Ikuti Kami

Kajian

Hakikat Pasrah yang Salah

pasrah yang salah
tawakal

BincangMuslimah.Com – Beberapa waktu lalu, seorang jurnalis independen sekaligus pembuat film, menulis pada journal terbitan Moskow, NEO (New Eastern Outlook) tentang ‘rasa muaknya’ terhadap masyarakat Indonesia pada umumnya, dan penduduk Jakarta pada khususnya.  Di dalam artikelnya yang memuat empat ribu karakter lebih, Andre Vltchek mengungkapkan sebaris kalimat yang saya tidak sanggup membacanya, “…poor are used to being poor, obedient and ‘entrusting their fate into God’s hands’, in the Indonesian language called pasrah…”

‘Masyarakat miskin sudah terbiasa menjadi miskin, mereka patuh dan meletakkan keyakinan mereka pada Tuhan, atau dalam bahasa Indonesia disebut pasrah.’ Demikian artinya. Artikel yang ditulis Vltchek bukan artikel jurnalis sekali jadi. Dia juga bukan jurnalis kemarin hari. Selain sudah ‘bertualang’ ke berbagai negara dan situasi konflik, Vltchek juga termasuk salah satu jurnalis yang akrab dengan almarhum Gus Dur.

Dengan begitu, sudah barang tentu apa yang dia amati dari sepak terjang negeri kita ini bukanlah suatu hal baru. Dia sudah melewati seluk beluk masyarakat Indonesia sampai ke akar-akarnya. Beberapa pembaca buku-buku ‘langka’ juga pasti sudah mengenal salah satu karyanya, “Indonesia, Archipelago of Fear” dan saya yakin akan mengerti bagaimana masyarakat kita dipandang dan dijelantrahkan sedemikian rupa di dalamnya.

Namun, bukan tentang Vltchek yang ingin saya paparkan, Saudara. Melainkan tentang pandangan dia sebagai orang ‘luar’ Indonesia yang bertahun-tahun menggeluti kenyataan ini di dalam masyarakat kita, menilai bahwa sikap pasrah sebagai salah satu pemicu masyarakat kita enggan melangkah lebih baik.

Dijelaskan bahwa kondisi masyarakat kita yang miskin, tinggal di daerah kumuh, air-air kita yang tidak bersih, lingkungan kita yang tidak ramah anak. Semua itu seakan-akan menjadi suatu hal wajar dan lumrah bahkan dinikmati seperti halnya barang bermanfaat. Setiap investigasi dan turun lapangan, Vltchek mendeteksi adalahnya sikap pasrah yang salah dalam masyarakat kita, ia tidak menemukan adanya sikap marah dari bangsa Indonesia yang miskin dan terus terkikis kaum kapitalis. Justru sebaliknya, malah menghamba, memuja.

Baca Juga:  Resensi Buku: Tepi Feminis Al-Qur'an Aysha A. Hidayatullah (bag II)

Sepatutnya, bangsa ini muak dengan kondisi yang mereka terima. Bagaimana tidak, sumber daya kita sejak dahulu sekali telah dan masih dieksploitasi negara lain. Dari mana setiap hari kita dapatkan minuman bersih dan higienis jika bukan dari merek luar yang menancapkan kuku kuat-kuat di bumi Indonesia?

Generasi milenial yang semakin bangga pada produk-produk murah milik perusahaan kapitalis, menganggap segala sesuatu yang populer, murah dan terjangkau sebagai suatu kemajuan. Memajang segala gaya hidup ‘kekinian’ di akun-akun media sosial mereka. Sementara dalam waktu yang sama mereka pun tahu betapa banyak warga miskin yang hidup di lingkungan kotor dan tidak layak tinggal bersebelahan berseiringan dengan mereka.

Warga miskin ini yang kemudian mengandalkan nasihat-nasihat pendahulu tentang “pasrah” sebagai acuan bahwa bagaimanapun kondisi kehidupan mereka harus dijalani dengan sikap ‘nrimo’ (atau dalam bahasa Indonesia, menerima ikhlas). Suatu sikap yang saya yakin, tidaklah tepat jika diaplikasikan dalam kondisi hidup tidak layak. Pasrah yang diwariskan dalam budaya kita bukanlah pasrah pada kebodohan dan ketertinggalan. Pasrah yang diajarkan Islam berabad-abad lalu di bumi Indonesia bukanlah pasrah pada ketidaktahuan dan keserakahan. Itu adalah hakikat pasrah yang salah.

Pasrahnya Manusia Jawa

Manusia Jawa memang mengambil anasir tumbuhan (tuwuhan) sebagai contoh yang patut ditiru. Salah satu sifat tumbuhan dikatakan, jejeg ngadeg mapan kang dadi papane (artinya, tegak berdiri di tempat yang menjadi tempatnya). Ungkapan tersebut lekat dalam kehidupan masyarakat Jawa, mulai dari cara mereka berpakaian, berlaku hidup sampai pada prinsip-prinsipnya. Manusia Jawa pun lebih memilih untuk tinggal di mana mereka berasal dan tumbuh, seperti akar-akar tumbuhan yang menjalar dan menghujam ke dalam tanah.

