BincangMuslimah.Com – Shalat merupakan ritual keagamaan. Sebuah ibadah yang disyariatkan kepada Rasulullah dan umatnya. Seperti ibadah yang lain yang memiliki tatacara tertentu, shalat pun demikian; turun disertai dengan tata cara (Kaifiyyat, Sifat) mengerjakannya, dan Rasulullah telah memberi tuntunan bagaimana shalat itu dikerjakan.
Saat melaksanakan shalat dua rakaat yang pertama di shalat Zuhur dan Asar, imam membaca al-Fatihah dan surat dalam keadaan Sir (lirih). Sedangkan pada saat menunaikan shalat Maghrib, Isya, dan Subuh, imam membacanya dengan Jahr (keras).
Menarik untuk kita ketahui mengapa syariat membedakan tata cara di antara dua waktu tersebut (siang dan malam), dan apa hikmah di balik bacaan keras dan lirih dalam shalat?
Syaikh Ibrahim al-Bajuri (1198 H) di dalam kitabnya Khasyiyah al-Bajuri, juz 1 hal. 174:
(قوله الصبح)إنما طلب الجهر فيها مع أن الكفار كانوا حين سماعهم القرآن في صلاة النبي صلى الله عليه و سلم يسبون من أنزله و من أنزل عليه كما مر لأنهم يكونون في هذه الوقت نائمين و لذلك طلب الجهر في العشاء أيضا و في نهارية مقضية ليلا أو وقت صبح و أما المغرب فطلب الجهر فيه لأنهم كانوا يشتغلون في وقته بالعشاء و أما الجمعة و العيد فلأنه صلى الله عليه و سلم أقامهما بالمدينة و لم يكن للكفار فيها قوة و لما كانوا مستعدين للإيذاء في وقتي الظهر و العصر طلب الإسرار فيهما بل و في الليلة المقضية نهارا و هذا السبب و إن زال لكن الحكم المترتب عليه باق لأنه الحكمة المشروعية و الحكمة لا يلزم دوامها
Artinya: Disunnahkan melirihkan (Sir) bacaan ketika melaksanakan shalat Zuhur dan shalat Ashar karena pada zaman nabi Muhammad saw, di waktu itulah orang kafir Quraisy mencaci dan menyakiti Nabi dan para sahabatnya, mereka juga akan mencaci Allah dan Rasul-Nya ketika mereka mendengar bacaan Alquran. Sedangkan pada shalat Isya dan Subuh disunnahkan mengeraskan bacaan (Jahr) karena pada waktu itu orang kafir Quraisy sedang beristirahat, dan di waktu Maghrib mereka sibuk dengan makan malam mereka. Dalam shalat Jum’at dan ‘Ied juga disunnahkan mengeraskan bacaan karena dua shalat ini disyariatkan ketika keadaan sudah aman, yaitu ketika Nabi sudah hijrah ke Madinah.
Sedangkan menurut Syaikh Sulaiman bin Manshur al-Ijaili al-Jamal (1204 H) dalam kitabnya Khasiyah al-Jamal, juz 3 hal. 326 beliau menyebutkan:
حِكْمَةُ الْجَهْرِ فِي مَوْضِعِهِ وَالْإِسْرَارُ فِي مَوْضِعِهِ أَنَّهُ لَمَّا كَانَ اللَّيْلُ مَحَلَّ الْخَلْوَةِ وَيَطِيبُ فِيهِ السَّمَرُ شُرِعَ الْجَهْرُ فِيهِ إظْهَارًا لِلَّذَّةِ مُنَاجَاةِ الْعَبْدِ لِرَبِّهِ وَخُصَّ بِالْأُولَيَيْنِ لِنَشَاطِ الْمُصَلِّي فِيهِمَا وَالنَّهَارُ لَمَّا كَانَ مَحَلَّ الشَّوَاغِلِ وَالِاخْتِلَاطِ بِالنَّاسِ طُلِبَ الْإِسْرَارُ لِعَدَمِ صَلَاحِيَتِهِ لِلتَّفَرُّغِ لِلْمُنَاجَاةِ وَأَلْحَقَ الصُّبْحَ بِالصَّلَاةِ اللَّيْلِيَّةِ ؛ لِأَنَّ وَقْتَهُ لَيْسَ مَحَلًّا لِلشَّوَاغِلِ عَادَةً .
Artinya: Hikmah membaca keras (Jahr) dan lirih (Sir) pada waktu shalat yaitu waktu malam adalah waktu untuk menyendiri, waktu yang sangat tepat untuk bercakap-cakap karenanya syari’at menetapkan bacaan keras saat melaksanakan shalat di waktu tersebut untuk merasakan nikmatnya munajat seorang hamba di hadapan Tuhannya. Hal ini (bacaan keras/Jahr) dilakukan juga pada shalat Maghrib dan Isya karena terdapat kesemangatan orang yang melaksanakan shalat pada dua waktu tersebut. Sedangkan pada waktu siang adalah waktu bekerja dan berinteraksi (bermu’amalah) dengan orang banyak, disyariatkan membaca dengan lirih (Sir) karena pada waktu siang hari tidak layak untuk digunakan untuk bermunajat kepada Allah. Waktu shalat Subuh disamakan dengan shalat malam (Maghrib dan Isya) karena pada umumnya di waktu ini orang belum tersibukkan dengan perkara dunia.
Demikian, sedikit pemaparan tentang hikmah atau rahasia di balik pensyari’atan bacaan Jahr (keras) dan Sir (lirih) di dalam shalat. Meskipun sedikit semoga menjadi tambahan ilmu yang bermanfaat. Amin. Wallahu A’lam.