BincangMuslimah.Com – Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah merilis secara resmi jadwal pemilihan kepada daerah (Pilkada) 2024. Ketetapan tersebut terdapat pada Peraturan KPU (PKPU) Nomor 2 Tahun 2024 tentang Tahapan dan Jadwal Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota Tahun 2024.
Hak politik apa saja yang harus penyandang disabilitas terima? Tulisan ini akan membahas hak politik bagi penyandangan disabilitas, dan apakah pemilu yang selama ini berlangsung sudah inklusif? Mengambil dari webinar yang oleh Kemitraan dalam peringatan Hari Disabillitas dan Hari HAM.
Hak Politik bagi Penyandang Disabilitas
UUD 1945 sudah menyebutkan secara komprehensif tentang hak politik penyandang disabilitas pada pasal 27 ayat (1), pasal 28H ayat (2), pasal 28 ayat (1), (2), (4), (5) dan pasal 28J. Dalam UU No. 8 Tahun 2016 tentang Disabilitas pasal 13 sudah sangat rinci menyebutkan hak politik penyandang disabilitas meliputi:
- memilih dan dipilih dalam jabatan publik;
- menyalurkan aspirasi politik baik tertulis maupun lisan;
- memilih partai politik dan/atau individu yang menjadi peserta dalam pemilihan umum;
- membentuk, menjadi anggota, dan/atau pengurus organisasi masyarakat dan/atau partai politik;
- membentuk dan bergabung dalam organisasi penyandang disabilitas dan untuk mewakili penyandang disabilitas pada tingkat lokal, nasional, dan internasional;
- berperan serta secara aktif dalam sistem pemilihan umum pada semua tahap dan/atau bagian penyelenggaraannya;
- memperoleh Aksesibilitas pada sarana dan prasarana penyelenggaraan pemilihan umum, pemilihan gubernur, bupati/walikota, dan pemilihan kepala desa atau nama lain; dan
- memperoleh pendidikan politik.
Lebih lanjut Kode Inisiatif telah memetakan, setidaknya hak penyandang disabilitas sebagai pemilih antara lain:
- hak memilih dan dipilih;
- hak mendapat sosialisasi pemilu;
- hak pendataan khusus (DPS+DPT+DPK);
- berhak mendapat surat suara khusus;
- berhak mendapatkan TPS yang sesuai dan kemudahan akses; dan
- berhak mendapat surat suara khusus.
Hambatan Hak Untuk Dipilih
Sedangkan hak untuk dipilih untuk penyandang disabilitas, diikutsertakan dalam kandidasi, difasilitasi saat kampanye, dan sengketa hasil suara. Tidak terbentuk prasyarat sehat jasmani dan rohani, serta mendapatkan penegakan hukum pemilu yang inklusif.
Namun, pada faktanya hak dipilih masih diskriminatif. Hambatan sehat jasmani dan rohani, masih krusial. Padahal terdapat perbedaan orang dan penyandang disabilitas adalah “hambatan dalam waktu lama”. Jadi apabila organ vital seperti jantung, paru-paru, ginjal, hati tidak berfungsi, maka orang akan meninggal. Namun, penyandang disabilitas, bisa menggunakan alat bantu dengar, tongkat, komputer bicara, bahasa isyarat, dan lainnya. Sehingga seharusnya caleg disabilitas ini bukan termasuk orang yang sakit, karena mereka mengalami hilangnya fungsi indra misalnya mata, maka mereka sudah mampu bertahan dengan alat bantu.
Adapun hambatan lain caleg disabilitas ketika mencalonkan maka akan mendapat penempatan pada daerah yang jauh dari dapilnya. Banyak kasus caleg disabilitas bisa lolos seleksi administrasi, tetapi gugur saat wawancara. Maka itu sangat penting adanya affirmative action (kuota 2%) dan bantuan hukum, pendidikan politik perempuan dan disabilitas.
Data dari (Pusat Pemilihan Umum Penyandang Disabilitas) PPUA Disabilitas, pada pemilu 2019 terdapat 43 caleg disabilitas. Pemilih disabilitas masih minim, padahal penduduk disabilitas 14,2% atau setara 30,38 jiwa (data susenas 2018). Jika ada 30% pemilih disabilitas yang mempunyai hak politik lalu menyalurkan hak suaranya, maka akan ada 9 juta orang pemilih disabilitas. Namun, hingga 2 minggu menjelang pilkada serentak 9 Desember data pemilih tetap penyandang disabilitas belum juga tersedia. KPU RI pada 2019 mendapatkan apresiasi untuk pemilu yang inklusif. Penyandang disabilitas harus tetap memberikan hak suaranya, karena semakin sedikit yang datang ke TPS maka yang akan mengurusi disabilitas cukup hanya keluarga.
Sementara itu, Fajri Nursyamsi, peneliti dari PSHK mengatakan Saat ini ada sekitar 17 RUU yang belum sah dan masih menjadi prioritas 2020, yang sebenarnya RUU tersebut sangat terkait dengan isu disabilitas. Cara pandang pemerintah yang masih mengeksklusifkan penyandang disabilitas padahal itu adalah hambatan. Justru seharusnya pemerintah mendorong akses partisipasi publik bagi penyandang disabilitas, bisa memulainya dari transparansi informasi dan dokumen yang aksesibel, misalnya menyediakan dokumen dalam format braille dan lainnya.
Ciptakan Pemilu Tanpa Diskriminasi
Catatan dari Komnas HAM, partisipasi politik khusus disabilitas jarang ada diskusi yang jernih. Masih banyak stigma seperti “masa kita mempunyai pemimpin orang yang gila?” padahal disabilitas mental masih bisa berpartisipasi untuk dipilih. Sudah seharusnya kita ubah mindset ke penyandang disabilitas dari pendekatan “belas kasihan” atau charity beralih ke pendekatan sosial dan pendekatan hak, bahwa masyarakat disabilitas berpartisipasi dalam politik mulai dari pemerintahan desa, sosial dan isu lain.
PPUA Disabilitas sebagai lembaga yang mewakili penyandang disabilitas memberikan saran untuk pemilu yang inklusif. TPS di desain atas dasar kaidah desain universal, sehingga semua orang antara lain, lansia, orang gemuk, pengguna kursi roda, orang kecil, pengguna tongkat dapat dengan bebas hambatan melaksanakan pemungutan suara di TPS.
Upaya untuk mempermudah dapat melakukan beberapa hal, antara lain: menempatkan TPS pada daerah yang rata (daratannya), terjangkau, tidak berbatu-batu, tidak berumput tebal. Selain itu, lebar pintu TPS 90cm, meja coblos TPS yang berongga, tinggi kotak suara tidak lebih dari 110 cm, pendampingan disabilitas, dll. ada usulan untuk penambahan JBI di setiap TPS, meskipun pelaksanaan saat ini belum merata di setiap daerah.
Untuk disabilitas tuli, petuga TPS bisa menggunakan sistem komunikasi dengan alat tulis. Sementara untuk disabilitas netra, ketika membaca alat bantu coblos braille tidak usah memakai sarung tangan atau bagian jari telunjuk kanan agar dapat membaca huruf braille.
Jadi sudah seharusnya kita mengubah pandangan kita terhadap penyandang disabilitas. Bukan belas kasihan melainkan menganggap mereka mampu seperti kita. Dengan terus melebel “belas kasihan” malah justru menjadi hambatan untuk mereka. Pemilu sejatinya adalah pesta demokrasi bagi rakyat, maka sudah seharusnya ramah terhadap disabilitas, karena suara mereka juga menentukan arah pembangunan bangsa ini.
5 Comments