BincangMuslimah.Com – Selepas Shalat Isya, empat orang laki-laki yang kira-kiran berumur setengah baya hingga menyentuh usia senja bersiap di posisi masing-masing. Dua di antaranya duduk di sebelah kanan surau dan lainnya di sebelah kiri. Hematnya, mereka berempat saling berhadapan. Keempatnya tidak sekadar duduk di atas tikar masjid, namun dialasi dengan kasur kecil yang dilapisi dengan kain panjang. Dalam posisi siaga, semuanya memeluk sebuah baki berdiameter 65 cm. Kami menyebutnya sebagai dulang.
Setelah beberapa kali tangan ditabuh pada dulang tersebut, empat laki-laki itu bergantian mengucapkan syair dalam bahasa Minang. Tiap syair diisi oleh shalawat yang ditujukan kepada nabi Muhammad SAW. Hikayat Rasulullah, memuji dan menyanjung sekaligus falsafah kehidupan yang bersumber pada ajaran Islam. Sesekali keempat laki-laki itu menyelipkan lirik lagu Minang hingga istilah modern untuk menambahkan variasi pada syair.
Ini berlangsung sampai fajar terbit dan adzan subuh menjadi pertanda jika aktivitas yang diberi juluk salawaik dulang berakhir. Dari sini pembaca mungkin mulai bertanya apa yang dilakukan oleh keempat orang laki-laki itu sampai subuh? Dan mengapa?
Kegiatan yang dilakukan oleh keempat orang itu merupakan kebudayaan dari Sumatera Barat yang berwujud kesenian sastra lisan. Sastra lisan merupakan bentuk karya sastra yang dimunculkan oleh masyarakat lewat kreatifitas berisi nilai dan norma. Sastra ini terus berkembang lewat penyair (dalam salawaik dulang adalah pedendang) dari mulut ke mulut ke pendengar.
Salawaik dulang sendiri terdiri memiliki artian shalawat dulang (baki). Sesuai dengan namanya, dalam syair yang dibawakan ada terselip shalawat dan tentunya diiringi dengan dulang yang ditabuh oleh tangan.
Salawaik dulang biasanya dibawakan saat hajat besar salah satunya Maulid Nabi Muhammmad SAW. Dahulu tradisi ini dibawah oleh salah satu penyiar agama Islam di Sumatera Barat yaitu Syekh Burhanuddin. Putra daerah asli Minang yang mendalami ajaran Islam ke Aceh.
Di sana, beliau melihat bagaimana Aceh menyampaikan dakwah dengan cara menghibur masyarakat lewat kesenian yaitu rebana. Syekh Burhanuddin pun mengambil dulang sebagai pengganti rebana dan kemudian mendendangkan syair-syair keagamaan sebagai bentuk dakwah.
Di dalam penampilan salawaik dulang, ada tiga hal utama yang disampaikan dan menjadi penekanan. Pertama, yaitu pembukaan yang berisi inti dari pembawaan salawaik dulang tersebut.
Kedua adalah berisi kaji yang merupakan tafsiran dari Al-Quran dan Hadist. Dan terakhir adalah penutup. Selain itu ada nilai-nilai Aqidah yang dimasukkan ke dalam syair salawaik dulang yaitu Aqidah ilahiat ( zat Allah), nubuwwat (kenabian), Aqidah sam’iyat dan ruhaniyyah (alam ghaib). Berikut salah satu contoh lirik dari salawaik dulang yang berisikan aqidah ilahiah.
Partamo sifaik Allah tanamo basir (pertama sifat Allah bernama basir)
Kaduo sifaik Allah banamo samik (kedua sifat Allah bernama sami’)
Katigo sifaik allah banamo alemu (ketiga sifat Allah bernama ilmu)
Tidak hanya Aqidah, di dalam salawaik dulung juga disampaikan perihal nilai-nilai syariah ibadah maupun jinayat (hukum).
Malam kalimo datanglah
seso Aus jo lapa tidak tabado
Bakraso tabaka dek api narako
Itu tanggungan urang badoso
Salah satu lirik dari salawaik dulang di atas bermaknakan bahwa rasa haus dan lapar tidaklah sebanding dengan panasanya api neraka. Jadi dijelaskan bahwa puasa ada ibadah yang wajib dilaksanakan. Dan jikalau tidak dilaksanakan, maka terbitlah dosa.
Ketika masih kecil, penulis masing seringkali melihat sekaligus menghadiri acara salawaik dulang saat acara maulid nabi. Namun seiring berjalannya waktu, tradisi ini mulai tergerus dan sebagian dari generasi saat ini ada yang tidak mengetahui. Padahal selain mengenalkan sosok Nabi Muhammad SAW, ada nilai kebaikan yang diajarkan di dalam syair salawaik dulang ini.