BincangMuslimah.Com- Kasus perselingkuhan pada rumah tangga public figure sangat mudah tersiar di media sosial. Di era sekarang, berita sangat mudah memancing perbincangan dan reaksi masyarakat umum.
Tapi kali ini ada satu kasus yang berbeda, yaitu ketika seorang istri sah melaporkan kasus perselingkuhan suaminya dengan pasal perzinahan. Ya, dalam agama Islam sudah sangat jelas bahwa perzinahan adalah hal terlarang. Namun, apakah menikah siri tanpa izin istri sah masuk kategori perzinahan? bisakah hal ini menjadikan seseorang terlibat masalah hukum dan dipidana?
Inilah uniknya Indonesia; negara hukum dengan mayoritas masyarakatnya beragama Islam. Bagaimana kompromi antara hukum syariat dan hukum buatan manusia (hukum positif)?
Zina dalam Islam
Dalam agama Islam, perzinahan tergolong sebagai kabāir (dosa besar). Secara terminologi, zina adalah hubungan seksual yg dilakukan oleh pasangan tanpa adanya ikatan pernikahan yang sah.
Al-Qur’an jelas melarang mendekati berbuat zina karena khawatir mengantarkan pada perzinahan. Hal ini sesuai dengan Qs. Al-Isra ayat 32 :
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنٰىٓ اِنَّهٗ كَانَ فَاحِشَةًۗ وَسَاۤءَ سَبِيْلًا
“Janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah perbuatan keji dan suatu jalan yang buruk.”
Dalam hukum Islam, zina terbagi menjadi dua macam, yaitu zina muhshan dan zina ghairu muhshan. Perbedaan keduanya terdapat pada siapa pelakunya. Zina muhsan pelakunya sudah menikah atau pernah menjalin pernikahan yang sah. Sedangkan zina ghairu muhsan pelakunya adalah orang yang belum menikah.
Islam menetapkan hukuman yang berat bagi pelaku zina. Ketentuan hukuman zina muhsan menurut mayoritas ulama adalah dirajam, sedangkan hukuman bagi pelaku zina ghairu muhsan adalah cambuk sebanyak 100 kali dan diasingkan.
Tetapi, sebagai negara hukum, Indonesia tidak secara mutlak berpegang pada ketentuan hukum Islam atau hukum agama lain. Masyarakat Indonesia tunduk pada perundang-undangan yang telah dirumuskan oleh pemerintah. Begitu juga pada persoalan perzinahan. Meskipun masalah ini menyangkut nilai agama, ketentuan hukumnya tetap mengikuti aturan perundang-undangan.
Pasal Perzinahan di Indonesia
Setelah reformasi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), persoalan zina (overspel) diatur pada KUHP Baru, tepatnya pada pasal 411 Undang-Undang no. 1 Tahun 2023, bahwa :
“Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya, dipidana karena perzinaan, dengan pidana penjara paling lama 1 tahun atau pidana denda paling banyak kategori II”.
Pasal ini sudah sangat tegas menjelaskan tentang siapa pelaku yang terkategorikan melanggar hukum beserta hukumannya. Dari sini jelas bahwa perzinahan terkait juga dengan pidana, sesuai hukuman pelanggaran di Indonesia pada umumnya.
Selanjutnya pada pasal 412 KUHP, tindakan kohabilitasi (tingal bersama) seperti suami istri; baik ada bukti hubungan seks atau tidak, juga termasuk pelanggaran hukum. Seperti halnya perzinahan, pasangan tanpa pernikahan yang tinggal bersama mendapat ancaman hukuman penjara paling lama selama enam bulan.
Jadi pasangan yang sama-sama telah menikah (perselingkuhan), atau salah satunya telah menikah, bahkan keduanya belum menikah, jika melakukan perzinahan, sama-sama melanggar hukum dan terancam pidana.
Lebih jauh, bahkan hubungan yang terjalin dari pasangan yang telah menikah siri juga termasuk melanggar peraturan ini. Ya, ini salah satu madharat pernikahan siri di negara hukum; pernikahanya tidak tercatat dan tidak mendapat pengakuan negara.
Melaporkan Kasus Perzinahan, Bisakah Berujung Pidana?
Dengan ini, perselingkuhan dengan dalih nikah siri atau kasus poligami siri tanpa persetujuan istri pertama, hubungannya tidak legal. Hubungan ini tergolong melanggar hukum dan dapat melaporkannya dengan pasal perzinahan oleh pihak yang berwenang melaporkan. Meskipun tampak sah secara agama, pernikahan tersebut bisa berujung pada pidana.
Satu hal yang perlu dicatat adalah, kasus perzinahan termasuk pada kategori delik aduan, yaitu kasus ini hanya akan diproses hanya jika ada pihak yang melaporkan. Artinya jika salah satu atau keduanya terikatan pernikahan, istri atau suami sah dapat melaporkan pasangannya yang berzina.
Jika pelaku perzinahan tidak memiliki ikatan pernikahan, orang tua atau anak pelaku perzinahan atau kohabilitasi tanpa perkawinan juga dapat melaporkan tindakan tersebut. Seperti layaknya delik aduan pada umumnya, pelapor dapat menarik aduannya sebelum proses pemeriksaan.
Tenang saja, tidak seperti sanksi sosial yang biasanya lebih berat pada perempuan, hukuman pelaku perzinahan menyasar laki-laki dan perempuan dengan setara. Begitulah aturan hukum tentang perzinahan di Indonesia. Pada akhirnya, baik moral agama maupun hukum negara memiliki tujuan yang sama yaitu menjaga kehormatan, menjaga sakralnya hubungan pernikahan, mencegah konflik, dan melindungi keluarga sebagai unit masyarakat.
