Ikuti Kami

Diari

Bisakah Perempuan Mengatasi Stigma Sosial?

politik memperjuangkan hak perempuan

BincangMuslimah.Com – Stigma sosial yang berkembang di tengah masyarakat seringkali menjadi belenggu tak kasat mata bagi perempuan. Stigma bahwa tugas perempuan hanya berkutat pada dapur, sumur dan kasur, seakan enggan  lepas dalam kehidupan perempuan. Tiga kata sakti tiada tara, terutama bagi daerah pelosok negeri yang jauh dari perkotaan.

Tiga kata ituah yang membuat perempuan dianggap tidak perlu melangkah lebih jauh keluar rumah. Berani bersikap mandiri menentukan pilihan. Atau mengeyam pendidikan terlalu tinggi. Untuk apa? Toh pada akhirnya yang ia lakukan hanyalah berada di rumah seharian, mengurusi anak, menyiapkan makanan lalu melayani suami.

Dahulu, kodrat yang dimiliki oleh perempuan seringkali dianggap sebagai kelemahan dan keterbatasan untuk menghadapi segala permasalahan di luar sana. Perbedaan prilaku antara laki-laki dan perempuan tidak hanya mengarah pada faktor biologis. Tapi turut pula mengkontruksi sosial dan budaya dalam masyarakat.

Tidak ada masalah sebetulnya jika perempuan punya kodrat khusus secara biologis oleh Tuhan. Di antaranya mengandung, melahirkan,dan menyusui anak. Jelas, dalam hal ini laki-laki berbeda karena tidak punya ciri biologis yang sama seperti tidak punya rahim.

Namun disadari atau tidak, perbedaan gender inilah yang membangun kontruksi perempuan untuk rumah. Gerak mereka dibatasi. Keluar mencari nafkah adalah tugas dari laki-laki. Kewajiban ini dipandang sebagai bentuk keistimewaan yang hanya didapatkan oleh laki-laki saja. Perempuanlah yang diharuskan mengurusi semua permasalahan domestik. Begitu pun sebagai pendidik tok untuk anak.

Bukan berarti ranah domestik tidaklah penting. Rumah tangga yang dibangun oleh komitmen akan berjalan tidak semestinya ketika domestiknya berjalan dengan tidak baik. Setiap orang dalam sebuah ikatan khususnya pernikahan harus mengambil perannya masing-masing. Di situlah guna komitmen tadi di bangun. Bukan justru menjadi menjadi hambatan bagi perempuan untuk mendapatkan hak dan kesempatan yang sama dengan laki-laki.

Baca Juga:  Menunggu Jodoh dengan Elegan; Cerita dari Jomblo untuk Jomblo

Menyoal kewajiban seorang laki-laki dalam memberi nafkah memang tercantum jelas dalam Q.S An-Nisa ayat 34. Tapi bukan berarti kewajiban seorang laki-laki mencari nafkah menjadi interpretasi sebuah keunggulan. Seorang reformis dan juga aktivits Islam progresif, Asghar Ali Engineer mengungkapkan bahwa memahami konteks sosial pada saat ayat itu diturunkan sangat diperlukan.  Terutama pada Q.S An-Nisa ayat 34 yang pada masa itu struktur sosial belum mengakui kesetaraan.

Bicara soal pendidikan anak.  Apakah peran ini mutlak hanya diserahkan kepada perempuan saja? Nyatanya statment ini rasanya perlu dibantah. Sebuah penelitian dari Fakultas Psikologi di Universitas Diponegoro mengungkapkan ayah mempunyai peran terhadap perkembangan sosial anak. Selain itu anak yang mendapatkan perhatian sedari dini oleh ayahnya  akan memiliki emosi yang dapat terkontrol dengan baik.

Di dalam Al-Quran juga sudah digambarkan bagaimana ayah sangat berperan dalam mendidik anak-anaknya. Sebagai contoh yaitu Q.S Luqman ayat 13 sampai ayat ke 19. Dalam surah ini terlihat bagaimana sosok Luqman sebagai seorang ayah mendidik anaknya agar menjaga aqidah dan berbudi luhur.

