BincangMuslimah.Com – Di masa awal ditetapkannya puasa Ramadhan, belum ada ketentuan-ketentuan yang mengatur lebih detail. Pada waktu itu, ketika orang muslim tengah melakukan puasa, mereka tidak boleh tidur agar bisa makan, minum ataupun mencampuri istri mereka.
Jika mereka tertidur lebih dulu, maka mereka akan menjauhi semua perbuatan tersebut hingga esok hari sampai datang waktu berbuka. Pernyataan-pernyataan ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud, dan al-Hakim dari jalur ‘Abdurrahman bin Abi Laila dari Mu’adz bin Jabal dan al-Bukhari dan al-Barra’. Riwayat ini dilatarbelakangi oleh kisah yang terjadi pada Qais bin Shirmah dan yang pingsan saat puasa Ramadhan yang kemudian menjadi penyebab turunnya surat al-Baqarah [2]: 187.
Dalam catatan Tafsir ath-Thabari (Jilid 3, 154) Qais bin Shirmah memiliki beberapa julukan. Ada yang menyebutnya Sharmah bin Anas, atau Ibnu Qais al-Anshari aI-Khatami. Ada pula yang memanggilnya Sharmah bin Abi Anas bin Malik bin Udai bin Amir bin Ghanam dari Ibnu Udai bin Najjar aI-Anshari al-Khazraji an-Najjari.
Sedangkan menurut Ibnu Hajar yang benar adalah Abu Qais Sharmah bin Abi Anas Qais bin Malik bin Udai. Namun ada sebagian orang yang salah menyebut namanya dan menamainya dengan julukannya, sebagian yang lain menisbatkannya kepada kakeknya, dan sebagian yang lain membalik nasabnya, dan sebagian yang lain merubahnya menjadi Dhamrah bin Anas.
Dalam ceritanya dikisahkan, pada saat itu Qais bin Shirmah mencampuri istrinya ketika hendak berbuka puasa. Setelah itu, ia bertanya kepada istrinya, “Apakah kamu memiliki makanan?”, istrinya menjawab, “Tidak, tetapi aku akan keluar untuk mencarikan makanan untukmu.”
Ketika istrinya pergi mencarikan makanan, dan saat kembali ke rumah ia mendapati Qais bin Shirmah tertidur. Ia kelelahan sebab siangnya bekerja. Lalu, istrinya pun bergumam, “Celakalah engkau!” (Imam as-Suyuthi, Asbabun Nuzul, 49)
Dalam riwayat yang lain diceritakan, dari Musa bin Harun dari Amr bin Hammad dari Asbath dari As-Suddi, bahwa salah seorang pemuda Anshar, yakni Abu Qais bin Shirmah yang bekeria di perkebunan pagar Madinah (dengan upah). Ketika pulang dari bekerja, ia membawa kurma dan berkata kepada isterinya, “Tukarlah kurma ini dengan gandum, dan buatkan makanan yang hangat agar aku bisa memakannya, karena kurma telah membakar perutku.”
Kemudian, isterinya pun pergi untuk menukarkan kurma, lalu membuatkannya makanan. Akan tetapi, ternyata itu terlambat. Qais bin Shirmah telah tertidur. Ia dibangunkan oleh istrinya, namun ia enggan melanggar perintah Allah dan Rasul-Nya. Ia enggan makan dan terus berpuasa sampai pagi hari. Lalu, Rasulullah saw. melihatnya ketika sore hari dan bertanya, “Ada apa denganmu wahai Abu Qais? Engkau tampak sangat lelah sore ini?”. Lalu, ia menceritakan permasalahannya. (Tafsir ath-Thabari, Jilid 3, 159)
Dari Imam Bukhari meriwayatkan dari al-Barra’ bin Azib, bahwa ketika Qais bin Shirmah bekerja di kebun keesokan harinya, padahal baru setengah hari, ia pun pingsan. Lalu, kejadian tersebut diceritakan kepada Nabi Saw., maka turunlah surah Albaqarah [2]: 187.
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَائِكُمْ ۚ
Artinya, “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu…”
Dengan turunnya ayat di atas, para sahabat menjadi senang dan legah. Sebab ketentuan-ketentuan puasa di bulan Ramadhan sudah jelas. Kemudian, turun sambungan ayatnya:
وَكُلُوا وَاشْرَبُ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْو َدِ مِنَ الْفَجْرِ ۖ
Artinya, “…dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar…”
Demikian kisah dari Qais bin Shirmah yang pingsan saat menjalani puasa Ramadhan dan kemudian menjadi penyebab turunnya surah al-Baqarah ayat 187.[]
Wallahu a’lam bish shawab.