Ikuti Kami

Muslimah Talk

Definisi Ulama Perempuan di Balik Dekonstruksi Fikih Patriarkis

Nyai Nafiqah ulama perempuan
Definisi ulama perempuan

BincangMuslimah.Com – Kegelisahan banyak kalangan terhadap langkanya ulama di Indonesia disinyalir karena kontruksi religio-sosiologis yang menitikberatkan pada konsep ulama yang bisa dikatakan ekstrem. Apalagi ketika membahas perempuan, sepertinya pembahasan definisi ulama perempuan membutuhkan analisis yang mendalam, apalagi ditambah dengan dekonstuksi fikih patriarkis.

Ulama dimaknai orang yang ahli agama atau fikih. Namun dalam konteks Indonesia, keahlian dalam bidang fikih saja belum bisa dinamakan ulama. Banyak orang di Indonesia ahli dalam bidang ini tapi belum dipandang sebagai ulama. Malah terjadi definisi yang bertolak belakang, orang yang aktif dalam kegiatan religio-sosiologis seperti majelis taklim sampai pemberian doa justru disebut ulama. Sering juga orang yang tidak seberapa ilmunya namun tetap dipandang sebagai ulama karena mempunyai pesantren.

Bagi perempuan, sulit bahkan mustahil menyandang status sebagai ulama. Perempuan dalam sejarahnya termarginalisasi oleh laki-laki yang menganggap dirinya superior atas kaum perempuan. Kontruksi religio-sosiologis yang berlindung di bawah narasi teologis ini banyak yang mengasumsikan perempuan sebagai subordinat dari laki-laki. Kontruksi mengenai posisi dan peran kepemimpinan sebagai ulama perempuan juga sering dihadirkan dalam ranah fikih.

Secara umum, pemahaman fikih yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari masih bersifat patriarki. Kentalnya budaya patrialkal dalam tradisi penciptaan fikih menjadikan penetapan hukum Islam kurang mendefinisikan kemitraan perempuan dengan laki-laki. Sehingga perempuan hanya muncul sebagai simbol kesucian ibu yang mengayomi. Perempuan sangat jarang disimbolkan dengan penguasa, hakim, ulama dan lain sebagainya. Hal ini tentunya sangat bertolak belakang dengan semangat Alquran yang mengakomodasi pemberian hak atau status yang menguntungkan bagi perempuan.

Dalam historiografi Indonesia, harus diakui upaya merekontruksi dan menulis sejarah sosial-intelektual ulama perempuan di Indonesia sangat langka. Menurut Azra, hal ini disebabkan tidak tersedianya literatur seperti di Timur Tengah yang memiliki Tarajim dan di Barat yang memilki biographical dictionaries.

Azra dalam buku Historiografi Islam Kontemporer: Wacana, Aktualitas dan Aktor Sejarah menambahkan adanya perbedaan persepsi ulama di Timur Tengah dan Indonesia. Definisi ulama cenderung meluas mencakup orang-orang yang ahli dalam ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Tetapi di Indonesia pengertian ulama secara sempit hanya terbatas orang yang ahli dalam bidang ilmu agama atau fikih. Hal ini kemudian disebut dengan dekontruksi terhadap fikih patriarki.

Baca Juga:  Mengenal Nyai Hj Chamnah; Tokoh Sufi Perempuan Tarekat Tijaniyah

Pusat Penelitian dan Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta telah mengadakan penelitian yang menyimpulkan  adanya pengkategorisasian “ulama perempuan”. Hanya saja PPIM tidak mengadopsi definisi ulama secara sempit, namun definisi ulama perempuan disini digunakan dalam pengertian longgar.

Adapun kategori ulama perempuan menurut PPIM adalah ulama kampus yang mencakup Rahmah El-Yunusiyah, Zakiah Darajat, Bararah Baried, Tuti Alawiyah, kemudian ulama pesantren mencakup seperti Sholihah Wahid Hasyim, Hj.Chamamah, ketiga ulama organisasi sosial keagamaan yang mencakup Nyai Ahmad Dahlan, Aisyah Amini. Keempat ulama tabligh mencakup Lutfiyah Sungkar dan Rafiqoh Darto Wahab.

