Kabar duka nan pilu datang dari salah satu negeri di Timur Tengah. Ya, telah berpulang Nawal el-Sa’dawy pada Minggu, 21 Maret 2021 menyisakan banyak kenangan dan cerita perjuangan. Ia menjadi icon pejuang kesetaraan gender dan keadilan di Mesir dan dunia. Melalui karya-karyanya, ia lantang menyuarakan realitas sosial di masyarakat Arab yang kental dengan budaya patriarki.
Dalam biografi yang ia tulis sendiri dan berjumlah 3 jilid, “Awroqii wa Hayatii”, Nawal merupakan seorang penulis, psikiater, sekaligus jurnalis. Lahir pada 27 Oktober 1931 di sebuah desa bernama Kafr Thahlah yang letaknya di pinggiran sungai Nil. Nawal merupakan buah pernikahan dari orang tua yang sangat berpengaruh bagi masyarakat Arab kala itu. Bapaknya merupakan salah satu pegawai di Kementrian Pendidikan Mesir pada masanya. Darinya pula Nawal belajar tentang nilai-nilai perjuangan dan perlawanan atas ketidakadilan. Sedangkan ibunya, mewariskan rasa tanggung jawab dan keberanian.
Nawal menyelesaikan pendidikan di bidang kedokteran pada tahun 1955 M. Lalu ia melakukan praktik di beberapa rumah sakit di desa. Pengalaman-pengalamannya bertemu banyak perempuan saat melakukan praktik semakin membangkitkan gairahnya dan sikap kritisnya terhadap nilai-nilai patriarki yang melekat. Bahkan ia membagikan kisah pengalamannya saat berprofesi sebagai dokter dalam bukunya, Mudzakkirot at-Thayyibah yang juga terdapat versi bahasa Indonesia dengan judul “Memoar Seorang Dokrer.”
Tentu apa yang diambil oleh Nawal dalam setiap gerak langkahnya tak mudah. Ia banyak mendapat kecaman, ancaman, dan akses yang seirngkali dibatasi. iIa dikeluarkan dari jabatannya sebagai ketua bidang kesehatan di Mesir pada tahun 1972 karena menulis buku al-Mar`ah wa al-Jins (Women and Sex). Tapi ia tetap yakin pada dirinya sendiri dan tak ada yang mampu menghentikannya untuk menulis dalam rangka perlawanan terhadap budaya patriarki. Banyak sekali bukunya yang dilarang terbit di Mesir dan Saudi lalu akhirnya diterbitkan di Lebanon dan Libya.
Nawal el-Sadawy telah menulis sejak usianya 13 tahun. Dirinya tumbuh sebagai perempuan yang seringkali mempertanyakan banyak hal dan melawan ketidakadilan. Pemikirannya yang tajam dan perlawanannya yang kuat tak hanya mendapat dukungan, tapi juga perlawanan dari rival. Hingga kini Nawal telah menulis lebih dari 55 buku yang terdiri dari novel, kumpulan cerpen, naskah drama, dan biografi. Karya-karyanya yang hidup dan menggelora, serta membangkitkan jiwa-jiwa pembacanya, mendobrak pemahaman patriarki yang bercokol di kepala hampir setiap manusia.
Dalam catatan sejarah, Nawal juga pernah ditangkap dan dipenjara saat dirinya secara terang-terangan mengkritik kebijakan Presiden Anwar Sadat pada tahun 1981. Ia juga pernah dikeluarkan dari Mesir karena bukunya yang dianggap kontroversial Suquth al-Imam yang juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berjudul Jatuhnya Sang Imam. Buku lainnya yang tak kalah berani adalah Imro`atun ‘Inda Nuqthoti as-Shifr dalam versi bahasa Indonesia berjudul “Perempuan di Titik Nol” diminati banyak orang. Buku tersebut membuka mata masyarakat tentang manipulasi agama dan kebejatan kaum laki-laki di Mesir. Novel yang berangkat dari kisah nyata. Ia mengkritisi realitas Mesir melalui novel itu dan membongkar kebusukan-kebusukan pemangku kebijakan serta pemikiran-pemikiran kolot atas nama agama.
Ia menggemakan kesetaraan gender dan melawan doktrin-doktrin yang membelenggu perempuan. Hidupnya dihabiskan untuk membela perempuan, menagih kebebasan. Semangatnya tak padam. Di usianya yang senja, ia masih sering mengisi seminar, menulis kritik atas pemerintah, melakukan demontrasi, dan aktivitas-aktivitas sosial lainnya. Nawal el-Sa’dawy begitu berani. Ia telah pergi, namun perjuangannya tak boleh berhenti. Rest in power, telah berpulang Nawal el-Sa’dawy, 21 Maret 2021.