Ada beberapa syarat sah shalat yang telah diatur dalam Islam. Ketentuan tersebut telah tersusun dalam kitab-kitab Fikih yang merupakan karya para ulama dan merujuk pada dalil Alquran dan Hadis. Akan tetapi Islam tak sebatas pada pandangan satu ulama atau satu ragam saja, melainkan juga lahirlah beberapa pandangan ulama. Terutama empat mazhab yang menjadi rujukan panduan beragama oleh penganut Islam di bumi. Salah satu syarat sah shalat adalah wudhu. Di dalamnya juga telah diatur hal-hal yang wajib, sunnah, makruh, dan membatalkan wudhu. Kali ini penulis akan menampilkan beberapa hal yang membatalkan wudhu dalam perspektif empat mazhab. Berikut perkara yang membatalkan wudhu perspektif empat mazhab yang terangkum dalam Mausu’atu al-Fiqh al-Islami wa al-Qodhoya al-Mu’ashiroh karya Syekh Wahbah Zuhaili, ulama kontemporer abad ke-20:
Pertama, keluarnya segala sesuatu dari jalur qubul dan dubur.
Hal pertama yang membatalkan wudhu adalah keluarnya sesuatu dari jalur depan, dan jalur belakang. Seperti buang air besar, atau air kecil. Begitu juga madzi (cairan yang keluar karena syahwat dialami laki-laki dan perempuan), wadi (cairan yang keluar karena kelelahan, atau yang keluar setelah kencing), atau sesuatu yang tidak biasa keluar dari kedua jalur tersebut seperti cacing, darah, dan lain-lain. Para ulama merujuk pada surat al-Maidah ayat 6:
اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ
Artinya: kembali dari tempat buang air (kakus)
Ayat ini memang sedang membicarakan hal-hal yang membatalkan wudhu, salah satunya adalah buang air kecil dan air besar. Begitu juga hadis Rasulullah:
لَا وُضُوْءَ إِلَّا مِنْ صَوْتٍ أَوْ رِيْحٍ
Artinya: tidaklah batal wudhu seseorang kecuali (keluar) suara atau kentut (HR. At-Tirmizi)
Sedangkan ada pengecualian dari ulama Mazhab Hanafi, yaitu angin yang keluar dari jalur depan karena tidak dianggap najis. Adapun ulama Mazhab Maliki mengecualikan keluarnya sesuatu yang tidak biasa seperti cacing, muntahan, kerikil, atau air kencing yang keluar dari dubur, feses yang keluar dari jalur depan, mani yang keluar tanpa syahwat, hal-hal tersebut tidaklah membatalkan wudu.
Begitu juga orang yang selalu mengeluarkan cairan terus menerus karena penyakitnya atau karena ia memiliki masalah kesehatan sampai membutuhkan perawatan medis. Seperti seseorang yang terus menerus keluar air kencing tanpa disadari, atau buang hajat, atau bahkan istihadhoh. Dalam pandangan ulama jumhur (mayoritas) hal tersebut tidaklah membatalkan wudhu.
Sedangkan ulama Mazhab Syafii mengecualikan mani. Mengeluarkan mani tidaklah membatalkan wudhu akan tetapi mewajibkan mandi. Adapun ulama Mazhab Hanbali hampir sama seperti Mazhab Maliki, mereka mengecualikan orang yang senantiasa berhadas karena hal tersebut akan mempersulit keadaan.
Kedua, melahirkan meski tidak mengeluarkan darah.
Dan dalam ulama Mazhab Hanafi, perempuan yang melahirkan saat tidak mengeluarkan darah tetaplah diwajbkan mandi.
Ketiga, keluarnya sesuatu selain dari jalur qubul dan dubur seperti darah dan nanah.
Keluarnya nanah dan darah dapat membatalkan wudhu apabila keduanya mengalir mengenai sebagian tubuh, menurut ulama Mazhab Hanafi. Maka wajib baginya untuk membersihkan najis tersebut dari tubuhnya. Namun apabila keduanya tidak mengalir seperti darah yang keluar dari hidung dan tertahan di hidung saja, atau nanah yang tertahan di bagian tubuh tertentu saja maka tidaklah membatalkan wudhu.
Ulama Mazhab Hanafi merujuk pada hadis Nabi riwayat Abu Hurairah:
ليس في القطرة ولا في القطرين من الدم وضوء إلا أن يكون دما سائلا
artinya: Tidak hanya setetes atau dua tetes darah (yang dapat membatalkan wudhu) kecuali ketika darahnya mengalir (HR. Ad-Daruquthni)
Sedangkan ulama Mazhab Hanbali meski berpendapat sama, tetapi ia mensyaratkan banyaknya darah dan nanah menurut urf (pandangan masyarakat secara umum). Ukuran banyak menurut pandangan manusia tersebut yang menjadi standar batalnya wudhu akibat keluarnya darah dan nanah yang menjijikan selain dari qubul dan dubur. Jika darah dan nanah yang keluar hanya sedikit meskipun mengalir, tidaklah batal wudhunya.
