BincangMuslimah.Com – Di salah satu serial kultumnya, Imam Besar Al-Azhar Prof. Ahmad Thayyib mengulas tentang konsepsi kepala keluarga dalam pandangan Islam. Hal-hal yang selama ini banyak dipertanyakan terkait konsep kepala keluarga, dibahas tuntas oleh Prof. Ahmad Thayyib.
Di antaranya, mengapa dalam Alquran laki-laki yang disebut sebagai qawwam atau kepala keluarga? Apakah ketentuan kepala keluarga harus laki-laki itu bersifat mutlak sehingga tidak bisa berubah? Lantas bagaimana Islam mengatur relasi kepala keluarga dengan anggota keluarganya?
Prof. Ahmad Thayyib menuturkan, Islam mengajarkan bahwa dalam bermuamalah dan berinteraksi dengan sesama, ada kaidah atau landasan umum yang harus dipegang setiap orang. Ia adalah kemanusiaan, keadilan, serta kesetaraan. Baik itu dengan suami, istri, anak, kerabat, tetangga, bahkan kepada yang berbeda agama sekalipun. Ketika suatu perkara melanggar asas kemanusiaan, keadilan, dan kesetaran, maka Islam memandang hal itu buruk.
Akan tetapi, Islam membuat pengecualian dalam persoalan keluarga. Di mana dalam surat An-Nisa ayat 34, Allah Swt. menempatkan suami sebagai qawwam atau kepala rumah tangga bagi sang istri. Sebab menjadi pengecualian, tentu untuk sah menjadi kepala rumah tangga, suami perlu memenuhi syarat-syarat tertentu. Sehingga pengecualian itu tidak ada tanpa alasan. Sebelum membahas syarat pengecualian tersebut, mari kita pahami terlebih dahulu bagaimana Prof. Ahmad Thayyib mendefinisikan qawwam.
Qawwam berarti seorang penanggung jawab, koordinator, kepala atau pemimpin dalam suatu kelompok. Keberagaman watak, pola pikir dan latar belakang setiap individu membuat keberadaan penanggung jawab dalam suatu kelompok menjadi hal yang mesti ada. Sekalipun seluruh anggota pasukan adalah seorang sahabat, Rasulullah Saw. tetap memilih satu orang untuk menjadi panglima perang. Bahkan dalam menunjukkan eksistensi keesaannya, Allah Swt. mengajarkan logika yang sama. Dalam surat al-Anbiya’ ayat 32, Ia berfirman, “Andai di alam semesta ini ada dua tuhan, niscaya ia akan hancur.”
Sayangnya, konsepsi kepala keluarga yang disebutkan dalam Alquran acap kali disalahpahami sebagai kekuasaan absolut seorang suami. Istri hanya dianggap sebagai alat untuk memuaskan hasrat suami. Suami menyuruh dan melarang, istri hanya sabar dan taat. Suami berkehendak semaunya, istri hanya boleh diam.
Dalam literatur Arab, kondisi demikian disebut dengan baitut tha’ah. Oleh Prof. Ahmad Thayyib hal tersebut dianggap tidak sesuai dengan tuntunan Islam. Sebenarnya, tujuan adanya status kepala keluarga adalah untuk memastikan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan kesetaraan tetap hidup di dalam sebuah keluarga. Bukan justru mematikan asas-asas tersebut.
Setiap suami dan istri memiliki hak serta kewajiban yang harus saling dipenuhi dan dilakukan. Istri punya andil untuk menentukan arah keluarga. Dia boleh
menyampaikan ketidaksetujuannya atas pendapat suami. Bahkan boleh meninggalkan suami dengan hak khulu’nya, jika suami tidak memenuhi kewajibannya.
Lantas, mengapa Alquran menyebut kepala keluarga dari kalangan laki-laki? Prof. Ahmad Thayyib menyebutkan dua sebab.
Pertama, dengan segala perbedaan yang melekat pada laki-laki dan perempuan, kondisi laki-laki yang dinilai lebih mampu dan kuasa untuk mengemban tanggung jawab sebagai kepala keluarga. Kedua, suami memiliki kewajiban mencari nafkah sedangkan perempuan tidak.
Dua alasan ini bukan berarti Islam memandang lemah perempuan, atau bahkan memandang perempuan tidak lebih baik dari laki-laki. Justru Islam ingin menempatkan keduanya sesuai porsi. Sebab mustahil kalau masing-masing suami dan istri memiliki hak serta kewajiban yang sama persis. Perempuan telah dibebani Allah Swt. beraneka pengalaman biologis yang tidak mungkin ditanggung oleh laki-laki. Sehingga laki-laki yang dibebani dua tanggung jawab di atas.
Kemudian, apakah status kepala keluarga bagi suami itu bersifat mutlak dan tidak bisa diganggu gugat?
Prof. Ahmad Thayyib secara tegas mengatakan bahwa status kepala keluarga bisa lepas dari suami jika ia tidak memenuhi dua hal di atas. Misal, seorang suami tidak melaksanakan kewajibannya untuk menafkahi keluarga, maka seketika ia bukan lagi seorang kepala keluarga. Karena nafkah menjadi alasan utama laki-laki diberi hak menjadi kepala keluarga. Di posisi demikian, istri memilih antara dua hal. Dia menggantikan posisi suami dengan mencari nafkah, atau meninggalkan suami dengan hak khulu’nya.
Demikianlah Islam mengatur konsep kepala keluarga. Ia tidak berstatus mutlak bagi suami, tetapi juga bisa lepas sewaktu-waktu, jika ia tidak melaksanakan kewajibannya. Bukan konsep rumah tangga yang sarat akan ketimpangan hak suami-istri, tapi Islam menginginkan kehidupan rumah tangga yang penuh cinta, memegang teguh nilai keadilan, kemaslahatan, dan kemakrufan setiap anggotanya.