BincangMuslimah.Com – Hadis mengenai umur pernikahan Sayidah Aisyah dengan Nabi Muhammad saw menjadi isu perdebatan di kalangan para cendekiawan. Redaksi hadis yang memotret pernikahan Aisyah pada umur tujuh atau sembilan tahun sering menjadi dalil bahwa Nabi adalah seorang pedofil, sebutan bagi orang yang memiliki nafsu seksual terhadap anak-anak di bawah umur.
Kalangan ulama Muslim membedah kandungan hadis ini panjang lebar dalam kitab turats. Mereka berbeda pendapat tentang perkiraan umur Aisyah juga status dari hadis itu sendiri. Lebih lanjut, para cendekiawan kontemporer juga estafet beradu argumen dengan menghadirkan perspektif yang berbeda, seperti Jasser Auda dan Jonathan Brown yang dikemukakan oleh Muhammad Rafiq Muzakkir.
Namun perlu menggarisbawahi, artikel ini tidaklah mendukung pernikahan dini, melainkan hanya mengemukakan fakta bahwa standarisasi usia pernikahan sebenarnya merupakan produk modern kolonial. Jauh sebelum itu, pernikahan dini belum menjadi sebuah permasalahan, apalagi di zaman Nabi. Jadi, bisa saja status hadis Nabi memang sahih karena hanya memotret fenomena kala itu yang mendapat dukungan dengan rawi yang sebagian besarnya dianggap kredibel.
Memahami Hadis Umur Pernikahan Aisyah Menurut Jasser Auda
Jasser Auda, seorang pengkaji hukum Islam kelahiran Kairo menolak kesahihan hadis pernikahan dini Aisyah. Ia meyakini bahwa Aisyah menikah dengan Nabi tatkala umurnya sudah terbilang dewasa.
Menurutnya, setidaknya ada tiga aspek yang perlu diperhatikan dalam memahami hadis ini. Pertama, kondisi sosial politik mempengaruhi periwayatan rawi. Seorang rawi bisa saja menerima maupun menolak suatu riwayat berdasakan latar belakang sosio-politik mereka. Auda sendiri setuju bahwa hadis pernikahan Aisyah di usia sembilan tahun adalah palsu. Pemalsuan ini terjadi pada Dinasti Umayah dengan tujuan melegitimasi perbudakan anak-anak kecil.
Selain itu, dari segi matan, hadis ini sebenarnya bertentangan dengan prinsip umum ajaran al-Quran. Melalui firman-Nya dalam Q.S. an-Nisa (4): 2, Allah memerintah untuk menikahi perempuan jika sudah baligh. Rasanya tidak mungkin Rasulullah sebagai uswatun hasanah tidak mengaplikasikan ayat ini dalam kehidupannya. Sebagai pendukung, terdapat riwayat lain yang menunjukkan bahwa Asiyah megikuti perang Uhud. Tidak logis rasanya jika ia masih anak-anak kala itu.
Terakhir, dari kritik sanad, hadis yang mengatakan Aisyah menikah dengan Nabi pada umur lima atau tujuh tahun memiliki rawi yang bernama Hisham bin Urwah. Dalam penilaian beberapa kritikus, ia berstatus sebagai tidak kredibel setelah pindah ke Kufah karena memiliki hubungan erat dengan penguasa saat itu. Bahkan, dirinya juga dianggap sebagai mudallis.
Memahami Hadis Umur Pernikahan Aisyah Menurut Jonathan Brown
Berbeda dengan Jasser Auda, Jonathan Brown seorang sarjana Muslim asal Amerika Serikat justru mengonfirmasi kesahihan hadis pernikahan Aisyah. Memang benar adanya bahwa Nabi menikahi Aisyah saat usia dini.
Ada tiga alasan yang menguatkan pendapat Brown. Pertama, Alquran memiliki hubungan yang erat dengan hadis. Jika ada hadis dan Alquran yang terlihat bersebrangan, riwayatnya tidak bisa langsung ditolak. Bisa jadi pemahaman pembacalah yang belum utuh. Terlebih lagi, seperti penjelasan hadis oleh Imam Syafi’i dalam Al-Umm, memiliki empat fungsi. Salah satunya adalah menguraikan hukum yang masih bersifat global. Jadi, merujuk hadis dalam memahami ayat Alquran adalah suatu keharusan.
Kedua, banyak mukharij yang meriwayatkan dan mengkopilasi hadis pernikahan Aisyah dengan berbagai versi isnad dan matan yang memiliki tingkat kemiripan tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa tidak bisa mempertanggungjawabkan hadis tersebut, bukan palsu.
Terakhir, melalui pendekatan dekolonisasi, kita akan menemukan fakta yang mencenangkan. Ternyata, hadis pernikahan Asiyah ini baru dipermasalahkan di masa modern. Jauh sebelum itu, pernikahan usia dini merupakan hal umrah terjadi, baik di dunia Arab maupun di kalangan bangsa Eropa.
Di Eropa, isu pernikahan dini baru ramai sejak David Margoliouth menerbitkan buku Muhammad and The Rise of Islam pada tahun 1905. Pemikirannya ini terpengaruh oleh praktik pernikahan dini di Britania Raya. Sebelum masa modern, di beberapa negara Eropa lainnya tidak menganggap pernikahan dini menjadi sesuatu yang problematis. Hingga kemudian pembuatan hukum dan menetapkan usia 12 tahun sebagai ambang batas minimal usia calon pengantin.
Penjelasan Dari Huda Sharawi
Sedangkan di kalangan cendekiawan Muslim, Huda Sharawi adalah sosok  pertama yang mengangkat isu ini. Setelah kepulangannya mengikuti konferensi di Italia, ia membujuk parlemen Mesir untuk mengeluarkan hukum yang mengatur pembatasan usia menikah di tahun 1923. Setelah itu, banyak ulama Muslim yang mulai mempermasalahkan hadis ini.
Paparan di atas menunjukkan bahwa usia minimal penikahan baru terjadi di masa modern. Perdebatan terjadi setelah adanya kompilasi hukum di berbagai negara mengenai usia minimal pernikahan. Di abad ketujuh masehi, saat Nabi menikahi Aisyah, masih menganggap pernikahan dini wajar, sama wajarnya dengan pernikahan di belahan negara lainnya.
Meskipun begitu, mengingat beberapa aspek psikologis perempuan yang belum siap di usia anak-anak, pernikahan dini memang tidak dibenarkan di era sekarang. Apalagi jika ia harus mengandung di usia yang masih terbilang dini dan harus mempertaruhkan kondisi kesehatan seorang ibu.
Rekomendasi
