BincangMuslimah.Com- Kala itu, Romawi adalah kerajaan terbesar dalam sejarah dunia. Sedangkan Konstantinopel merupakan ibukota kekaisaran Romawi Timur, jantung peradaban Eropa.
Benteng pertahanan kota ini amat kuat, bangunan-bangunannya kokoh dan indah. Kemegahan juga tergambar melalui sebuah bangunan suci nan agung yang berdiri di tengah kota. Dialah Hagia Sophia, gereja yang dibangun Kaisar Justinian hanya dalam waktu enam tahun dan diresmikan pada 537 M, sebagaimana dituliskan Roger Crowley dalam 1453 Detik-Detik Jatuhnya Konstantinopel ke Tangan Muslim.
Sepanjang 1.500 tahun, Hagia Sophia menjadi gereja yang amat luar biasa. Dalam Hagia Sophia and the Byzantine Aesthetic Experience menggambarkan, stuktur arsitektur Hagia Sophia merupakan yang terbesar dan termegah di Konstantinopel, dengan kaskade kubah, semi-kubah dan lengkungan yang menjulang tinggi.
Kubahnya yang tinggi dan besar bagaikan keajaiban yang nyaris tak bisa percaya bagi orang yang melihatnya. Bagaimana tidak, Anthemius of Tralles and Isidorus of Miletus yang membangun Hagia Sophia, dua arsitek terpelajar yang begitu mendalami ilmu matematika dan astronomi. Keduanya mengaplikasikan pengetahuannya untuk membangun dan mendesain gereja megah ini.
Alihfungsi menjadi masjid
6 April 1453, pasukan Usmani sampai di tembok konstantinopel. Pertempuran hebat terjadi. Hingga pada akhir Mei 1453, pasukan Muslim berhasil menerobos dinding pertahanan dan menaklukkan ibukota kekaisaran Romawi Timur ini.
Sultan Mehmet II melangkah masuk ke kota melalui Gerbang Adrianopolis. Dengan penuh kemenangan dan kebanggan, Bangsa Turki menyatakan diri sebagai Fatih, sang penakluk.
Bagaimana tidak, umat Muslim berhasil menguasai Konstantinopel yang merupakan salah satu kota termasyur di dunia kala itu. Padahal ratusan tahun lalu telah menempuh berbagai upaya untuk menaklukkan kota itu, bahkan sejak masa Muawiyah bin Abi Sufyan.
Romawi yang saat itu menguasai Konstantinopel selama lebih dari 14 abad selalu mampu memukul mundur musuh-musuhnya. Tapi baru kali ini kaum muslimin menyongsong kemenangan yang nyata.
Sang Sultan yang saat itu masih berusia 21 tahun berkuda menuju Hagia Sophia, gereja besar yang begitu terkenal di kalangan umat kristiani. Ia segera turun dari tunggangannya dan bersujud, kemudian mengucurkan sekepal tanah ke atas sorbannya sebagai tanda kerendahan hati.
Ia menatap gereja itu dalam-dalam. Hingga kemudian ia memerintahkan agar mengalihfungsikan Hagia Sophia sebagai masjid umat Islam. Di kemudian hari, tempat ibadah itu terkenal dengan nama Aya Sofya Camii Kabir atau Masjid Besar Aya Sofya.
Tak hanya mengubah Hagia Sophia menjadi masjid, Sultan yang juga masyhur dengan panggilan Muhammad al-Fatih ini juga mengganti nama Konstantinopel menjadi Istanbul, bahkan menjadikan Istanbul sebagai ibu kota kekuasaannya.
Shalat Pertama di Hagia Sophia
Hagia Sophia mulai direnovasi dengan menghadirkan beberapa sarana penunjang ibadah. Mendirikan menara-menara untuk tempat mengumandangkan azan. Juga meninggikan panggung untuk mimbar dan mihrab.
Berbagai ornamen dan mosaik Kristen ditutup dan diplester, kemudian ditimpa dengan kaligrafi, lafaz Allah, Muhammad dan lain sebagainya.
Setelah renovasi selesai, sang Fatih mendirikan salat Zuhur pertama di Hagia Sophia, tepatnya pada Jumat, 1 juni 1453, ditemani dua imam kepalanya, Aksemsettin dan Karasemsettin. Sejak saat itu, selama hampir 500 tahun, Hagia Sophia berdiri kokoh sebagai masjid.
Runtuhnya Turki Usmani dan Merubah Hagia Sophia menjadi museum
Kerajaan Turki Usmani lambat laun mulai meredup. Dalam Turki dalam Pergumulan Politik, Ham dan Demokrasi menuliskan, pada tahun 1919-1923 terjadi revolusi Turki di bawah pimpinan Mustafa Kemal Pasha.
Kecemerlangan karir politik perwira militer ini mengantarkannya menjadi pemimpin dan juru bicara gerakan nasionalisme Turki. Pada awalnya, gerakan ini bertujuan untuk mempertahankan kemerdekaan Turki dari rebutan negara-negara sekutu. Namun pada perkembangan selanjutnya, gerakan ini diarahkan untuk menentang Sultan.
Hingga akhirnya Mustafa Kemal berhasil mendirikan Negara Republik Turki di atas puing-puing reruntuhan khilafah Turki Usmani. Ia menjunjung prinsip sekularisme, modernisme, dan nasionalisme.
Sekularisasi Turki ini turut berdampak pada Hagia Sophia. Pada 1934, presiden pertama Turki yang juga akrab dengan sapaan Mustafa Kemal Ataturk memutuskan untuk menjadikan bangunan bersejarah ini sebagai museum.
Bangunan ini kembali direnovasi, beberapa penutup dibuka, hingga nampaklah lukisan Bunda Maria dan Bayi Yesus, berderetan dengan Kaligrafi Allah dan Muhammad Saw. Juga menemukan relief yang memperlihatkan 12 domba (mewakili 12 rasul) yang awalnya merupakan bagian dari pintu masuk depan gereja kedua.
Hingga kini, ornamen-ornamen itu masih tetap terpajang, bukti kemegahan Hagia Sophia yang pernah menjadi tempat suci dua agama. Karena kekayaan sejarahnya, Aya Sofya bahkan dinobatkan sebagai salah satu situs warisan budaya dunia Unesco.
Kembali Menjadi masjid
Pada 10 Juli 2020, pengadilan tinggi Turki membatalkan keputusan 1943 tentang perubahan status Aya Sofia sebagai museum. Kemudian Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan mengeluarkan dekrit yang berisi tentang pengembalian fungsi Hagia Sophia sebagai tempat ibadah umat Islam. Akan tetapi, baru mulai bisa melakukan ibadah pertama 24 Juli 2020.
Meskipun fungsinya telah kembali sebagai masjid, Aya Sofia tetap terbuka untuk umum. Tidak menghancurkan berbagai ornamen-ornamen Kristiani yang tersisa juga hanya menutupnya di waktu salat.