BincangMuslimah.Com- Situasi bencana alam menjadikan banyak aktivitas tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya. Mulai dari aktivitas pendidikan, sosial, pekerjaan, hingga ibadah. Hal ini menyisakan banyak pertanyaan mengenai tata cara melakukan aktivitas dalam kondisi darurat; termasuk dalam hal ibadah.
Korban meninggal dunia pada bencana alam pasti sangat banyak. Sebagian korban dapat ditemukan dengan utuh, namun beberapa lagi sudah tidak utuk kondisinya. Lalu, bagaimanakah hukum dan ketentuan mengurus jenazah tersebut?
Ketika Tidak Sempurna Mengurus Jenazah
Ketika ada saudara muslim meninggal dunia, muslim lainnya memiliki empat kewajiban dalam mengurus jenazahnya. Kewajiban tersebut yaitu memandikan, mengafani, menyolatkan dan menguburkan. Hukumnya adalah fardhu kifayah, yaitu jika ada satu orang yang melaksanakannya, maka kewajiban ini gugur untuk yang lainnya.
Salah satu meninggal syahid adalah orang yang meninggal karena tenggelam. Bencana alam banjir bandang memungkinkan korban meninggal dengan syahid fil akhirah. Dalam kondisi ini, hukum syar’i dalam proses pengurusan jenazah tetap berlaku.
Kondisi jenazah korban bencana bencana banjir bandang sangat mungkin sudah tidak utuh atau hampir rusak. Selain itu, kondisi pasca banjir besar menyisakan keterbatasan kesediaan kain kafan, air bersih untuk memandikan jenazah, hingga lahan pemakaman. Bagaimana menghadapi keterbatasan tersebut?
Kita perlu ingat bahwa agama Islam memberikan kemudahan bagi umatnya, apalagi dalam kondisi darurat. Proses tahjiz janaiz (pengurusan jenazah) dalam kondisi ini tentu memiliki rukhsah. Allah berfirman pada Qs. Al-Baqarah ayat 286 :
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang, kecuali menurut kesanggupannya”
Memandikan Jenazah
Dalam hal memandikan jenazah, jika tidak memungkinkan untuk memandikan, maka boleh melakukan tayamum. Berikut pendapat Abdurrahman Al-Jaziri dalam fiqh madzahibul Arba’ah :
“jika tidak ada air atau sulit untuk memandikan jenazah, maka jenazah ditayamumkan, seperti meninggal karena terbakar dan dikhawatirkan rontoknya anggota tubuh jika dimandikan atau dengan menyiramkan air tanpa menggosokkan organ tubuhnya. Jika tidak sampai merontokkan organ tubuh dengan menyiramkan air, maka tidak boleh ditayamumkan, tapi dimandikan dengan menyiramkan air tanpa menggosok”
Dalam Fatwa MUI Tahun 2004 tentang Pengurusan Jenazah dalam Kondisi Darurat, boleh tidak memandikan jenazah; tetapi, apabila memungkinkan sebaiknya mengguyur sebelum penguburan.
Mengafani Jenazah
Kemudian dalam hal mengafani, syariat mengafani jenazah telah ada sejak dulu, berikut riwayat dari Aisyah RA.
كُفِّنَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي ثَلَاثَةِ أَثْوَابٍ بِيضٍ سَحُولِيَّةٍ، مِنْ كُرْسُفٍ، لَيْسَ فِيهَا قَمِيصٌ، وَلَا عِمَامَةٌ
“Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam dikafani dengan menggunakan tiga kain putih sahuliyah dari Kursuf, tidak ada dalam tiga kain itu gamis dan surban” (HR. Muslim)
Jika memungkinkan, tentu wajib dikafani sesuai syariat Islam. Namun jika tidak, mengafani jenazah bisa dengan mentup auratnya dengan layak. Dalam fatwa MUI Tahun 2004; seperti halnya bencana tsunami Aceh pada masa itu, pakaian yang melekat pada mayat atau kantong mayat dapat menjadi kafan bagi jenazah. Meskipun kafan darurat itu terkena najis.
Menyolatkan dan Menguburkan Jenazah
Para ulama menganjurkan mengurus jenazah dengan segera. Namun karena keterbatasan tempat saat kondisi bencana alam, khususnya banjir bandang, menguburkan jenazah boleh secara massal dalam jumlah yang tidak terbatas. Baik dalam satu atau beberapa liang kubur serta tidak harus menghadap ke arah kiblat.
Dalam kondisi darurat, boleh menyalatkan jenazah sesudah dikuburkan dengan cara jarak jauh (shalat ghaib). Menurut qaul mu’tamad, boleh juga tidak menyalatkan jenazah. Ketentuan ini telah dirumuskan dalam fatwa Majelis Ulama Indonesia berdasarkan rujukan dalil yang mendukung rukhsah kedaruratan bencana.
Memprioritaskan Kehidupan Korban yang Selamat
Manusia itu mulia, baik dalam kondisi hidup maupun mati. Sehingga terdapat syariat mengurus jenazah dengan baik. Mengurus jenazah memang kewajiban seorang muslim, tetapi ada yang lebih penting saat kondisi darurat bencana alam, yaitu memprioritaskan keadaan korban yang selamat. Hal ini merupakan bagian dari pelaksanaan maqashid syari’ah yaitu hifz nafs dan hifz nasl.
Terdapat kaidah fikih yang sejalan dengan hal ini :
حُرْمَةُ الْحَيِّ وَحِفْظُ نَفْسِهِ أَوْلَى منْ حِفْظِ الْمَيِّتِ
“Menghormati orang hidup dan menjaga jiwanya itu lebih utama dari pada menghormati orang meninggal”
Berikut tata cara dan ketentuan mengurus jenazah dalam kondisi darurat bencana. Satu hal yang semoga segera selesai adalah evakuasi korban meninggal yang masih belum terlaksana dengan maksimal. Semoga para korban meninggal segera mendapat hak pengurusan jenazahnya dan korban diberi ketenangan dalam kuburnya.
