BincangMuslimah.Com – Banyak suami yang tidak merasa berdosa atas perlakuan kasar pada istrinya sebab ada beberapa ayat sering dijadikan legitimasi agama yang membenarkan pemukulan terhadap istri. Umumnya, alasan tersebut adalah hasil tafsir serampangan yang dipahami dari Q.S. an-Nisâ’ (4): 34:
ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَآ أَنفَقُوا۟ مِنْ أَمْوَٰلِهِمْ ۚ فَٱلصَّٰلِحَٰتُ قَٰنِتَٰتٌ حَٰفِظَٰتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ ٱللَّهُ ۚ وَٱلَّٰتِى تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَٱهْجُرُوهُنَّ فِى ٱلْمَضَاجِعِ وَٱضْرِبُوهُنَّ ۖ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا۟ عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (Q.S. an-Nisâ’ (4): 34)
Secara harfiah, memang ada kata ‘pukullah’ dalam ayat di atas. Jika ayat tersebut diterjemahkan dalam terjemahan Departemen Agama RI, ayat tersebut berbunyi sebagai berikut:
“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyunya, maka nasihatilah mereka dan pisahkan mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar”.
Kata fadribûhunn dalam ayat di atas memiliki makna dalam oleh Al-Qur’an versi Departemen Agama dengan arti ‘pukullah mereka’. Pengertian tersebut tentu saja tidak salah, namun kata tersebut tidak harus diartikan demikian.
Dalam Kamus Lisân al-‘Arab, sebuah kamus berbahasa Arab standar disebutkan beberapa pengertian dari kata daraba. Pengertian lainnya adalah bersetubuh (nakaha), melerai (kaffa), mencampuri (khalata), menjelaskan (bayyana, wasafa), dan menjauhi (ba’ada).
Nasaruddin Umar dalam buku Arguments for Gender Equality (2014) berpendapat, bahwa dari beberapa pengertian daraba yang disebutkan mungkin saja ada di antaranya yang lebih tepat digunakan. Sebab, kata daraba yang diartikan sebagai memukul sangat riskan dimanfaatkan oleh para suami untuk bertindak keras terhadap istrinya.
Ia juga mengutip pendapat Muhammad ‘Abduh, seorang pemikir Islam pembaharu, yang menegaskan bahwa pengertian daraba dalam ayat tersebut memang berarti memukul. Tapi yang perlu digarisbawahi adalah bahwa syarat yang memukul harus tidak sampai menyakiti apalagi membahayakan.
Ungkapan tersebut dipertegas oleh Muhammad Abduh dengan mengutip riwayat Ibn ‘Abbâs yang menyatakan bahwa alat yang dipakai memukul adalah siwak atau yang sejenisnya. Selain siwak, ada juga misalnya ruas jari.
Meskipun banyak ulama yang sudah mengungkapkan secara tegas bahwa pengertian memukul yang difirmankan Allah Swt. dalam Q.s. al-Nisâ’[4]: 34, tapi tetap saja ada slogan bahkan praktik di masyarakat di mana banyak suami yang melupakan syarat dan batasan yang seharusnya.
Hal tersebut membuat tidak sedikit istri yang akhirnya menjadi korban atas tindak kekerasan akibat salah memahami kandungan ayat yang multi interpretatif. Dalam kasus kekerasan seksual terhadap isteri, banyak juga kalangan yang sering mengatasnamakan agama untuk memaksa perempuan untuk melayani keinginan seks laki-laki.[]