BincangMuslimah.Com- Saat jalan-jalan sore mengelilingi jalanan Cimanggis, Depok, seorang mahasiswi asal Pakistan terheran-heran melihat banyak perempuan bekerja. Katanya, pemandangan ini kontras dengan kondisi negaranya, di mana sang ayahlah yang bertanggung jawab atas hak kehidupan layak istri dan anak-anaknya. Berkeliaran, berjualan, dan beraktivitas di ranah publik menjadi hal yang tabu bagi perempuan di sana.
Jadi Mahasiswi Asing di Indonesia
Belajar, adalah tujuan utama Shehar Banoo datang ke Indonesia sejak Oktober 2024. Ia diterima sebagai mahasiswa doktoral jurusan Studi Islam di Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) Depok. Perjalanan ke Indonesia adalah perjalanan terjauhnya dari tanah kelahiran berpisah dengan sanak saudara.
Tinggal sendiri di negeri orang membuat Banoo—begitu sapaan akrabnya—harus beradaptasi dengan gaya hidup baru. Budaya yang berbeda menuntutnya untuk mandiri, termasuk soal makanan, transportasi, dan interaksi sosial. Meskipun Indonesia dan Pakistan sama-sama negara mayoritas Muslim, ia cukup kaget karena banyak hal yang berbeda, terutama soal perempuan yang bekerja. Di negera asalnya, manusia berjenis kelamin laki-laki lah yang mendominasi sektor ekonomi. Sementara di Indonesia, partisipasi perempuan terlihat lumayan seimbang karena ras terkuat bumi ini mendominasi warung-warung kelontong.
Keliling Depok, Ia Heran: Kok Perempuan Banyak yang Bekerja?
Sabtu sore itu kami memutuskan berjalan-jalan, menikmati kegabutan liburan kampus tiga bulan yang nyaris setara satu semester lamanya. Kami menelusuri Situ Rawa Kalong dan jalanan desa di sekitarnya.
Ia mengamati toko-toko yang berjejer sepanjang jalan, dari warung madura, warteg, sampai toko pakaian baju. Diskusi hangat terjadi di antara kami berdua.
“Kenapa sih perempuan di Indonesia banyak yang bekerja, suaminya ke mana?,” tanyanya penasaran sambil melipir ke trotoar jalan yang lebarnya hanya sejengkal.
Aku agak sedikit kaget dengan pertanyaannya. Ku samber pertanyaan itu dengan jawaban epik, mengingat-ingat hasil riset ekonomi di Indonesia yang menyebutkan bahwa sektor informal justru banyak diisi oleh perempuan.
“Simple. Mengingat ekonomi Indonesia yang pas-pasan, suami istri sama-sama ingin mencari pendapatan untuk meningkatkan kualitas kehidupan,” jawabku kira-kira dengan bahasa Inggris seadanya.
Jawabanku langusung ditepis dengan realitas kehidupan di keluarganya. Katanya, kedua orang tuanya, terutama sang ayah bertanggung jawab atas segala kebutuhan anggota keluarga. Bahan-bahan dapur, mulai dari susu, tepung, sampai beras dibelikan oleh sang ayah. Sedangkan ia lebih banyak menghabiskan waktunya di dalam rumah.
Bekerja bagi perempuan, katanya, sebenarnya sah-sah saja. Hanya, lingkungannya menempatkan posisi perempuan sebagai sosok yang mendapat perlindungan dan nafkah, bukan aktor ekonomi. Sang ayahlah yang memiliki tanggung jawab memastikan istri anaknya tak kelaparan.
“Sebenarnya perempuan di Pakistan lebih mendapatkan haknya. Mereka tak perlu capek-capek bekerja,” sambil menimpali.
Hak Perempuan Apakah Sama Di Indonesia dan Pakistan?
Berbicara hak perempuan, atau human right secara umum, para sarjana biasanya akan menyinggung dua mazhab besar, yaitu universal dan kultural. Mazhab universal berargumen bahwa ada nilai universal yang disepakati bersama. Di manapun itu. Sederhananya, akan tetap memahami meja di kutub Selatan maupun di kutub utara. Benda A akan dipahami sama, baik di desa maupun kota. Jika bekerja adalah hak perempuan, pemahamannya sama saja baik di Pakistan maupun di Indonesia.
Sebaliknya, mazhab kultural cenderung mengamini perbedaan budaya dalam menggambarkan suatu peristiwa. Dengan kata lain, setiap negara berhak mendefiniskan apa human right menurut mereka. Boleh jadi Indonesia dan Pakistan sama-sama menggaungkan human right, tapi sangat wajar jika definisinya berbeda.
Sebagian kalangan feminis, misalnya, menekankan bahwa hak bekerja penting digaungkan karena selama ini perempuan kerap mengalami diskriminasi saat ingin tampil di ruang publik. Maka kesetaraan dalam hal bekerja menjadi indikator pencapaian visi misi dan keberhasilan right.
Tapi dalam kasus Banoo, definisi ‘hak’ berbeda. Ia merasa sudah mendapatkan haknya justru karena tidak perlu bekerja. Ia merasa bersyukur karena orangtuanya—terutama ayahnya—selalu berada di barisan terdepan memenuhi kebutuhan keluarga, termasuk ia.
7 Comments