dan istri perlu saling memberi dan menerima dalam suasana hati yang menggairahkan dan menyenangkkan.
Hak untuk Menolak Kehamilan.
Nabi SAW pernah menyatakan “Kesyahidan itu ada tujuh, selain terbunuh dalam perang sabilillah; orang yang mati karena keracunan lambungnya, yang tenggelam dalam air, yang pinggangnya terserang virus, yang terkena lepra, yang terbakar api, yang tertimbun bangunan dan perempuan yang mati karena melahirkan”. (Hadits riwayat Abu Dawud, an-Nasai, Ibn Majah dan Ibn Hibban, lihat: al-Mundziri, at-Targhib wa at-Tarhib min al-Hadits asy-Syarif, II/335).
Hal ini Nabi jelas memberikan jaminan surga bagi perempuan yang mati karena melahirkan. Kedudukannya di hadapan Tuhan disamakan dengan prajurit di medan perang melawan musuh. Pernyataan Nabi tersebut tidak lain merupakan penghargaan yang tinggi bagi perjuangan perempuan yang mati karena melahirkan.
Akan tetapi ada anggapan sebagian orang bahwa karena kematian syahid merupakan pahala yang besar dan ada jaminan masuk surga, maka mereka kadang tidak perlu merasa harus memberikan perhatian yang sungguh-sungguh. Ini jelas merupakan anggapan yang sangat konyol. Hasil penelitian para ahli kependudukan dan kesehatan reproduksi perempuan menunjukkan bahwa komplikasi kehamilan dan persalinan benar-benar merupakan pembunuh utama kaum perempuan usia subur.
Berkaca dari kasus ini, sangat logis untuk memperoleh pertimbangan suami jika perempuan mempunyai hak atau pilihan menolak untuk hamil. Beggitu dalam menentukan jumlah anak yang diinginkannya. Tidak seorangpun mengingkari bahwa di dalam perut perempuanlah kandungan itu cikal-bakal manusia berada dan meskipun ada peran laki-laki bagi proses pembuahan, tetapi perempuanlah yang merasakan segala proses dan persoalannya.
Hak untuk Aborsi.
Meskipun penggunaan alat kontrasepsi dan cara-cara lainnya menjadi upaya mencegah kehamilan, sangat belum menjamin perempuan tidak bisa hamil. Keputusan untuk janin tetap hidup ataupun meninggal tetap ada di tangan Tuhan. Kehamilan tanpa dikehendaki bisa saja terjadi, lalu bolehkah perempuan menggugurkannya? Bagaimana hukum aborsi dalam Islam?
Islam pada prinsipnya melarang mengharamkan segala bentuk perusakan, pelukaan dan pembunuhan terhadap manusia. Nabi dalam salah satu sabdanya mengatakan: “Janganlah membuat kerusakan (hal yang membahayakan) atas diri sendiri dan atas orang lain”. Dalam ayat al-Qur’an juga dinyatakan: “janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah membunuhnya kecuali karena kebenaran”.
Akan tetapi dalam kehidupan kita seringkali dihadapkan pada pilihan-pilihan yang sulit. Pada persoalan pengguguran kandungan, misalnya ada dua pilihan yang sama-sama berat. Menggugurkan janin dalam kandungan dapat berarti membunuh jiwa yang sudah hidup, tetapi membiarkannya terus hidup di dalam perutnya karena alasan tertentu boleh jadi mengakibatkan penderitaan atau bahkan kematian ibu.
Fiqih menawarkan beberapa pilihan, diantaranya para ulama fiqh sepakat bahwa aborsi tidak boleh dilakukan sesudah janin berusia 120 hari (empat bulan). Kandungan berusia 120 hari itu dalam pandangan mereka sudah merupakan wujud manusia hidup dengan segala kelengkapannya, karena itu ia adalah benar-benar manusia.
Dalam banyak pandangan pengguguran kandungan pada usia janin ini sebenarnya tidak bisa disebut sebagai aborsi tetapi pembunuhan. Sementara aborsi sebelum usia tersebut para ahli Islam mempunyai pandangan yang sangat plural atau beragam. Para ulama seluruhnya mendasarkan pandangannya terhadap hal ini pada surah al-Mukminun ayat 12-14.
Menurut mazhab Hanafi bahwa aborsi dapat dilakukan sebelum usia kandungan 120 hari, karena suatu alasan atau tidak. Sedang Al Karabisi dari Mazhab Syafi’i, seperti dikutip al Ramli dalam Nihayah al Muhtaj, hanya membenarkan aborsi ketika masih berupa nutfah (zygote).
Pendirian paling ketat dikemukakan oleh al-Ghazali dari mazhab Syafi’i. Ia mengharamkan aborsi sejak terjadinya pembuahan. Pedapat ini dikemukakan juga oleh mayoritas mazhab Maliki, Ibnu Hazm al Zhahiri dan sebagian Syi’ah. (Lihat, al Ghazali dalam Ihya Ulum al Din, Ibnu Rusyd dalam Bidayah al Mujtahid, Ibnu Hazm dalam Al Muhalla, Jad al Haq dalam Ahkam al syar’iyyah al Islamiyah fi masail al Thibbiyah).
Demikianlah hak reproduksi perempuan menurut Kiai Hussein Muhammad. Pada akhirnya kita dapat benang merah bahwasanya segala hal yang berhubungan dengan kemanusiaan termasuk perempuan dan gender dalam Islam ditempatkan dalam kesetaraan dan keadilan.