Manusia Jawa memang bersikeras untuk hidup di dalam ‘kandang’ mereka sendiri. Seperti yang dikatakan Iman Budhi Santosa dalam Suta Naya Dhadhap Waru (2017:12) “…mengapa mereka diajak hidup enak-kepenak justru mopo? Mengapa akhirnya ngotot ingin pulang kampung? Ibarat memilih tidur meringkuk beralaskan tikar. Kehujanan jika musim hujan dan kepanasan jika musim kemarau. Makan seadanya dengan sayur hasil tanamannya sendiri, bertani mengolah sepetak tanah dengan wulu-wetu yang tidak seberapa…”

Baca Juga:  Dua Manusia yang Boleh Kita Sikapi dengan Iri

Memilih untuk hidup di dalam prinsipnya, namun bukan berarti keras kepala melainkan sadar betul bahwa dia harus pula memberikan kontribusi pada apa yang selama ini telah menghidupinya. Dalam perjuangan manusia Jawa menjalani hidup sederhana mereka tersirat budaya pasrah atau yang dikenal sebagai narima ing pandum (Ibid, 2017:x), menerima secara tulus dan ikhlas atas kodrat yang diberikan di alam semesta sebagaimana tumbuhan. Namun bukan berarti suatu konsep pasrah yang juga akan rela jika dihadapkan dengan tekanan, penistaan, dan ketidakseimbangan kehidupan.

Narima ing pandum dalam falsafah dan budaya Jawa merupakan sikap pasrah atas pemberian Tuhan dengan cara mensyukuri dan mengelola ‘amanat’ dengan baik. Sebagai bukti diceritakan dalam Suta Naya Dhadhap Waru (2017:14), “Sebagai masyarakat agraris sesungguhnya mayoritas orang Jawa memiliki kepedulian tinggi terhadap alam lingkungan.”

Manusia Jawa pada hakikatnya mewujudkan sikap pasrah dengan sangat perilaku yang tepat; mengurus dan melestarikan apa yang sudah diterima. Zaman dulu, sungai-sungai dan selokan dilarang untuk dijadikan tempat buang air (BAK dan BAB) terlebih buang sampah. Air sendiri memiliki tempat tinggi dalam filosofi budaya Jawa. Selain dijuluki ‘sang sumber kehidupan’, air yang dalam cerita pewayangan dinamakan tirta dan adapula hikayat tentang tirta amerta (air yang menyebabkan tidak mati) sesungguhnya bermakna air sebagai sumber kehidupan adalah air yang bersih dan terhindar dari segala macam bakteri, virus penyebab berbagai penyakit.

Pasrah menurut budaya Jawa dengan demikian bukanlah suatu sikap rela atas keburukan hidup. Hidup yang buruk semestinya diubah menjadi baik. Sikap pasrah yang tepat menurut budaya Jawa adalah sikap menerima dengan ikhlas atas pemberian (amanat) dari Tuhan terkait alam semesta ini dengan jalan merawatnya. Bukan membiarkan lingkungan terpapar polusi, bukan pula membiasakan diri tinggal dalam kesengsaraan. Itu adalah pasrah yang salah.

Baca Juga:  Ragam Bentuk Perilaku Penghormatan

Sikap Pasrah dalam Islam

Sebagaimana budaya Jawa menginterpretasikan sikap pasrah, Islam telah berabad-abad lalu melalui Rasulullah saw. memaknai definisi pasrah dalam kehidupan sehari-hari. Islam mengenal pasrah dalam bahasa Arab ‘tawakkal’. Di dalam Alquran, menurut Quraish Shihab, kata ‘tawakkal’ diambil dari wazan ‘wakala-yakilu-waklan’ yang bermakna mewakilkan. Manusia menyerahkan (memasrahkan) urusannya kepada Allah Swt.

Namun, karena Allah Swt adalah Zat Yang Maha Esa, perwakilan yang dimaksud bukanlah bermakna lahiriah layaknya seorang manusia melepas atau mewakilkan urusannnya pada manusia lain. Jika demikian adanya, tentu urusan kita sudah diselesaikan oleh yang mewakilkan kita tanpa perlu keterlibatan kita di dalamnya. Adapun tawakkal dalam Islam, adalah suatu sikap pasrah pada Tuhan dengan catatan; manusia dituntut untuk berusaha lebih dulu sampai batas kemampuan yang dimilikinya.

Jika kita telusuri, sebagaimana konsep pasrah menurut budaya Jawa dan ajaran Islam, sudah semestinya kita sadar bahwa lingkungan sudah seharusnya segera diperbaiki. Baik itu lingkungan di sekitar kita maupun yang meliputi kehidupan saudara-saudara kita di pemukiman kumuh. Jika di India dan negara belahan lain saja, warga pemukiman kumuh sudah jengah dan marah atas lingkungan mereka yang kotor dan tidak layak tinggal, sudah sepantasnya masyarakat Indonesia sadar untuk membenahi juga lingkungannya.