K.H Husein Muhammad dalam bukunya yang berjudul Fiqh Perempuan mengungkapkan keyakinan seperti itu diperkuat oleh tiga faktor. Pertama, dogma yang memandang perempuan tidak punya tempat sebagai peran utama, alias pelengkap saja. Kedua, adanya pandangan jika moral etik perempuan lebih rendah. Dan terakhir, adanya pemikiran masyarakat pra-Islam yang memang perempuan sebatas fungsional biologis saja.

Stigma seperti inilah yang membuat perempuan harus terganjal oleh ‘kerikil tajam’ untuk mendapatkan pendidikan tinggi lagi layak. Padahal dalam Islam sudah tercantum dengan jelas di dalam Al-Qur’an jika posisi umat manusia sama di hadapan Allah. Pembeda di antara mereka hanyalah  kadar keimanan dan kualitas ibadah seseorang.

Baca Juga:  Butet Manurung, Dari Sokola Rimba Hingga Global Role Model Barbie

Bukankah keberadaan Islam selain sebagai rahmatan lil a’lamin (pembawa keselamatan keseluruh alam), sekaligus mengangkat derajat perempuan? Di masa jahiliah atau pra-Islam keberadaan perempuan tak jauh dari sekadar pelengkap dalam proses produksi. Munculnya Islam menjadi titik harkat martabat perempuan diletakkan di tempat terhormat. Mereka bebas untuk mengenyam pendidikan lebih tinggi tanpa ada cibiran miring.  Perempuan juga berhak untuk meraih cita-cita setinggi-tingginya. Atau mengaktualisasikan diri seluwes mungkin.

Perempuan Kini

Belakangan perihal dapur, sumur, dan kasur mungkin kini tidak lah dominan terdengar. Terutama bagi mereka yang hidup berdampingan dengan urbanitas. Perempuan terlihat lebih eksis dan berani untuk berbicara. Ada yang mengecap pendidikan hingga profesor. Perempuan kini bisa menjadi apa saja yang mereka inginkan.

Bahkan yang paling mantap adalah menjadi pemimpin di suatu lembaga bahkan negara. Sebut saja Megawati Soekarno putri yang pernah menjadi Presiden Republik Indonesia. Halimah Yacob sebagai perempuan muslimah pertama yang menjadi pemimpin negara di Singapura sana. Atau yang paling sosok fenomenal seperti Benazir Butho, perempuan pertama yang menjadi pemimpin di negara Islam pasca-kolonial .

Tapi benarkah ungkapan ‘perempuan tak perlu berpendidikan tinggi karena tidak akan jauh dapur, sumur dan kasur’ sepenuhnya sudah hilang? Sayangnya, tidak. Sampai saat ini masih banyak kasus, khususnya di daerah pedesaan sana, perempuan  tidak mendapatkan haknya karena stigma.

Kalau perempuan mau sekolah tinggi juga ujung-ujungnya bakal di rumah juga. Urus anak dan urus suami. Itu sudah ndak bisa diganggu gugat.

Perempuan seperti kita apa lagi di desa mah susah. Sudah umur 20-an belum menikah. Apa kata orang? Mau dibilang perawan tua? Mending kerja nabung habis itu menikah.

Kalau anak perempuan sih, tidak terlalu penting kuliah atau tidak. Toh nantinya bakal dibawa suami pergi. Buang-buang uang saja.

Nyatanya stigma perempuan yang demikian tidak hanya berasal pihak laki-laki saja. Keadaanlah yang membuat perempuan terpaksa atau tidak untuk turut mengamini. Entah itu karena faktor internal atau eskternal.

Baca Juga:  Tapak Tilas Jejak Mahaguru Ulama Nusantara di Kakap Darat (Eps. 4)

Perkembangan teknologi  yang tidak dirasakan secara merata, khususnya daerah pedesaan menyebabkan informasi tidak diterima dengan baik.  Seperti pentingnya pendidikan bagi siapa pun, peluang untuk mengasah softkill, dan masih banyak lagi. Pemerintah atau beberapa lembaga swadaya masyarakat bisa saja sudah menggaungkan kampanye kesetaraan hak dan kewajiban. Tapi kalau media sebagai pengantar pesannya tersendat, bisa apa?