Di zaman Rasulullah saw, kaum perempuan sudah berperan dalam berbagai macam aspek pekerjaan. Terutama aspek pendidikan atau memberi fatwa. Ummahat al-mu’minin, Aisyah mempersilahkan kepada orang yang ingin mendalami sunnah Rasulullah saw. Bahkan sebagian mereka turut serta dalam jihad di jalan Allah dan ikut berperang yang dipimpin oleh Rasulullah saw.

Nah bagaimanaa sebenarnya perkembangan definisi dari ulama perempuan? Berikut penjabarannya.

Definisi Ulama Perempuan

Secara etimologi ulama berasal dari kata ‘alima-ya’lamu-‘ilman (orang yang memiliki ilmu yang mendalam, luas dan mantap). Di dalam Alquran terdapat dua kata ulama yaitu pada surat Fatir ayat 28 dan surat al-Shu‘ara’ ayat 197. Sedang secara terminologis ulama berarti:

Pertama, menurut Muhammad Nawawi dari Tanahara Banten Jawa Barat dalam Sharah Asma al-Husnadan Sayyid Qutb dan dalam tafsirnya Fi al-Zilal al-Qur’an (jilid VI juz xxii:130): ulama adalah hamba Allah yang memiliki jiwa dan kekuatan ‘khashyatullah’, mengenal Allah dengan pengertian yang hakiki, pewaris Nabi, pelita ummat dengan ilmu dan bimbingannya. Menjadi pemimpin dan panutan yang uswah hasanah dalam ketaqwaan dan istiqamah yang menjadi landasan baginya dalam beribadah dan beramal shaleh sehingga diharapkan selalu benar dan adil. Sebagai mujahid dalam menegakkan kebenaran, tidak takut pada celaan dan tidak mengikuti hawa nafsu, menyuruh yang ma‘ruf dan mencegah pada yang munkar.

Baca Juga:  Pada Zaman Nabi, Hanya 9 Perempuan Ini yang Mengalami Istihadhah

Kedua, menurut Horikoshi, ulama adalah sekelompok sarjana hukum Islam yang secara tradisional berfungsi sebagai muballigh, guru dan tempat bertanya umat Islam dan khalifah.
Secara teoritis peranan mereka sebagai ahli hukum Islam ortodoksi menjamin praktek-praktek keagamaan para penganut dan persoalan-persoalan kenegaraan sesuai dengan syariah Islam.

Dalam kehidupan masyarakat lokal, wilayah kekuasaan ulama biasanya dibatasi pada lembaga-lembaga Islam semacam masjid dan madrasah, di mana mereka mengabdi sebagai fungsional agama.

Pengertian ulama yang dijelaskan di atas sama sekali tidak ada yang menyinggung ulama yang dipolakan harus berasal dari jenis kelamin laki-laki atau perempuan, sebagaimana faham marja‘ dalam Shi‘ah yang mengharuskan dari laki-laki.

Namun, praktik anomali dari hal ini juga tetap ada dan tidak menghentikan kontroversi yang terjadi di kalangan ahli fikih tentang peran perempuan dalam beberapa posisi seperti jabatan kehakiman dan pemimpin atau imam yang diqiyaskan dalam peran mengemukakan pendapat dan mengeluarkan fatwa.

Sebagian ahli fikih, Imam Malik, Imam Syafi‘i, dan Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa perempuan tidak boleh menduduki jabatan sebagai hakim. Adapun Imam Abu Hanifah al-Nu’man berpendapat bahwa boleh saja perempuan menduduki jabatan kehakiman kecuali dalam memutuskan hukuman (hudud) dan qisas, sebab tidak ada kesaksian perempuan dalam hal itu. Maka boleh dan tidaknya jabatan kehakiman, menurut Abu Hanifah disamakan dengan boleh tidaknya memberikan kesaksian.

