BincangMuslimah.Com – Masih ingat kejadian tahun lalu di mana salah lembaga dakwah kampus mengganti foto profil anggota perempuan dengan kartun. Lalu, jika ingin eksis para perempuan hanya menggunakan masker. Di kampus lainnya, memblur beberapa foto anggota perempuannya. Saya jadi teringat beberapa kejadian tahun terakhir, di mana ada seorang di sosial media, dia menyarankan saya untuk mengganti foto profil saya dengan kartun. Dengan alasan, menjaga pandangan laki-laki. Namun, bagi saya apapun alasannya, saya menangkap adanya diskrimasi antara anggota perempuan dan laki-laki.
Blur Foto Perempuan Seperti Mengisolasi Perempuan dari Dunia Publik
Namun, semacam ini sebenarnya bukan perkara baru. Di sejumlah kampus lembaga dakwah seringkali terjadi diskriminasi anatara perempuan dan laki-laki. Hanya saya sekarang era sosial media, makanya baru ramai terjadi saat ini. Ramai dibicarakan kenapa hal tersebut harus tersebut. nampaknya kita perlu mengingat perkataan dari Descartes tentang eksistensi manusia, yang mana dalam pembahasan perempuan materi tubuh perempuan yang paling utama didefiniikan. Artinya, lembaga dakwah ini ingin menyuguhkan sebuah repesentatif apa yang harus dilakukan oleh perempuan muslim. Bagaimana dengan tujuannya?
Tujuannya jelas mengaburkan kesadaran dan memaksa kita menerimanya sebagai refleksi dari realitas. Dengan cara membuat blur foto profil anggota perempuan, dapat diartikan ditariknya peranan public seorang perempuan ke ranah domestic. Dengan cara memfragmentasikan kehidupan perempuan terpecah-pecah serta mengisolasikan kehidupan mereka dari dunia public, akibatnya perempuan tidak memiliki memiliki kekuasaan politik.
Artinya, para perempuan ini mengamini yang artinya tidak memiliki kuasa politik yang kuat untuk hal itu. Riuh protes malah hadir dari luar kampus. Hal ini mempertegas ungkapan feminis Amerika, Kate Millet. Dia mengatakan jika kekerasan terhadap perempuan terjadi pada system masyarakat yang patrialkal di mana distribusi kekuasaan yang timpang.
Tubuh Perempuan Masih Menjadi Objek
Saya sempat memasuki salah satu organisasi literasi lintas kampus, memang banyak hal yang sangat agamis. Bahkan mengatur permasalahan duduk antara perempuan dan laki-laki. Singkatnya ada pembatas antara laki-laki dan perempuan. Bukan hanya persoalan pembatasan, melainkan juga mengatur persoalan suara perempuan. Perempuan tidak boleh berteriak. namun tidak ada penjelasan hadist dari mana dan asalnya seperti apa.
Anehnya, terdapat larangan perempuan berteriak namun memilih tempat kopdar di tempat terbuka dan luas yang membutuhkan teriakan untuk menyampaikan sesuatu. Kejadian ini bagi saya tidak logis, kalau persoalannya aurat perempuan sehingga perempuan memakai pakaian yang cukup tertutup, bagaimana dengan sejumlah kekerasan yang terjadi pada perempuan yang terjadi bukan karena persoalan aurat?
Dari dua peristiwa tersebut menggambarkan secara jelas jika tubuh perempuan tetap menjadi objek. Baik untuk dijadikan objek suci (mitos baju yang tertutup) dan objek haram. Sehingga, imajinasi tentang tubuh perempuan dipupuk dan dikontruksi untuk berbagai kepentingan. Pengaturan seperti ini bukan hal yang alamiah dari laki-laki.
Dari catatan ini perlu menciptakan dunia dengan pandangan yang feminis. Hal ini bisa bermula dengan adanya kepalsuaan dunia patrialkal yang mengintimidasi posisi perempuan. Cara melawannya dengan suara-suara perempuan atau wacana perempuan. Lalu, menggali budaya feminis yang selama ini terjadi di masyarakat, baik dari pengalaman perempuan
9 Comments