BincangMuslimah.Com- Di tengah upaya untuk memperkuat partisipasi perempuan dalam politik, ketiadaan representasi perempuan di Komisi VIII DPR RI mencerminkan bahwa akan ada tantangan besar. Dalam sejarah Islam, perempuan memiliki peran penting dalam pengelolaan negara dan pemilihan kepemimpinan. Kenyataan yang terjadi menunjukkan adanya kesenjangan antara nilai-nilai keadilan dan kesetaraan sebagaimana dalam ajaran Islam dengan praktik politik saat ini.
Komisi VIII DPR RI bertanggung jawab untuk tugas-tugas di bidang agama, sosial, pemberdayaan perempuan dan anak. Namun, ketiadaan perempuan dalam komisi ini menciptakan kekhawatiran akan hilangnya perspektif penting yang dibutuhkan dalam kebijakan maupun program-program yang lebih inklusif.
Lucius Karus, peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) menyatakan tidak adanya representasi perempuan dalam pimpinan di Komisi VIII adalah bukti awal DPR tidak memiliki kapasitas memadai dalam isu gender.
Cakra Wiraka Indonesia juga mengomentari ironi ini. Dengan komposisi pemimpin Komisi VIII yang tidak melibatkan perempuan, lantas bagaimana pembahasan kebijakan terkait isu perempuan serta kelompok rentan lainnya dapat benar-benar berpihak dan mengakomodir kebutuhan dan pengalaman khas perempuan?
Islam Mengakui Peran Penting Politik Perempuan
Islam mengakui pentingnya kaum perempuan dalam kehidupan masyarakat dan pengaruhnya dalam kehidupan politik. Karena itu, perempuan mendapat hak politik untuk menegaskan kehormatan, martabat, dan kemuliaan perempuan dalam Islam.
Fatima Umar Nasif, dalam buku Women in Islam: A Discourse in Rights and Obligations (1999) membagi hak-hak perempuan dalam empat bagian. 1) hak-hak sosial, 2) hak-hak kegamaan, 3) hak-hak politik, dan ke 4) hak-hak ekonomi.
Di antara hak-hak politik perempuan yang Islam berikan adalah hak untuk menyampaikan pendapat. Hak sesuai penjelasan dari ayat al-Quran yang memerintahkan kepada muslim untuk bermusyawarah dalam memecahkan segala urusan mereka. Dalam QS. al-Syura [42]: 38 Allah berfirman yang artinya:
“(juga lebih baik dan lebih kekal bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan dan melaksanakan salat, sedangkan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah diantara mereka. Mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka”
Ayat ini menegaskan pentingnya musyawarah dalam pengambilan keputusan, yang menjadi landasan bagi partisipasi aktif setiap anggota masyarakat, termasuk perempuan. Lebih tepatnya lagi, hak untuk menyampaikan pendapat bukan merupakan sebuah privilege, tetapi juga merupakan kewajiban dari Allah swt.
Mengapa Representasi Perempuan dalam Kepemimpinan Komisi VIII Penting?
Isu perempuan adalah persoalan multidimensi yang saling terkait. Dalam aspek biologis, perempuan mengalami pengalaman yang unik dalam menstruasi, hamil, melahirkan, menyusui, hingga masa nifas. Pengalaman ini tidak hanya berdampak pada kesehatan fisik, tapi juga mempengaruhi kesehatan mental dan emosional perempuan.
Selain itu, perempuan juga menghadapi tantangan sosial berupa marginalisasi, subordinasi, stereotip, beban ganda, serta kekerasan berbasis gender. Dalam banyak budaya, norma-norma tradisional membatasi ruang perempuan untuk mengembangkan diri dan berkontribusi dalam ruang publik.
Perempuan memiliki perspektif yang unik dan spesifik dalam berbagai aspek kehidupan. Pemenuhan kebutuhan khas perempuan hanya akan terwujud jika perempuan terlibat dalam penyelenggaraan pmerintahan, dalam konteks ini Komisi VIII.
Penting adanya representasi perempuan dalam jajaran kepemimpinan Komisi VIII untuk memastikan menghasilkan kebijakan yang efektif dalam mengatasi isu-isu perempuan. Dengan melibatkan perempuan dalam pengambilan keputusan, kebijakan yang dihasilkan akan relevan dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat.
Semoga bermanfaat