BincangMuslimah.Com- Bagi kebanyakan orang, menikah menjadi impian besar dalam hidup. Menjalani kehidupan berumah tangga yang harmonis dan romantis tentu menjadi keinginan yang indah. Berarti, ada sebagian lainnya juga yang menjadikan pernikahan bukan sebuah keinginan atau tujuan hidup.
Tentu ada alasan yang menjadikan seseorang berpikir demikian. Ulama kita pun ada yang tidak menikah hingga akhir hidupnya. Mereka menyibukkan diri dengan mencari ilmu, mengajar, dan berkarya sehingga tak menjadikan pernikahan sebagai prioritas. Sebab bagi mereka pernikahan akan membuat mereka lupa pada kesibukkan mencari ilmu.
Seperti Imam at-Thabari yang bernama asli Abu Ja’far at-Thabariy (224 H-310 H) yang memiliki karya yang masyhur di kalangan santri yaitu kitab Jami’ al-Bayan ‘an Wujuh at-Ta’wil atau lebih dikenal dengan kitab Tafsir at-Thabariy.
Juga ada Ibnu Taimiyah (661 H-728 H) yang mengarang begitu banyak karya kitab bahkan melebihi usianya yaitu, sekitar 500 kitab. Kitab beliau yang paling terkenal dan menjadi rujukan para ulama dalam berfatwa adalah Majmu al-Fatawa (kumpulan beberapa fatwa). Kitab tersebut tak hanya membahas persoalan fikih, tetapi juga mengenai akidah, tauhid, hadis, tafsir, dan ushul.
Ternyata dalam fiqh , ada lima macam hukum menikah secara terperinci dalam Islam. hukum asal menikah adalah mubah, bukan wajib. Jadi, tidaklah berdosa bagi yang ingin memutuskan tidak menikah seumur hidup. Menikah menjadi sebuah pilihan, bukan kewajiban. Dalam Kaidah Fikih terdapat kaidah yang menyebutkan:
اْلأَصْلُ فِي الشُّرُوْطِ فِي الْمُعَامَلاَتِ الْحِلُّ وَالْإِبَاحَةُ إِلاَّ بِدَلِيْلٍ:
Hukum asal menetapkan syarat dalam mu’âmalah adalah halal dan diperbolehkan
kecuali ada dalil (yang melarangnya).
Ahli fikih telah menjelaskan bahwa mu’âmalah, baik jual beli, sewa menyewa, dan semisalnya hukum asalnya adalah halal dan diperbolehkan kecuali ada dalil yang melarangnya.
Fikih muamalah adalah hukum yang mengatur hubungan manusia dengan orang lain. Jual beli, piutang, kerjasama dan lain-lain. Munakahat (fikih pernikahan) termasuk dalam muamalah karena didalam munakahat / pernikahan ada hubungan antara individu dengan individu lain dan ada akad di dalamnya serta hukum-hukum yang mengikat dalam perjanjian akad tersebut.
Hukum mubah tersebut bisa berubah menjadi wajib, sunnah, makruh bahkan haram apabila ada dalil yang menetapkannya dengan berbagai alasan. Keterangan ini merujuk pada karya Prof. Farj Ali as-Sayyid Anbar, dosen Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir. Karya tersebut berjudul Muhadorot fii al-Ahwal as-Syakhsiyyah yang merujuk pada sumber-sumber mu’tabaroh (valid). Berikut beberapa macam hukum menikah:
Nikah Wajib
Hukum menikah menjadi wajib kalau seseorang sudah merasa tidak kuat untuk melakukan jima’ dan takut terjatuh dalam perbuatan zina. Tentu alasan ini juga tak bisa dijadikan pegangan untuk menikah kalau orang tersebut juga belum sanggup untuk membeli mahar dan menafkahi. Maka jika syarat mahar dan nafkah belum sanggup dipenuhi tidak diwajibkan untuk menikah. Terlebih jika seseorang juga belum siap secara mental.
Nikah Sunnah
Hukum menikah menjadi sunnah, artinya sangat dianjurkan dan berpahala jika seseorang tersebut sudah matang dan mapan. Maksudnya, orang tersebut telah memiliki kesiapan yang cukup seperti sudah sanggup membeli mahar dan memberi nafkah, juga sudah siap secara mental dan bertujuan untuk menjaga diri. Standar mahar dan nafkah pun tak ditentukan nominalnya dalam Islam. Semua bergantung pada kesepakatan bersama.
Nikah Makruh
Hukum menikah bisa menjadi makruh apabila seseorang merasa takut berbuat zolim apabila ia menikah. Bahkan para ulama mazhab Syafii berpendapat bahwa kalau seseorang belum merasa butuh untuk menikah dengan artian ia belum siap secara mental atau karena alasan sakit dan tidak sanggup maka hukum menikah menjadi makruh.
Nikah Haram
Ternyata menikah juga menjadi haram apabila seseorang merasa yakin kalau ia akan berbuat zolim kalau ia menikah. Ketakutan ini pun sudah mencapa tingkat yakin, demikian menurut ulama mazhab Hanafi. Para ulama mazhab Maliki juga berpendapat bahwa pernikahan menjadi haram kalau seseorang tidak merasa takut jatuh pada perbuatan zina, melainkan ia takut akan berbuat zolim terhadap istrinya karena belum sanggup untuk jima’ (berhubungan badan) atau memberi nafkah, atau lalai terhadap kewajiban seperti salat dan mencari ilmu disebabkan kesibukannya mencari nafkah. Ini yang akhirnya melandasi beberapa ulama kita yang memilih untuk tidak menikah. Mereka menghibahkan usianya untuk ilmu.
Nikah Mubah
Sesuai hukum asal menikah adalah mubah artinya tidak mendapat pahala maupun dosa apabila dilakukan jika semua sebab yang telah disebutkan di atas tidak ada, atau seseorang merasa takut tidak bisa memenuhi kewajiban jika sudah berumah tangga namun ketakutannya dalam kadar yang biasa saja. Bahkan Imam Ibnu Abidin mengemukakan pendapat bahwa jika seseorang menikah bukan bertujuan untuk menegakkan sunnah tetapi murni hanya untuk memenuhi syahwat maka ia tidak mendapat ganjaran. Sebab seseorang akan mendapat ganjaran karena niatnya.
Demikian beberapa macam hukum menikah. Apabila telah dipahami perihal macam-macam hukum menikah, kita selaku muslim agar lebih bijak untuk mengambil keputusan dan diniatkan semata untuk beribadah kepada Allah dan mengikuti sunnah Nabi Muhammad. Wallahu a’lam bisshowaab.