BincangMuslimah.Com- Poligami terus menjadi topik perdebatan yang relevan di Indonesia. Tidak hanya terkait dengan tradisi dan agama, tetapi juga berkaitan erat dengan kebijakan publik yang memengaruhi kehidupan perempuan.
Kebijakan Perkuat Diskriminatif Terhadap Perempuan
Kebijakan yang baru saja di sahkan oleh Penjabat Gubernur Jakarta terkait izin poligami bagi ASN Jakarta adalah bukti bahwa perempuan terus menjadi korban dari kebijakan yang bias gender dan diskriminatif. Melegalkan poligami melalui jalur birokrasi mencerminkan negara yang melanggengkan budaya patriarki yang mengorbankan perempuan atas nama kepatuhan terhadap norma sosial dan agama.
Kebijakan itu diatur dalam Pergub Nomor 2 Tahun 2025 Tentang Tata Cara Pemberian Izin Perkawinan dan Perceraian. Didalamnya, terdapat aturan yang menjadi dasar izin poligami ASN Jakarta yang justru diskriminatif terhadap perempuan.
Salah satu aturan tersebut adalah alasan “istri tidak dapat menjalankan kewajibannya”. Alasan ini kerap mengacu pada konstruksi masyarakat patriarki yang secara sistemik menempatkan perempuan pada posisi rentan. Tugas-tugas domestik, seperti mengurus rumah tangga, sering kali dianggap sebagai kewajiban eksklusif perempuan, tanpa mempertimbangkan peran laki-laki sebagai mitra yang setara. Akibatnya, istri sering kali kehilangan peluang untuk mengaktualisasikan diri di ruang sosial, profesional, atau bidang lain diluar ranah domestik.
Dalam Islam, pernikahan adalah mistaqan ghalizan (perjanjian agung) antara perempuan dan laki-laki dengan Allah swt. yang didasarkan pada asas kasih sayang (mawaddah wa rahmah) dan kesalingan (mubadalah). Prinsip ini menegaskan bahwa suami dan istri memiliki tangung jawab bersama untuk menjaga keharmonisan rumah tangga, termasuk dalam pembagian peran domestik. Karena itu, kebijakan yang bias yang membebankan kewajiban rumah tangga sepihak kepada perempuan bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Dengan nilai ini, suami dan istri memiliki kewajiban untuk bekerjasama menjaga keharmonisan rumah tangga. Sehingga, tidak boleh hanya membebankan tugas domestik pada satu pihak saja. Oleh karena itu, kebijakan ini tidak sejalan dengan nilai-nilai Islam yang menempatkan perempuan dan laki-laki dalam posisi yang adil dalam rumah tangga.
Alasan yang Bertentangan Dengan Ajaran Islam
Alasan lain yang mendasari izin poligami dalam aturan ini yaitu “istri tidak dapat melahirkan keturunan”. Ketentuan ini secara langsung mereduksi perempuan menjadi sekadar “mesin produksi anak”. Pandangan semacam ini tidak hanya bersifat diskriminatif tetapi juga melanggengkan stigma bahwa nilai seorang perempuan terletak pada kemampuannya untuk melahirkan. Dengan demikian, jika seorang perempuan tidak dapat memiliki anak, maka medapat anggapan dia tidak sempurna sebagai perempuan dan nilai diri pun seolah berkurang.
Alasan ini juga bertentangan dengan nilai Islam yang menekankan penghormatan terhadap takdir Allah swt. Dalam QS. Asy- Syura: 49-50 Allah berfirman:
“Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Menganugerahkan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki. Dia menganugerahkan anak laki-laki kepada siapa yang dia kehendaki. Atau Dia menjadikan mereka tidak mempunyai anak”
Ayat ini menyampaikan bahwa memiliki keturunan adalah kehendak Allah swt, bukan hal yang bisa untuk menghakimi atau menjadi dasar untuk merendahkan seseorang. Islam memberikan penghormatan yang tinggi kepada perempuan. Menjadikan poligami sebagai solusi atas ketidakmampuan istri melahirkan atau memenuhi tugas domestik tidak hanya mencerminkan ketidakadilan, tetepi juga melupakan nilai-nilai Islam yang menekankan kesetaraan, keadilan, dan penghormatan terhadap martabat manusia.
Kekerasan terhadap Perempuan dalam Kebijakan Publik
Praktik poligami bertentangan dengan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Dalam Padal 16 CEDAW, menegaskan bahwa negara harus mengambil langkah-langkah untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam semua aspek kehidupan pernikahan dan keluarga. Poligasi secara inheren menciptakan ketidaksetaraan dalam pernikahan, karena menempatkan perempuan pada posisi yang rentan secara sosial. psikologis, dan hukum.
Praktik poligami menjadi akar kekerasan yang beruntun baik bagi istri pertama, maupun istri berikutnya. Istri pertama, misalnya, tidak hanya mengalami pengingkaran komitmen pernikahan, namun juga mengalami tekanan psikologis, ketidakadilan ekonomi, seksual, hingga kekerasan fisik. Sementara itu, istri berikutnya juga kerap menghadapi stigma sosial, hingga beban emosional karena ketidaksetaraan yang melekat dalam hubungan poligami.
Kebijakan publik seharusnya tidak hanya fokus pada legalitas atau kepatuhan hukum semata, tetapi juga dampak yang ditimbulkannya. Dalam kasus poligami, perempuan adalah korban berlapis, baik akibat norma patriarki yang mengakar kuat dan menempatkan laki-laki dalam posisi dominan, maupun karena kegagalan negara dalam memberikan perlindungan melalui kebijakan yang adil dan inklusif. Karena itu, negara memiliki kewajiban untuk memastikan kebijakan publik yang responsif dan peka terhadap kebutuhan perempuan.
Wallahu a’lam. Semoga bermanfaat.