Sedangkan ulama Mazhab Syafii dan Maliki tidak menetapkan batalnya wudhu karena keluarnya hal-hal menjijikan dari tubuh seseorang melalui selain qubul dan dubur. Kedua mazhab ini merujuk pada hadis Nabi riwayat ‘Ibad bin Basyar, bahwasanya Nabi pernah tertusuk panah saat sedang shalat dan ia tetap melanjutkan shalatnya (dalam keadaan tertusuk).
Keempat, muntah.
Sebagaimana darah dan nanah. Keluarnya muntah masuk dalam hal yang dapat membatalkan wudhu juga terdapat perbedaan pandangan di kalangan ulama.
Mazhab Hanafi dan Hanbali menetapkan bahwa muntah masuk dalam hal membatalkan wudhu. Apapun yang dimuntahkan baik itu makanan atau hanya berupa cairan tetaplah membatalkan wudhu. Kedua mazhab ini merujuk pada hadis Nabi dari Aisyah:
من أصابه قيء أو رعاف أو قلس أو مذي فلينصرف فليتوضّأ ثم ليبن على صلاته وهو في ذلك لا يتكلم
artinya: Siapapun yang mengalami muntah, atau mengeluarkan darah dari hidungnya, atau muntah sedikit maka beralilhlah dan berwudhu kemudian gantilah shalatnya sedangkan saat itu ia tidak bicara. (HR. Ibnu Majah dan ad-Daruquthni)
Sedangkan ulama Mazhab Syafii dan Maliki menetapkan bahwa muntah tidaklah membatalkan wudhu. Mereka merujuk pada hadis Nabi dari Tsauban:
“Ya Rasulullah apakah wajib berwudhu bagi seseorang yang muntah? Rasul menjawab: kalau hal itu wajib, maka aku aku sudah menemukannya di kitab Allah.”
Lalu Syekh Wahbah Zuhaili menyimpulkan bahwa nanah atau darah atau muntah yang keluar dari selain qubul dan dubur dapat membatalkan wudhu bila jumlahnya banyak.
Kelima, hilang akal.
Hilang akal baik yang disebabkan sakit atau mabuk atau pingsan atau tidur dapat membatalkan wudhu. Ketetapan ini merujuk pada hadis Nabi dari Ali:
العين وكاء السه فمن نام فليتوضأ
artinya: Mata adalah tali (penutup), maka barang siapa yang tidur berwudhulah (HR. Ahmad, Abu Daud, dan Ibnu Majah).
Kala seseorang tidur, ia tidak akan menyadari apa yang terjadi pada tubuhnya termasuk apakah ia kentut atau tidak. Akan tetapi dalam hal tidur pun terdapat perbedaan dan klasifikasi oleh para ulama.
Ulama Mazhab Hanafi dan Syafii mengatakan tidur yang bisa membatalkan wudhu adalah tidur yang tidak menetap sehingga lubang duburnya tidak tertutup. Seperti tidur berbaring, tengkurep, dan lain-lain. Sedangkan apabila tidurnya duduk dengan menetapkan kedua pantatnya sehingga dipastikan angin tidak bisa keluar dari duburnya, maka tidak batal wudhunya. Ulama Mazhab Hanafi juga berpendapat tidaklah batal wudhu seseorang yang tidur dalam keadaan sholat dengan posisi berdiri atau ruku kecuali ia terjatuh.
Adapun ulama Mazhab Maliki dan Hanbali berpendapat bahwa tidur ringan, atau tidur yang tidak terlalu dalam dan lelap tidaklah membatalkan wudhu. Tidur ringan yang dimaksud oleh mereka adalah saat seseorang tersebut tidur tapi tetap mendengar suara, masih menyadari keadaan sekitar. Mereka merujuk pada hadis yang menceritakan bahwa saat sahabat menunggu waktu shalat Isya sampai kepala mereka terkantuk-kantuk kemudian mereka shalat dan tidak berwudhu.
Bagaimana kalau ia ragu apakah tidurnya masuk kategori ringan atau berat? Jawabannya adalah kembali pada hukum awal yakni tidak batalnya wudhu. Tapi jika mereka bermimpi dalam tidur, sudah dipastikan itu adalah tidur berat. Kalau hanya sekadar mengantuk, hal tersebut tidaklah membatalkan wudhu.
Keenam, menyentuh perempuan.
Pembahasan menyentuh perempuan bisa dibaca di artikel apakah menyentuh lawan jenis membatalkan wudhu.
Ketujuh, menyentuh kemaluan baik qubul atau dubur.
