BincangMuslimah.Com – Ada hasil penelitian dari tiga peneliti perempuan yakni Annemarie Shcimmet (Jerman), Sachiko Murata (Jepang) dan Kaukab Siddique (Pakistan) tentang peran sufi perempuan dalam keilmuan Islam.
Tiga peneliti tersebut melakukan kajian komprehensif dan intensif dalam sufisme gender dalam karya-karya mereka: Ruhku Adalah Wanita, The Tao of Islam, A Sourcebook on Gender Relationship in Islamic Thought dan The Struggle of Muslim Women.
Ketiganya menarik kesimpulan bahwa tradisi sufisme secara serius mampu menggali dan memformulasikan prinsip-prinsip dalam makna yang paling menukik dalam. Prinsip-prinsip tersebut bisa diaplikasikan dalam pendekatan dan cara baru, tanpa merusak makna dan ruh tersurat syariat.
Sachiko Murata dalam buku The Tao of Islam (1993) menuliskan bahwa tanpa pengetahuan tentang prinsip-prinsip tersebut, pendekatan baru sebenarnya bisa dicapai dengan menaati syariat. Tapi, semua itu kerap akan merusak ruhnya.
Isu gender tidak bisa diungkap secara komprehensif dan intensif oleh syariat saja, sebab syariat hanya mengungkap aspek ajaran eksoterik atau al-zhawahir. Syariat hanya mengungkap kulit luar dari prinsip dan akar pemikiran Islam, yang tidak bisa dipahami secara jelas.
Isu gender juga tidak bisa diungkap penuh dengan kalam dan bahkan falsafat. Sachiko Murata menambahkan bahwa kalam tidak terlibat dalam spekulasi tentang karakter realitas dalam menjelaskan konsepsi relasi gender.
Menurut Sachiko Murata, konsentrasi utama kalam menopang otoritas al-Qur’an dan sunnah sebagai sumber ajaran. Akhirnya, kalam memiliki persepsi yang hampir sama dengan syariat, bukan menjelaskan karakter realitas.
Sachiko Murata mencatat, dalam surat at-Tin ayat delapan sebagai berikut:
أَلَيْسَ ٱللَّهُ بِأَحْكَمِ ٱلْحَٰكِمِينَ
A laisallāhu bi`aḥkamil-ḥākimīn
Artinya: “Bukankah Allah Hakim yang seadil-adilnya?”
Bagi Sachiko Murata, Allah sebagai Pemberi Perintah berada di puncak segala kepedulian. Isu tersebut kemudian direspons dan diformulasikan oleh perennial wisdom, the wisdom of sufisme atau sapinetal tradition yaitu tradisi kearifan yang direfleksikan pada struktur realitas sebagaimana ditampakkannya dalam wujud.
Sufi wisdom dalam tradisi kearifan dan intelektual Islam memiliki fungsi untuk menggali argumen prinsip dalam sistem ajaran Islam. Para sufi adalah peletak dasar pola tradisi kearifan, di samping filsuf dan mutakallimun, sebab, sufisme berupaya keras menyibak esensi makna di balik eksistensi materi dan hukum alam, sunnatullah.
Ukuran dan batas antara sufisme teoritis dan falsafi sulit ditentukan dan elaborasi antara keduanya terjalin dengan harminos, sehingga ada al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Thufail, Ibnu Bajah, Ibnu Rusyd dan Murtadha Muthahhari, Ibnu Sab’un, Ibnu Arabi, Shadra, imam Khomeini dan Husein Nashr adalah di antara tokoh sufi filsuf.
Demikian kisah tiga peneliti dari tiga negara yang berbeda yang melakukan penelitian terhadap para sufi perempuan melalui kajian teks dan dituangkan dalam karya mereka.