BincangMuslimah.Com – Salah satu syarat sah shalat adalah shalat pada waktunya. Jika seorang muslim melaksanakan shalat di luar waktu maka konsekuensinya shalat tersebut tidak sah. Setiap muslim wajib berijtihad (berupaya keras) dalam menentukan waktu shalat. Tapi bagaimana bagi penyandang tuna netra dalam mengetahui waktu shalat?
Saat ini, waktu shalat bisa diketahui dengan azan yang berkumandang dari surau atau masjid. Atau bisa diketahui dengan melihat jam dinding, jam pada ponsel, atau “halo google”. Tapi dalam kasus tertentu, penyandang tuna netra memiliki keterhambatan untuk mengetahui waktu shalat. Misal, saat ia sedang tidak bersama siapapun dan tidak ada alat bantu apapun.
Dalam keadaan apapun, seorang muslim baik penyandang disabilitas ataupun bukan wajib hukumnya untuk berijtihad dalam mencari waktu shalat. Maka penyandang disabilitas harus tetap berijtihad sesuai kemampuannya. Jika pada suatu kondisi ia tidak bersama siapa-siapa, ia tetap wajib berijtihad semampunya. Misal, merasakan panas matahari atau suara ayam berkokok.
Dalam kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab karya Imam Nawawi dijelaskan bahwa seorang penyandang netra tetap wajib melakukan ijtihad dalam mengetahui waktu shalat. Jika ia shalat tanpa berijtihad terlebih dahulu lalu ia shalat, sekalipun shalatnya tepat waktu (karena kebetulan), shalatnya tidak sah.
Begini redaksinya,
وإذا وجب الاجتهاد فصلي بغير اجتهاد لزمه إعادة الصلاة وإن صادف الوقت لتقصيره وتركه الاجتهاد الواجب وقد تقدم نظيره في باب التيمم قال في التتمة لو ظن دخول الوقت فصلي بالظن بغير علامة ظهرت فصادف الوقت لا تصح صلاته لتفريطه بترك الاجتهاد والعلامة وإذا لم تكن له دلالة أو كانت فلم يغلب علي ظنه شئ لزمه الصبر حتى يظن دخول الوقت والاحتياط أن يؤخر إلي أن يتيقنه أو يظنه ويغلب علي ظنه أنه لو أخر خرج الوقت نص عليه الشافعي رحمه الله واتفق الاصحاب عليه
Ketika penyandang disabilitas netra tersebut diwajibkan untuk ijtihad kemudian ia shalat tanpa berijtihad terlebih dahulu maka ia wajib mengulang shalatnya meskipun ia shalat di waktu yang tepat, sebab ia telah lalai meninggalkan ijtihad yang wajib. Hal ini telah dibahas di bab tayammum, penulis kitab Titimmah menuliskan, “apabila seorang peyandang netra menyangka waktu shalat kemudian dia shalat dengan dugaan tersebut tanpa adanya tanda-tanda yang nyata baginya dan ternyata kebetulan waktunya tepat, maka shalatnya tidak sah sebab ia lalai dengan meninggalkan ijtihad dan mengabaikan tanda-tanda sekitar.
Apabila ia tidak memakai tanda-tanda satupun (untuk dipakai menentukan waktu shalat) atau ada tanda tersebut tapi ia tidak bisa menduga mana yang benar, maka dia wajib menunggu sampai ia bisa menduga keras waktu shalat telah benar-benar masuk. Sebagai kehati-hatian, dia boleh menunda shalatnya sampai batas ia yakin atau menduga keras bahwa kalau ditunda lagi waktu shalat akan berakhir. Ini adalah pernyataan tegas Imam Syafi’i dan disepakati oleh para muridnya.
Demikian penjelasan mengenai cara penyandang tuna netra mengetahui waktu shalat. Hal wajib yang mesti ia lakukan pertama kalinya adalah ijtihad dengan semampunya, merasakan tanda-tanda yang ada di sekitarnya bila tidak bersama siapapun. wallahu a’lam.