Menurut ulama mayoritas, menyentuh kemaluan depan atau belakang bisa membatalkan wudhu. sedangkan pandangan ulama Mazhab Hanafi, menyentuh kemaluan tidaklah membatalkan wudhu. Ulama Mazhab Hanafi merujuk pada hadis Thalq ibn Ali:
“seorang laki-laki menyentuh kemaluannya, apakah wajib baginya untuk berwudhu? Maka Rasulullah menjawab: sesungguhnya itu adalah bagian dari tubuhmu, dan daging dari tubuhmu” (HR. Abu Daud, at-Tirmizi, an-Nasa`i, Ibnu Majah)
Sedangkan ulama Mazhab Maliki menganggap bahwa hanya menyentuh kemaluan depan yang dapat membatalkan wudhu, sedangkan dubur adalah bagian yang terpisah dan tidak membatalkan wudhu. Wudhu akan menjadi batal apabila ia menyentuh kemaluan depannya dengan telapak tangan bagian dalam, atau jari-jari bagian dalam tanpa penghalang, baik sengajat atau tidak. Sedangkan jika yang ia sentuh adalah kemaluan milik anak kecil maka tidak batal.
Adapun ulama Mazhab Syafii dan Hanbali menganggap wudhu menjadi batal apabila menyentuh kemaluan (depan dan belakang), baik miliknya sendiri, atau milik orang lain. Baik kemaluan manusia yang masih hidup atau mayit, orang dewasa, atau anak kecil, sengaja atau tidak.
Kedelapan, tertawa terbahak-bahak.
Tertawa terbahak-bahak bisa membatalkan wudhu hanya dikeluarkan oleh Mazhab Hanafi. sedangkan ulama mazhab lain tidak berpendapat demikian. Mereka merujuk pada hadis Nabi yang mengatakan bahwa siapapun di antara kalian yang tertawa terbahak-bahak diperintahkan untuk mengulang shalat dan wudhunya.
Akan tetapi pendapat ulama Mazhab Hanafi tidak begitu unggul. Ulama mayoritas tidak menjadikan tertawa terbahak-bahak sebagai alasan batalnya wudhu. Hanya saja ia dapat membatalkan shalat dan wajib mengulangnya.
Kesembilan, memakan daging unta.
Memakan daging unta dapat membatalkan wudhu menurut ulama Mazhab Hanbali. Mereka merujuk kepada hadis Rasulullah riwayat al-Bara’ bin ‘Azib:
“Rasulullah ditanya tentang unta. ‘Maka Rasulullah menjawab: berwudhulah karenanya.’ Dan ia ditanya tentang kambing, maka ia menjawab: tidaklah perlu berwudhu karenanya.” (HR. Muslim dan Abu Daud). Hadis ini berstatus shohih.
Akan tetapi ulama mayoritas tidak berpendapat demikian karena merujuk hadis Rasulullah riwayat Jabir:
“dua perkara terakhir dari ketetapan Rasulullah Saw adalah meninggalkan wudhu dari memakan yang disentuh api.” (HR. Abu Daud, at-Tirmizi, Ibnu Majah). Hadis ini shohih. Memakan yang disentuh api artinya memakan yang dimasak.
Hadis ini menurut ulama jumhur sudah tidak berlaku. Jikalau benar memakan masakan yang dipanggang dapat membatalkan wudhu, maka para khilafah di khulafa rasyidin pasti akan membenarkan hal itu. Jadi ulama jumhur bersepakat bahwa makan daging unta atau masakan apapun yang dipanggang tidaklah membatalkan wudhu.
Kesepuluh, memandikan mayit.
Menurut ulama jumhur, memandikan mayit dapat membatalkan wudhu. Baik mayit laki-laki maupun perempuan. Baik dewasa maupun anak kecil, baik muslim ataupun non muslim. Berdasarkan hadis dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas. Keduanya diperintahkan untuk memandikan mayit dan diperintahkan wudhu setelahnya. Karena saat memandikan mayit tidak mungkin tidak menyentuh kemaluan.
Kesebelas, ragu-ragu dalam berwudhu.
Terdapat khilaf di antara ulama. Ulama Mazhab Maliki jika seorang muslim merasa yakin kalau di suci atau minimal dia mengira-ngira kalau dia masih suci, lalu merasa ragu apakah dia hadas atau belum, maka wajib baginya untuk berwudhu.
Sedangkan menurut ulama Jumhur, wudhu tidak batal jika terdapat keraguan kesucian di dalamnya. Misal, seorang merasa yakin dia suci tapi di saat bersamaan ia ragu kalau dia berhadas, maka ia merujuk pada keyakinannya. Artinya wudhu tidak batal hanya karena terdapat keraguan.
Kedua belas, apapaun yang mewajibkan mandi.
Demikian hal-hal yang membatalkan wudhu menurut perspektif ulama empat mazhab. Kita perlu mengetahui beberapa perbedaan dan landasan ulama dari berbagai mazhab agar bisa lebih berpikir terbuka dan menghargai perbedaan. Wallahu a’lam bishhowab.