Adapun pendapat yang ketiga adalah pendapat Ibn Jarir al-Tabari. Ia mengatakan bahwa pada umumnya bahwa perempuan boleh saja menduduki jabatan kehakiman. Hal itu diqiyaskan dengan bolehnya perempuan mengemukakan pendapat dan mengeluarkan fatwa, maka perempuan boleh menduduki jabatan kehakiman. Tidak ada teks yang melarang perempuan menduduki jabatan kehakiman. Berdasarkan hadith mutawatir dari ‘Aishah ra. tentang perang Jamal. Ia memimpin pasukan dan mengobarkan revolusi melawan Ali ra, padahal bersamanya juga ada sahabat-sahabat terbaik seperti Talhah, Zubayr dan anaknya Abdullah.

Baca Juga:  Hari Anti Kekerasan Perempuan 2021: Kekerasan di Ranah Publik Masih Ditemui

Pendapat-pendapat di atas menurut penulis mungkin saja melihat konteks apa yang terjadi kala itu. Jika direlasikan dengan kondisi sekarang ada pergeseran yang signifikan mengenai definisi ulama perempuan apalagi dalam konteks Indonesia. Kita melihat banyak sekali perempuan-perempuan yang berperan dalam mempertahankan kemerdekaan, menjadi emansipator pendidikan, wartawan, jurnalis dan lain-lain.

Rekomendasi

Masriyah Amva dan Kepemimpinan Perempuan di Pesantren Masriyah Amva dan Kepemimpinan Perempuan di Pesantren

Masriyah Amva dan Kepemimpinan Perempuan di Pesantren

Fatimah Al-Banjari: Ulama Perempuan Pengarang Kitab Parukunan

Nushrat al-Amin Nushrat al-Amin

Sayyidah Nushrat al-Amin: Mufassir Perempuan Pertama dengan Karya 30 Juz

zainab al-ghazali zainab al-ghazali

Zainab Al-Ghazali; Mufassir Perempuan Pelopor Feminisme Islam

Ditulis oleh

Mahasiswi UIN Jakarta dan volunter di Lapor Covid

Komentari

Komentari

Terbaru

Apakah Komentar Seksis Termasuk Pelecehan Seksual?

Diari

Jangan Insecure, Mari Bersyukur

Muslimah Daily

Pentingnya Self Love Bagi Perempuan Muslim

Diari

Mengenal Ingrid Mattson, Cendekiawan Muslimah dari Barat Mengenal Ingrid Mattson, Cendekiawan Muslimah dari Barat

Mengenal Ingrid Mattson, Cendekiawan Muslimah dari Barat

Muslimah Talk

anjuran menghadapi istri haid anjuran menghadapi istri haid

Haid Tidak Stabil, Bagaimana Cara Menghitung Masa Suci dan Masa Haid?

Ibadah

Mapan Dulu, Baru Nikah! Mapan Dulu, Baru Nikah!

Mapan Dulu, Baru Nikah!

Keluarga

Melatih Kemandirian Anak Melatih Kemandirian Anak

Parenting Islami ; Bagaimana Cara Mendidik Anak Untuk Perempuan Karir?

Keluarga

Sya’wanah al-Ubullah: Perempuan yang Gemar Menangis Karena Allah

Muslimah Talk

Trending

Jangan Insecure, Mari Bersyukur

Muslimah Daily

anjuran menghadapi istri haid anjuran menghadapi istri haid

Haid Tidak Stabil, Bagaimana Cara Menghitung Masa Suci dan Masa Haid?

Ibadah

Siapa yang Paling Berhak Memasukkan Jenazah Perempuan Ke Kuburnya?

Ibadah

keadaan dibolehkan memandang perempuan keadaan dibolehkan memandang perempuan

Adab Perempuan Ketika Berbicara dengan Laki-Laki

Kajian

Pentingnya Self Love Bagi Perempuan Muslim

Diari

Sya’wanah al-Ubullah: Perempuan yang Gemar Menangis Karena Allah

Muslimah Talk

anak yatim ayah tiri luqman hakim mengasuh dan mendidik anak anak yatim ayah tiri luqman hakim mengasuh dan mendidik anak

Hukum Orangtua Menyakiti Hati Anak

Keluarga

ayat landasan mendiskriminasi perempuan ayat landasan mendiskriminasi perempuan

Manfaat Membaca Surat Al-Waqiah Setiap Hari

Ibadah

Connect