BincangMuslimah.Com– Sebagai seorang ibu negara Amerika yang baru merdeka, Abigail Adams adalah sosok perempuan yang berani menentang perbudakan. Ia yakin perbudakan bertentangan dengan agama yang dianutnya. Ia aktif dalam memperjuangkan hak-hak properti perempuan, dan membuka kesempatan bagi perempuan untuk menimba ilmu.
Abigail Adams lahir pada 22 November 1744 di Weymouth, Massachusetts, dari keluarga terhormat yang kental dengan tradisi keagamaan dan politik. Ayahnya, Reverend William Smith, adalah pendeta Congregasionalis, sedangkan ibunya, Elizabeth Quincy Smith, berasal dari keluarga Quincy yang berpengaruh di dunia politik koloni. Dari garis keturunan ibunya pula, Abigail terhubung dengan tokoh penting seperti Dorothy Quincy istri John Hancock dan Reverend John Norton, pendiri Old Ship Church. Latar belakang ini menanamkan pada dirinya nilai moral dan kesadaran sosial yang mendalam.
Menyerukan Hak Perempuan dari Gedung Putih
Masa kecil Abigail diwarnai kondisi kesehatan yang rapuh sehingga ia tidak sempat menempuh pendidikan formal. Namun, ibunya membimbing ia dan saudara-saudarinya membaca dan menulis, sementara perpustakaan keluarga memberinya akses pada karya sastra Inggris dan Prancis. Pendidikan otodidak itu melahirkan sosok Abigail yang cerdas, kritis, dan peduli pada hak-hak perempuan serta perkembangan pemerintahan Amerika yang baru berdiri.
Sebagai istri John Adams kelak Presiden kedua Amerika Serikat Abigail memainkan peran penting di balik layar. Surat-suratnya, yang penuh gagasan politik dan refleksi intelektual, kini menjadi dokumen berharga dari masa Revolusi Amerika. Selain itu, ia aktif dalam kegiatan gereja di First Parish Church, Quincy, yang semakin meneguhkan pandangan moral dan religiusnya.
Ketika John Adams menjabat Presiden, Abigail menjadi ibu negara pertama yang menempati Gedung Putih. Keterlibatannya dalam urusan politik sangat nyata hingga ia mendapat julukan Mrs. President. Ia berani menyuarakan hak perempuan, khususnya pendidikan dan kepemilikan properti. Menurutnya, perempuan tidak boleh sekadar menjadi pendamping, tetapi harus mendapat bekal pendidikan agar mampu membimbing keluarga sekaligus berkontribusi dalam masyarakat.
Keberanian Abigail juga tercermin dalam sikapnya menentang diskriminasi rasial. Ia pernah menerima seorang budak kulit hitam yang ingin belajar menulis, meski mendapat penolakan dari tetangga. Baginya, hak untuk belajar adalah milik setiap manusia, tanpa memandang warna kulit. Pandangan ini sejalan dengan keyakinannya bahwa perbudakan adalah ancaman bagi demokrasi yang baru tumbuh di Amerika.
Sejarawan Joseph Ellis menemukan lebih dari 1.200 surat antara Abigail dan John dan menilai gaya tulisannya bahkan melampaui suaminya. Dari surat-surat itu, tampak kecerdasan, keberanian, dan visi seorang Abigail Adams perempuan yang bukan hanya Ibu Negara, tetapi juga pemikir besar dan pejuang hak-hak perempuan yang meninggalkan jejak penting dalam sejarah Amerika.
Rekomendasi

1 Comment