BincangMuslimah.Com – Buzzer politik terus menjadi buah bibir di masa pemilihan umum (pemilu) seperti sekarang. Aktivitas ini merupakan salah satu strategi kampanye calon kandidat politik melalui media sosial oleh seseorang secara pribadi maupun kelompok dengan menunjukkan atau menyembunyikan identitasnya. Stigma positif dan negatif pun tidak bisa lepas dari aktivitas oknum tersebut.
Apa sebenarnya yang ada di balik buzzer politik? Lalu bagaimana hukum buzzer politik ini dalam Islam?
Siapakah Buzzer Politik?
Buzzer dalam kamus Oxford berarti lonceng, bel atau perangkat elektronik yang digunakan untuk membunyikan dengungan guna menyebarkan sinyal atau tanda tertentu. Secara istilah, buzzer merupakan seseorang yang menyuarakan pendapat melalui media sosial dengan tujuan tertentu. Dalam hal ini, buzzer politik berarti aktivitas penyebaran informasi politik di media sosial untuk mempengaruhi maupun menciptakan opini publik.
Center for Innovation Policy and Governance (CIPG) menjelaskan hasil penelitiannya pada 2017 bahwa buzzer pertama kali muncul di Indonesia pada tahun 2019. Hal itu bersamaan dengan banyaknya pengguna twitter di Indonesia. Buzzer kemudian banyak diminati oleh masyarakat atau tokoh politik untuk membantu menaikkan citra baik suatu proyek tertentu dalam proses pemasarannya.
Dalam jurnal Peran Buzzer Politik dalam Aktivitas Kampanye di Media Sosial Twitter, Felicia Riris Loisa menyebut, setelah 2014 profesi buzzer terbagi menjadi dua kategori, yaitu buzzer yang dilakukan dengan sukarela (menyebarkan informasi mandiri dan tidak mendapat arahan) dan buzzer yang dilakukan dengan permintaan (menyebarkan informasi atau propaganda politik tertentu dengan dibayar).
Christiany Juditha pun menjelaskan dalam jurnalnya Buzzer di Media Sosial pada Pilkada dan Pemilu Indonesia bahwa buzzer politik biasanya berasal dari orang biasa, artis, maupun institusi yang dapat membawa pengaruh besar bagi masyarakat. Hal ini bertujuan sebagai strategi marketing black campaign atau kampanye gelap. Namun realita buruknya, beberapa dari mereka malah menyebarkan berita hoaks, menghasut, hingga hatespeech antar lawan politik.
Islam Merespon Aktivitas Ini
Secara eksplisit, Islam menganjurkan umatnya agar berhati-hati terhadap informasi yang datang dan dengan tegas pula melarang untuk menebar berita bohong. Anjuran ini terekam dalam Q.S. Al-Hujurat [49]: 6 berikut:
يا أَيُّهَا الَّذينَ آمَنُوا إِنْ جاءَكُمْ فاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصيبُوا قَوْماً بِجَهالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلى ما فَعَلْتُمْ نادِمينَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
Muhammad bin Umar An-Nawawi Al-Jawi Al-Bantani dalam kitab Mirqat Su’udit Tashdiq Syarh Sullamit Taufiq menjelaskan bahwa setiap ucapan yang menyakiti orang Islam seperti mengolok-olok dan menghina termasuk perbuatan yang dilarang.
والاستهزاء أي السخرية بالمسلم و هذا محرم مهما كان مؤذيا كما قال تعالى : (يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّنْ قَوْمٍ عَسٰٓى اَنْ يَّكُوْنُوْا خَيْرًا مِّنْهُمْ), و كل كلام مؤذ له أي للمسلم كإفشاء السر
Artinya, “Dan menghina, yaitu mencemooh orang muslim, adalah hal yang diharamkan, tidak peduli seberapa menyakitkannya. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman: ‘Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan itu) lebih baik daripada mereka (yang mengolok-olok)’. Dan setiap ucapan yang menyakiti orang Islam adalah seperti menyebarkan rahasianya.”
Dalam buku Islam dan Politik, Prof. Quraisy Shihab membawa kita pada kilas balik sejarah Islam perihal kebijaksanaan Nabi Muhammad saw. dalam praktik politik, di mana beliau tidak sedikitpun berkhianat terhadap lawan (saat pembentukan Piagam Madinah) dan menafikan tujuan berpolitik untuk meraih kekuasaan belaka.
Kompas.com memaparkan penjelasan Ketua Bidang Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Asrorun Niam Sholeh, yang menyebut MUI telah menetapkan Fatwa Nomor 24 Tahun 2017 tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah Melalui Medsos. Salah satunya membahas mengenai hukum aktivitas buzzer atau sejenisnya yang berisi berita fitnah, aib, dan lainnya adalah haram.
Selanjutnya, ulama Buya Yahya pada salah satu kajiannya menjelaskan bahwa Allah saja melarang kita untuk memaki sesembahan atau Tuhan kepercayaan agama lain. Apalagi perlakuan buruk terhadap sesama manusia sebagaimana aktivitas di atas. Beliau juga memberikan anjuran bagi kita untuk berijtihad memahami karakteristik pemimpin yang akan kita pilih kemudian mendukungnya atas dasar kesadaran dan akal sehat kita. Terlebih lagi menghindari untuk membenci kandidat lain dan menebar kebencian.
Oleh karena itu, hukum menjadi buzzer politik dalam Islam tidak diperbolehkan karena pekerjaan yang dilakukan adalah memfitnah, menyakiti, menebar berita bohong, dan sejenisnya. Di situasi yang semakin tegang menjelang politik seperti sekarang kita harus lebih bijak memfilter informasi yang berseliweran di media sosial.
1 Comment