Tindakan berbenah bisa kita mulai dari diri sendiri dengan cara tidak membuang sampah sembarangan, mengurangi pemakaian bahan plastik serta bercocok tanam untuk menyejahterakan bumi. Sikap pasrah jelas tidak sesuai diimplementasikan dalam kondisi lingkungan tidak layak hidup.

Manusia Indonesia, apapun suku bangsanya haruslah bergotong royong memperjuangkan apa yang dimiliki sebagai suatu kehormatan. Kita tidak perlu berorasi tentang gentingnya kapitalisasi di negara ini. Dengan membangkitkan daya juang dan wujud nyata manusia Indonesia di setiap keluarga untuk hidup layak, dengan sendirinya kita telah berdikari!

*Artikel ini sebelumnya pernah dimuat BincangSyariah.Com

Rekomendasi

Makna Tawakkal atau Berserah Diri kepada Allah

Ditulis oleh

M.K. Wirawan merupakan akronim dari Miranti Kencana Wirawan. Perempuan kelahiran Jakarta, 21 Oktober 1991. Alumni Kajian Timur Tengah Program Studi Sastra Arab, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret. Tulisan-tulisannya dapat diakses melalui https://miraworldweb.wordpress.com/

2 Komentar

2 Comments

  1. Pingback: Hakikat Pasrah yang Salah - BincangMuslimah.Com | Alhamdulillah Shollu Alan Nabi #JumatBerkah - Ajeng .Net

  2. Pingback: Hakikat Pasrah yang Salah – BincangMuslimah.Com | Alhamdulillah Sholli Ala Rosulillah – jumatberkah

Komentari

Terbaru

QS At-Taubah Ayat 103: Manfaat Zakat dalam Dimensi Sosial QS At-Taubah Ayat 103: Manfaat Zakat dalam Dimensi Sosial

QS At-Taubah Ayat 103: Manfaat Zakat dalam Dimensi Sosial

Kajian

Sedang Haid, Apa Tetap DiAnjurkan Mandi Sunnah Idulfitri Sedang Haid, Apa Tetap DiAnjurkan Mandi Sunnah Idulfitri

Sedang Haid, Apa Tetap DiAnjurkan Mandi Sunnah Idulfitri

Ibadah

Anjuran Saling Mendoakan dengan Doa Ini di Hari Raya Idul Fitri

Ibadah

Bolehkah Menggabungkan Salat Qada Subuh dan Salat Idulfitri? Bolehkah Menggabungkan Salat Qada Subuh dan Salat Idulfitri?

Bolehkah Menggabungkan Salat Qada Subuh dan Salat Idulfitri?

Ibadah

kisah fatimah idul fitri kisah fatimah idul fitri

Kisah Sayyidah Fatimah Merayakan Idul Fitri

Khazanah

Kesedihan Ramadan 58 Hijriah: Tahun Wafat Sayyidah Aisyah Kesedihan Ramadan 58 Hijriah: Tahun Wafat Sayyidah Aisyah

Kesedihan Ramadan 58 Hijriah: Tahun Wafat Sayyidah Aisyah

Muslimah Talk

Kapan Seorang Istri Dapat Keluar Rumah Tanpa Izin Suami? Kapan Seorang Istri Dapat Keluar Rumah Tanpa Izin Suami?

Ummu Mahjan: Reprentasi Peran Perempuan di Masjid pada Masa Nabi

Muslimah Talk

Puasa dalam Perspektif Kesehatan: Manfaat dan Penjelasannya Puasa dalam Perspektif Kesehatan: Manfaat dan Penjelasannya

Puasa dalam Perspektif Kesehatan: Manfaat dan Penjelasannya

Diari

Trending

Ini Tata Cara I’tikaf bagi Perempuan Istihadhah

Video

Ketentuan dan Syarat Iktikaf bagi Perempuan

Video

tips menghindari overthingking tips menghindari overthingking

Problematika Perempuan Saat Puasa Ramadhan (Bagian 3)

Ibadah

Tuan Guru KH Zainuddin Abdul Madjid Tuan Guru KH Zainuddin Abdul Madjid

Tuan Guru KH Zainuddin Abdul Madjid: Pelopor Pendidikan Perempuan dari NTB

Kajian

malam jumat atau lailatul qadar malam jumat atau lailatul qadar

Doa Lailatul Qadar yang Diajarkan Rasulullah pada Siti Aisyah

Ibadah

Anjuran Saling Mendoakan dengan Doa Ini di Hari Raya Idul Fitri

Ibadah

mengajarkan kesabaran anak berpuasa mengajarkan kesabaran anak berpuasa

Parenting Islami : Hukum Mengajarkan Puasa pada Anak Kecil yang Belum Baligh

Keluarga

Puasa Tapi Maksiat Terus, Apakah Puasa Batal?

Video

Connect