BincangMuslimah.Com – Mendekati perhelatan Pemilu 2024, euforia pengusungan capres dan cawapres semakin terasa di khalayak, khususnya di media sosial. Pengguna media sosial mulai ramai memperbincangkan kualifikasi nama-nama politikus yang akhir-akhir ini digadang untuk maju di Pemilu 2024.
Salah satunya adalah isu mengenai perbincangan dan fanatisme soal garis keturunan para politikus. Pun, tak jarang terlihat ada gelagat pengkultusan calon-calon tertentu oleh para pendukung sebab garis keturunan yang dimiliki. Seperti Prabowo disebut-sebut masih keturunan Sultan Agung Mataram dan Sultan Hamengkubuwono, Anies Baswedan yang konon kental darah Arabnya, Ganjar Pranowo yang punya garis keturunan Sunan Kalijaga, dan lain-lain.
Lantas apakah garis keturunan bisa dijadikan standar kelayakan seseorang menjadi pemimpin? Bagaimana fanatisme garis keturunan dalam pandangan Islam?
Menengok seribu abad yang lalu, dirangkum dari kitab Muqaranah al-Adyan karya Dr. Awadullah Jad Hijazi, Nabi Daud adalah seorang raja sekaligus nabi yang memimpin sebuah kerajaan megah. Terkenal sebagai sosok yang tegas dan berani, dia juga memiliki kerendahan hati di depan rakyatnya. Nabi Daud sempat dilanda kebingungan, karena putra-putranya tidak ada yang mampu mengurus kerajaan. Hingga dia memohon kepada Allah untuk diberi keturunan yang saleh sehingga dapat meneruskan kekuasaannya. Maka lahirlah Nabi Sulaiman.
Sekalipun Nabi Sulaiman mewarisi kerajaan tersebut dari sang ayah, dia mampu menjadi sosok raja yang sangat dihormati dan disegani oleh rakyat. Sebab selain saleh spiritual, dia terbukti mampu membuat kerajaan menjadi lebih besar dan rakyatnya menjadi lebih makmur dari sebelumnya.
Sayangnya, kemakmuran tersebut tidak bertahan lama. Sepeninggal Nabi Sulaiman, Kerajaan Bani Israel terpecah belah karena pertengkaran kedua anaknya, Rehabeam dan Yerobeam. Sebab tidak sekuat dahulu, pecahan-pecahan Kerajaan Bani Israel pun akhirnya dikuasai oleh kerajaan-kerajaan besar di sekelilingnya. Maka musnahlah Kerajaan Bani Israel di muka bumi.
Kisah ini menjadi bukti bahwa garis keturunan tidak bisa dijadikan standar kelayakan seseorang menjadi pemimpin. Hanya Sulaiman, keturunan Daud, yang bisa memimpin. Anak Sulaiman pun tidak memiliki kebijaksanaan yang sama dengannya, dan justru membuat kerajaannya hancur.
Keberadaan orang-orang yang fanatik pada garis keturunan sudah ada dari dulu. Sejak di dalam kandungan, Nabi Muhammad sudah diburu oleh orang Yahudi. Mereka tidak terima jika nabi terakhir harus dari keturunan Ismail, anak Ibrahim dari istri kedua. Bagi mereka hanya keturunan Ya’qub yang pantas menjadi nabi, sebagaimana nabi-nabi sebelumnya adalah dari keturunan mereka.
Lewat dipilihnya Muhammad sebagai nabi dari keturunan Ismail, Allah mengajarkan dua hal. Pertama, Islam adalah agama rahmatan lil alamin. Tidak hanya bagi orang Yahudi, agama yang dibawa nabi terakhir ini menjadi rahmat bagi seluruh manusia di muka bumi, sehingga kedudukan etnis mana pun setara. Kedua, fanatisme etnis yang diyakini orang Yahudi merupakan hal yang tidak dibenarkan oleh Allah. Sebab saking fanatik, mereka mengingkari kebenaran yang sudah tertulis jelas dalam Taurat, bahwa nabi terakhir adalah sosok yang bukan dari etnis mereka. Mengerikannya, mereka bahkan berencana untuk menghabisi Muhammad saat masih kecil.
Dua hal di atas semestinya dapat memahamkan masyarakat kalau Islam tidak membenarkan adanya pengkultusan seseorang atas dasar garis keturunan. Sayangnya, masih banyak orang salah paham. Islam justru dianggap mengajarkan sikap fanatik terhadap garis keturunan. Di antaranya sebab riwayat hadits, “Sebaik-baik manusia adalah bangsa Arab. Sebaik-baik bangsa Arab adalah suku Quraisy, dan sebaik-baik suku Quraisy adalah keturunan Hasyim.”
Oleh Imam Syaukani hadits ini dinilai maudhu’ sebab dalam runtutan sanadnya banyak perawi yang tidak diketahui. Namun ada hadits lain dengan redaksi berbeda yang menarasikan hal serupa. “Sesungguhnya Allah telah memilih Kinanah dari anak Ismail, memilih Quraisy dari Kinanah, memilih Bani Hasyim dari Quraisy, dan memilihku dari Bani Hasyim.” (HR. Muslim : Shahih)
Oleh para ulama, hadits ini ditafsirkan sedang membicarakan kemuliaan garis keturunan Nabi Muhammad. Mulai dari bani Hasyim, suku Quraisy, dan bangsa Kinanah. Kemuliaan yang dianugerahkan kepada mereka tersebut tidak bersifat mutlak yang bisa dimaknai bahwa mereka adalah bangsa atau keturunan terbaik di muka bumi.
Quraisy dimuliakan karena mereka memiliki kemampuan berbicara fasih. Bani Hasyim dimuliakan sebab darinya lahir Nabi terakhir. Oleh karena kemuliaan tersebut didasarkan pada sebab yang mendahului, maka kemuliaan tersebut bersifat khusus pada perkara tertentu. Seperti Bani Hasyim yang mendapat hak khusus harta rampasan dan tidak boleh menerima sedekah.
Maka, dalam perkara umum lainnya garis keturunan tidak bisa dijadikan patokan suatu kebaikan ataupun keunggulan. Kalau benar garis keturunan bisa dijadikan standar kebaikan atau keunggulan seseorang, maka perkataan Allah tentang kemuliaan orang saleh tidak akan ada artinya. Dalam surat Al-Hujurat Allah berkata:
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
Artinya: “Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti.”
Suku, bangsa, ras, dan nasab adalah identitas yang pasti melekat pada setiap orang. Keberagaman itu ada tidak lain supaya umat manusia saling mengenal satu sama lain. Bukan untuk dijadikan alat ukur atas kemuliaan, kebaikan, bahkan kredibilitas seseorang untuk memimpin sebuah negara. Sebab kata Allah, mulia tidaknya seseorang ditentukan oleh keimanan masing-masing.
Bahkan dalam redaksi ayat tersebut Allah menggunakan susunan jumlah ismiyyah yang menyimpan makna “langgeng”, disertai dengan lafaz inna yang menunjukkan kesungguh-sungguhan. Artinya, sungguh selamanya orang yang mulia adalah orang-orang yang bertakwa.
Mengamalkan kandungan ayat tersebut, di era masifnya kontestasi politik sekarang ini, mari kita lebih bijak lagi dalam menilai para kontestan. Terlebih dalam menyikapi manuver-manuver politik yang memanfaatkan identitas kesukuan maupun keturunan. Identitas yang melekat pada mereka cukup kita jadikan titik awal untuk mengenal. Selanjutnya, perlu kita selami pemikiran, visi dan misi yang mereka bawa.