BincangMuslimah.Com – Puasa di bulan Ramadan adalah salah satu ibadah yang wajib bagi setiap muslim di dunia. Kewajiban ini berlaku untuk seseorang yang memiliki empat syarat yang berupa Islam, balig, berakal dan mampu untuk menunaikan ibadah puasa. “Imam Musthafa Al-Bugha dkk, Fiqh Al-Manhajy juz 2 hlm 92”
Jika salah satu dari empat syarat itu tidak terpenuhi, pastinya ada golongan orang yang boleh untuk tidak puasa. Lalu, siapakah umat muslim yang tidak wajib untuk berpuasa?
Dalam hal ini, ada tiga kategori orang yang boleh untuk berpuasa. Pertama, tidak wajib berpuasa dan mengqada. Kedua tidak wajib berpuasa namun mengganti dengan satu mud makanan. Kedua, boleh tidak berpuasa tapi harus mengqada puasa di waktu yang memungkinkan.
Tidak Wajib Puasa Dan Mengqada
Golongan yang termasuk dalam pembagian ini adalah orang gila dan orang mabuk. Dua golongan ini tidak wajib berpuasa karena tidak memenuhi syarat wajib puasa yang berupa berakal. Kendati pun demikian, tidak adanya kewajiban puasa bagi dua golongan ini tidak bersifat mutlak. Melainkan harus dilihat terlebih dahulu bagaimana penyebab gila dan mabuk itu terjadi. Jika gila dan mabuk tersebut terjadi secara alami tanpa ada unsur kesengajaan, maka tidak ada kewajiban untuk berpuasa dan mengqada. Berbeda halnya jika sebab dari gila dan mabuk berasal dar faktor kesengajaan seperti minum alkohol dan obat-obatan, maka ada kewajiban untuk mengganti puasa yang ditinggalkan tersebut.
Mengganti Puasa dengan Satu Mud Makanan
Ketentuan tidak ada kewajiban puasa dan mengganti dengan satu mud berlaku bagi orang-orang yang tidak mampu untuk melakukan puasa. Hukum ini bersumber dari firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 183 yang berbunyi:
وَعَلَى ٱلَّذِينَ يُطِيقُونَهُۥ فِدۡيَةٞ طَعَامُ مِسۡكِينٖ
Artinya: Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.
Ada dua kategori dalam memahami makna tidak mampu berpuasa, yakni tidak mampu secara panca indra dan tidak mampu secara syariat. Dan orang yang tidak terkena kewajiban puasa namun harus membayar satu mud adalah orang yang tidak mampu secara panca indra. Siapa saja orang-orang tersebut? Pertama, yakni orang tua renta yang tidak memiliki kuasa untuk melakukan ibadah puasa lagi.
Kedua, yakni orang sakit yang tidak bisa diharapkan kesembuhannya. Dalam arti penyakit yang ia derita sudah tidak ada kemungkinan untuk sembuh. Maka dalam kondisi ini, kewajiban baginya adalah membayar satu mud. “Imam Abu Bakar Syattha, I’anah At-Thalibin juz 2 hlm 248”
Pembayaran satu mud ini berlaku untuk setiap puasa yang ia tinggalkan. Jika meninggalkan 30 hari puasa, maka wajib baginya membayar 30 mud makanan juga. Waktu pembayaran satu mud ini berlaku setelah munculnya kewajiban puasa yakni setelah munculnya fajar shadiq. Dengan demikian, ketika membayarkan satu mud sebelum masuknya Ramadan, maka satu mud itu tidak mencukupi sebagai mengganti puasa. “Imam Ibn Qasim, Fathul Qarib”
Tidak Wajib Puasa Namun Wajib Qada
Orang-orang yang termasuk dalam kategori ketiga ini secara esensi masih bisa melakukan puasa. Namun, dikarenakan ada kesulitan dalam melaksanakan puasa atau larangan dari syariat, maka tidak wajib puasa tapi tetap mengqada puasa yang telah ditinggalkan. Orang-orang tersebut adalah:
- Orang sakit
Sesuai dengan keterangan di atas, sakit dalam pembagian ini adalah sakit yang memungkinkan untuk sembuh. Jika sakitnya berkepanjangan seperti demam siang malam, maka dia boleh berniat. Namun ketika sakitnya tidak terus menerus, maka ketika di waktu sahur masih dalam kondisi sakit, dia boleh meninggalkan niat. Jika tidak demikian, maka dia wajib melakukan niat, dan boleh membatalkan puasanya di pertengahan ketika memang dibutuhkan.
- Orang bepergian
Makna bepergian di sini tidak mutlak, melainkan hanya bepergian yang diperbolehkan atau tidak bertujuan melakukan maksiat. kebolehan untuk tidak berpuasa di sini juga bergantung pada kondisi musafir tersebut. Jika dirasa tidak ada bahaya yang menimpanya jika dia bepergian sambil berpuasa, maka puasa lebih utama baginya. Namun jika akan ada bahaya yang menimpa ketika tetap berpuasa, maka membatalkan puasa adalah hal yang lebih utama.
- Perempuan hamil dan menyusui
Bagi perempuan yang hamil dan menyusui, ketika dia puasa dan khawatir adanya bahaya bagi diri mereka dan anaknya, maka boleh meninggalkan puasa dan wajib untuk mengqadanya. Namun ketika mereka tidak puasa karena menghawatirkan anak mereka saja, sepeti kekhawatiran atas sedikitnya asi dan keguguran, maka tuntutan bagi mereka tidak hanya mengqada puasa, melainkan juga membayar fidyah. “Imam Al-Baijuri, Hasiyah Al-Baijuri juz 1 hlm 574-579
Rekomendasi

1 Comment