BincangMuslimah.Com – Tidak jarang seorang muslimah dihadapkan dengan pilihan sulit ketika menjadi pekerja migran, terutama saat bekerja di negara minoritas muslim, seperti salah satunya dilarang majikannya untuk memakai jilbab. Ada yang merasa khawatir karena sangat membutuhkan pekerjaan tersebut dan galau jika harus keluar dari pekerjaannya. Lantas, ia harus ikut aturan majikan atau terus berpedoman pada agama?
Sejauh ini, para ulama klasik maupun modern mengenai pendapatnya tentang jilbab tidak tunggal. Ada yang mewajibkan secara mutlak, ada yang mewajibkan dengan lentur dan ada yang juga tidak mewajibkan, dengan menganggap bahwa mengenakan jilbab hanya simbol keagamaan. Namun, harus diakui bahwa mayoritas ulama bersepakat bahwa mengenakan jilbab itu wajib, meskipun mungkin dengan proses yang panjang.
Begitu pula dengan perbedaan pendapat hubungannya dengan hukum melepas hijab disebabkan pekerjaan. Berkaitan dengan hal ini, pernah Sayyid Abdurrahman al-Masyhur dalam salah satu kitabnya mengatakan bahwa kewajiban mengikuti pimpinan atau instansi pekerjaannya adalah ketika aturannya seirama dengan ajaran Islam dan tidak keluar darinya. Jika keluar, maka tidak wajib untuk taat dan patuh dengannya.
تَجِبُ طَاعَةُ الْإِمَامِ فِيْمَا أُمِرَ بِهِ ظَاهِراً وَبَاطِناً مِمَّا لَيْسَ بِحَرَامٍ
Artinya: “Wajib mengikuti pimpinan (lembaga pekerjaan) dalam hal-hal yang diperintah olehnya baik secara lahir maupun batin selain perintah yang haram.” (Bughyatu al-Mustarsyidin, hlm. 189).
Ditegaskan pula oleh Rasulullah bahwa tidak ada kewajiban taat jika diperintah untuk bermaksiat kepada Allah,
لَا طَاعَةَ لِمَخْلُوقٍ فِي مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ
Artinya: “Tidak ada ketaatan bagi manusia dalam bermaksiat kepada Allah.” (HR. at-Tirmidzi)
Sementara itu, Buya Yahya al-Bahjah ketika mendapat pertanyaan untuk kasus serupa, beliau mengingatkan agar seorang pekerja dalam hal ini perempuan muslimah agar tidak menggadaikan agama atau akhirat hanya untuk hal materi. Umat Islam perlu membangun keyakinan bahwa rezeki Allah itu luas dan tidak pernah salah. Maka dianjurkan mengambil rezeki dengan cara yang benar, tidak melepas jilbab untuk pekerjaan.
Buya Yahya menyarankan agar seorang pekerja tersebut segera keluar atau hijrah dari tempat yang meminta dirinya melepas jilbab. Menurut Buya disitulah letak ujian keimanan, namun hal ini dapat memupuk keyakinan seorang Muslim dan juga didalamnya terdapat ganjaran yang luar biasa.
Jangankan hubungan dengan majikan atau tempat bekerja, perintah dari orang tua saja jika melanggar hukum Allah, maka wajib bagi kita menolaknya. Buya Yahya juga menambahkan agar umat Islam tidak selalu melihat ke atas untuk urusan duniawi karena bisa memunculkan rasa tamak. Sebaliknya, ketika kita menerima gaji kecil, tetapi dari pekerjaan yang baik, maka lihatlah orang yang tidak memiliki pekerjaan. Hal itu bisa menumbuhkan rasa syukur terhadap nikmat Allah.
Dari dua pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa ketika aturan di sebuah tempat bekerja terdapat bertentangan dengan ajaran agama, maka wajib bagi pekerja tersebut untuk tetap patuh pada ajaran agamanya.
Sebenarnya, banyak contoh kasus pekerja migran yang sebelumnya bekerja dengan majikan yang melarang untuk berhijab, namun karena ingin mempertahankan hijabnya ia lantas mengorbankan pekerjaannya tersebut dan memilih pindah ke majikan yang baru, beruntungnya majikan tersebut malah menghormati dan memperbolehkannya untuk menjalankan kewajibannya sebagai umat Muslim.
Jika berani ingin menyuarakan pendapat bisa mengambil cerita dari Dwi Lestari, seorang TKW di China, yang menuntut majikannya kepada pengadilan atas perlakuan diskriminatif yang dialami selama bekerja. Ia adalah salah satu pekerja migran yang dilarang untuk beribadah dan memakai jilbab. Ia menuntut ke pengadilan atas tindakan pelanggaran hak asasi manusia yang jelas dan merugikan bagi pekerja, di mana hal itu adalah bentuk diskriminasi terhadap hak kebebasan dalam berekspresi untuk melaksanakan ajaran agama.
Namun ada pula sebagian ulama yang berpendapat jika seorang pekerja tidak berdaya untuk melakukan protes atau mencari tempat kerja lain yang membolehkan memakai jilbab maka solusinya ialah menjadikan iman taqiyyah dalam bekerja. Maksudnya, jilbab tetap menjadi keyakinan, namun karena ketidakberdayaan maka boleh melepasnya. Lalu setelah selesai kerja, mengenakan lagi. Wallahu a’lam bis-shawwab.