Selanjutnya hambatan ekonomi seringkali menjadi faktor kuat. Sudah tidak mendapatkan pendidikan formal, tidak juga pelatihan kerja. Hal ini membuat perempuan riskan tertimpa kesulitan dalam mencukupi kebutuhan sehari-hari. Lingkungan yang menganggap perempuan sudah semestinya ‘di rumah’ mendorong mereka untuk melakukan pernikahan agar kehidupan ditanggung saja oleh suami. Bahkan masyarakat yang berada di kelas ekonomi terbawah terpaksa menikahkan anak mereka walau masih di bawah umur.

Perempuan yang hidup dalam urbanitas mungkin saat ini sedikit bernafas lega. Setidaknya psikologis masyarakat sekitar telah terkontruksi dengan cukup baik perihal stigma sosial. Informasi, fasilitas dan akses mudah untuk didapat karena sudah terkoneksi dengan baik. Mereka bisa beraktivitas bebas dan melangkahkah kaki selebar mungkin ke seluruh penjuru. Teruntuk perempuan yang masih belum bisa menyesapi kebebasan untuk mengaktualisasikan diri. Mari terus bersemangat untuk mendapatkan hak-hak yang sama.

Rekomendasi

Ditulis oleh

Melayu udik yang berniat jadi abadi. Pernah berkuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, jurusan Jurnalistik (2014), aktif di LPM Institut (2017), dan Reporter Watchdoc (2019). Baca juga karya Aisyah lainnya di Wattpad @Desstre dan Blog pribadi https://tulisanaisyahnursyamsi.blogspot.com

Komentari

Komentari

Terbaru

Apakah Komentar Seksis Termasuk Pelecehan Seksual?

Diari

Jangan Insecure, Mari Bersyukur

Muslimah Daily

Pentingnya Self Love Bagi Perempuan Muslim

Diari

Mengenal Ingrid Mattson, Cendekiawan Muslimah dari Barat Mengenal Ingrid Mattson, Cendekiawan Muslimah dari Barat

Mengenal Ingrid Mattson, Cendekiawan Muslimah dari Barat

Muslimah Talk

anjuran menghadapi istri haid anjuran menghadapi istri haid

Haid Tidak Stabil, Bagaimana Cara Menghitung Masa Suci dan Masa Haid?

Ibadah

Mapan Dulu, Baru Nikah! Mapan Dulu, Baru Nikah!

Mapan Dulu, Baru Nikah!

Keluarga

Melatih Kemandirian Anak Melatih Kemandirian Anak

Parenting Islami ; Bagaimana Cara Mendidik Anak Untuk Perempuan Karir?

Keluarga

Sya’wanah al-Ubullah: Perempuan yang Gemar Menangis Karena Allah

Muslimah Talk

Trending

Jangan Insecure, Mari Bersyukur

Muslimah Daily

anjuran menghadapi istri haid anjuran menghadapi istri haid

Haid Tidak Stabil, Bagaimana Cara Menghitung Masa Suci dan Masa Haid?

Ibadah

Siapa yang Paling Berhak Memasukkan Jenazah Perempuan Ke Kuburnya?

Ibadah

keadaan dibolehkan memandang perempuan keadaan dibolehkan memandang perempuan

Adab Perempuan Ketika Berbicara dengan Laki-Laki

Kajian

Pentingnya Self Love Bagi Perempuan Muslim

Diari

Sya’wanah al-Ubullah: Perempuan yang Gemar Menangis Karena Allah

Muslimah Talk

anak yatim ayah tiri luqman hakim mengasuh dan mendidik anak anak yatim ayah tiri luqman hakim mengasuh dan mendidik anak

Hukum Orangtua Menyakiti Hati Anak

Keluarga

ayat landasan mendiskriminasi perempuan ayat landasan mendiskriminasi perempuan

Manfaat Membaca Surat Al-Waqiah Setiap Hari

Ibadah

Connect