BincangMuslimah.Com – Hidup Aruna, sejak kecil tumbuh dalam bayang-bayang tuntutan budaya patriarki. Dalam keluarganya, Aruna tak pernah benar-benar dipandang sebagai individu, melainkan sebagai “puan”.
Puan, harus menjadi perempuan yang wajib tunduk, menjaga kehormatan keluarga, dan merawat harmoni, bahkan bila harus mengorbankan diri sendiri. Setelah menikah dan menjadi ibu, kehidupan Aruna tak membaik.
Suaminya tidak peka, anak perempuannya menjauh, dan Aruna terjebak dalam peran domestik yang tak memberinya ruang untuk menjadi dirinya sendiri. Dalam kesunyian dan tekanan, Aruna mulai berubah. Ia menjadi murung, getir, dan “beracun” bagi orang di sekitarnya. Bukan karena jahat, tetapi karena terlalu lama memendam luka yang tak pernah disembuhkan.
Dalam Racun Puan, Ni Nyoman Ayu Suciartini menyuguhkan kisah yang jauh dari glamor fiksi populer. Ia menawarkan potret sunyi yang menyayat, tentang perempuan Bali yang terjebak dalam mitos, budaya, dan ekspektasi patriarki. Narasi ini bukan sekadar cerita personal, melainkan refleksi sosial yang relevan lintas budaya.
Aruna, tokoh utama dalam novel ini, adalah perempuan yang terlahir sebagai “puannya rumah” julukan yang sarat beban dalam budaya Bali. Sejak kecil hingga dewasa, Aruna hidup dalam konstruksi yang menjadikan perempuan sebagai penjaga harmoni, bahkan jika itu berarti mengorbankan dirinya sendiri.
Suciartini menghidupkan kisah Aruna lewat gaya penceritaan tiga perspektif: Aruna, suaminya, dan anak perempuan mereka. Narasi berganti-ganti ini memberikan kedalaman tidak hanya soal penderitaan, tapi juga ‘kegagapan’ keluarga dalam memahami satu sama lain.
Relevansi dengan Isu Sosial Kontemporer
Melalui Racun Puan, mengajak pembaca menyelami dampak jangka panjang dari bias gender dalam keluarga. Novel ini mengangkat bagaimana nilai-nilai “keselarasan” mengekak perempuan yang justru menindas.
Relevansinya kuat dengan wacana kesetaraan gender hari ini. Aruna bisa jadi siapa saja, ibu rumah tangga, istri yang kehilangan suara, atau perempuan muda yang takut menjadi “beracun” seperti ibunya.
Dalam konteks ini, Racun Puan bukan hanya fiksi, tapi kritik sosial yang halus namun tajam. Isu dari dalam novel ini seperti tengah menguliti, menelanjangi luka yang membalut perempuan di dalam lingkungan patriarki.
Secara stilistika, Suciartini menulis dengan pilihan kata yang puitis namun tidak berlebihan. Ia membangun atmosfer yang kelam tapi tenang. Seolah menyatu dengan sunyinya luka-luka Aruna. Pembaca tidak disuguhi adegan dramatis berlebihan, tapi justru rangkaian sunyi yang lambat-lambat menyayat.
Hal ini menjadi kekuatan utama novel: ia menyentuh tanpa harus meledak-ledak. Penyampaian emosi bukan lewat tangisan, tapi lewat jeda, lewat diam, lewat hal-hal kecil yang tidak terucapkan.
Tak heran bila naskah Racun Puan mencuri perhatian juri dalam sayembara Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2021. Novel ini bukan hanya menawarkan cerita kuat, tapi juga membuktikan bahwa sastra bisa menjadi media advokasi kultural dan emosional.
Sejumlah tokoh seperti Happy Salma dan AAGN Ari Dwipayana turut memberikan apresiasi. Mereka menyoroti kekuatan novel ini dalam “menyuarakan sunyi perempuan” dan membongkar lapisan luka yang kerap tersembunyi dalam tatanan sosial.
Racun Puan adalah novel pendek, namun tidak bisa menganggap remeh dampaknya. Ia tidak hanya membuka ruang refleksi atas posisi perempuan dalam budaya Bali, tetapi juga menjadi cermin bagi masyarakat luas tentang bagaimana cinta, keluarga, dan tradisi kadang menciptakan luka yang diwariskan diam-diam. Bagi pembaca yang mencari bacaan dengan kedalaman makna, kritik sosial, dan kepekaan emosional, Racun Puan layak menjadi pilihan.
9 Comments