BincangMuslimah.Com – “Sudah tua, buat apa kuliah?” atau “Ibu-ibu kok baru mulai kerja, mending di rumah saja ngurus anak.” Kalimat seperti ini masih sering kita dengar ketika perempuan ingin melanjutkan pendidikan atau memulai karir di usia matang.
Pandangan semacam ini bukan hanya hadir dalam komentar sehari-hari, namun juga terlembaga dalam aturan formal, termasuk di dunia kerja. Banyak iklan lowongan pekerjaan secara eksplisit mencantumkan syarat usia maksimal. Misalnya 25, 30, atau 35 tahun, dan seterusnya. Syarat ini seolah menegaskan bahwa setelah melewati batas usia tersebut, seseorang tidak lagi layak bekerja.
Bagi perempuan, aturan diskriminatif ini menjadi beban ganda. Di satu sisi, mereka mendapat dorongan untuk segera meraih pendidikan dan karir di usia muda. Di sisi lain, banyak perempuan memilih menunda mimpi mereka karena tuntutan pernikahan dan keluarga. Akibatnya, ketika ruang untuk melanjutkan pendidikan atau karir kembali terbuka, faktor usia menjadi penghalang.
Batas Usia yang Membelenggu
Di dunia kerja, diskriminasi usia masih nyata. Banyak lowongan yang mencantumkan syarat usia maksimal, seolah-olah setelah melewati batas itu seseorang tak lagi pantas bekerja.
Perempuan merasakan dampak paling besar dari aturan ini. Banyak di antara perempuan bercita-cita tinggi, namun menunda kuliah atau karir demi keluarga. Sayangnya, ketika ruang itu terbuka kembali, stigma usia justru menghadang.
Padahal, keputusan seorang perempuan untuk melanjutkan pendidikan di usia matang adalah bukti keberanian bahwa ia tidak menyerah pada mimpinya, sekaligus menunjukkan bahwa belajar bukan hanya untuk anak muda. Justru di usia 30 tahun ke atas, banyak perempuan memiliki kedewasaan berpikir, kestabilan emosi, dan kesiapan mental yang lebih matang untuk berkarya.
Laki-laki Dipuji, Perempuan Dicibir
Fenomena lain yang ironis adalah laki-laki yang melanjutkan pendidikan atau berkarir di usia matang justru dipuji sebagai pekerja keras dan pantang menyerah. Namun ketika perempuan yang berada di posisi tersebut, justru mendapat cibiran dan komentar negatif.
Padahal, baik laki-laki maupun perempuan sama-sama memiliki hak untuk belajar dan bekerja sepanjang hayat. Islam sendiri menegaskan bahwa menuntut ilmu adalah kewajiban semua manusia tanpa batasan usia. Rasulullah SAW bersabda: “Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap Muslim, laki-laki maupun perempuan.” (HR. Ibnu Majah).
Artinya, usia tidak boleh menjadi alasan untuk menghalangi perempuan atau laki-laki menempuh pendidikan. Ilmu dan karir bukan hanya hak, namun juga jalan menuju kemandirian finansial dan berpikir, serta kebermanfaatan sosial. Sebagaimana ungkapan bijak: “Yang bisa menolong perempuan adalah pendidikan dan karir.”
Inspirasi dari Perempuan Pejuang Ilmu
Kita bisa belajar dari Diana Patricia Pasaribu Hasibuan, seorang nenek yang meraih gelar S3 pada usianya yang sudah lebih dari kepala tujuh pada tahun 2012 lalu dari Sekolah Teologi Bethel Indonesia. Raihannya tersebut sempat menjadikannya pemegang rekor MURI sebagai perempuan peraih S3 tertua di Indonesia.
Sebelumnya, pada tahun 2014, ia juga mencatat rekor sebagai sarjana S1 tertua di Indonesia saat usianya 69 tahun. Hebatnya, nenek dari 12 cucu itu mengaku bahwa disertasinya setebal 323 halaman dibuatnya sendiri tanpa bantuan orang lain.
Selain itu, ada Twila Boston. Pada usia yang hampir menginjak satu abad, yakni 98 tahun, ia meraih gelar sarjana dari Utah State University, Amerika Serikat pada tahun 2011 lalu. Nenek kelahiran 7 September 1913 ini sempat menempuh kuliah pada 1970-an namun tak selesai. Usai tertunda cukup lama, dia kembali menghubungi pihak universitas untuk menyelesaikan pendidikannya tersebut.
Keduanya membuktikan bahwa pendidikan bukan hanya soal gelar, namun juga tentang ketekunan, keberanian, dan perlawanan terhadap stigma sosial. Jika laki-laki yang belajar di usia matang dianggap hebat, mengapa perempuan tidak bisa dipandang sama?
Belajar Sepanjang Hayat
Tidak ada kata terlambat bagi perempuan untuk menyalakan kembali mimpi yang sempat padam. Pendidikan dan karir bukan hanya jalan menuju gelar atau pekerjaan, melainkan jembatan menuju kemandirian diri, kebermanfaatan sosial, dan cinta pada diri sendiri.
Di sinilah kita perlu hadir bukan sebagai penghalang, namun sebagai pendukung. Sebab yang membatasi perempuan bukanlah usia, melainkan pandangan masyarakat yang masih bias gender.
Selama perempuan diberi ruang, pendidikan dan karir, ia akan menjadi sayap yang membuat mereka terbang lebih tinggi mewujudkan mimpi yang pernah dianggap mustahil.
7 Comments