BincangMuslimah.Com – Ketika berbicara tentang patriarki, sering kali bayangan kita langsung tertuju pada dominasi laki-laki atas perempuan. Namun, kenyataannya tidak sesederhana itu. Dalam banyak kasus, perempuan sendiri justru ikut menjadi aktor yang melanggengkan sistem patriarki, baik secara sadar maupun tidak.
Sejak kecil, banyak anak perempuan tumbuh dalam ruang sosial yang menekankan kepatuhan, kelembutan, dan kesopanan. Misalnya, “jangan terlalu keras bicara, nanti dianggap tidak pantas.”
Lalu ada anggapan “kalau sekolah terlalu tinggi, susah dapat jodoh.” “Perempuan yang baik itu mengurus rumah.” Atau, mungkin pernah mendengar ‘perempuan jangan terlalu kritis’ dan sejenisnya. Nasihat-nasihat semacam ini, mungkin saja sering keluar dari mulut ayah, saudara atau laki-laki di lingkungan kita.
Tapi, tidak jarang pula keluar dari mulut ibu, nenek, atau sesama perempuan lain di lingkungannya. Tanpa sadar, mereka mewariskan norma yang menempatkan perempuan dalam posisi subordinat.
Dalam memahami fenomena ini bisa sebagai bentuk patriarchal bargain, sebuah negosiasi di mana perempuan memilih untuk patuh pada aturan patriarki demi mendapatkan perlindungan, rasa aman, atau pengakuan sosial. Kepatuhan dianggap lebih aman daripada perlawanan. Masalahnya, pilihan ini justru membuat struktur patriarki semakin kokoh.
Lebih jauh, perempuan juga kerap menjadi “polisi moral” bagi sesamanya. Mereka menegur cara berpakaian, mengomentari pilihan hidup, bahkan menghakimi sesama perempuan yang keluar dari norma tradisional. Alih-alih saling menguatkan, perempuan kadang tanpa sadar memperkuat belenggu yang membatasi kebebasan mereka sendiri.
Dalam lingkup yang lebih luas, hukum dan budaya pun ikut menegaskan posisi ini. Legitimasi patriarki tidak hanya datang dari laki-laki, tetapi juga diperkuat dari penerimaan perempuan terhadap norma yang timpang.
Dari sini, terasa betul jika patriarki adalah sistem yang bekerja secara struktural dan kultural, meresap dalam relasi sosial sehari-hari. Menyadari bahwa perempuan pun ikut melanggengkannya adalah langkah penting agar kita bisa membongkar rantai panjang ketidaksetaraan ini. Sebab selama perempuan masih diajari untuk “diam dan menerima,” maka perubahan menuju keadilan gender akan berjalan sangat lambat.
Paling Dirugikan, Kenapa Justru Perempuan yang Melanggengkan?
Patriarki tidak pernah berdiri sendiri. Ia bertahan bukan hanya karena dominasi laki-laki, tetapi juga karena dukungan dan penerimaan perempuan. Pertanyaannya, mengapa perempuan yang seharusnya dirugikan justru ikut berperan melanggengkannya? Setidaknya ada beberapa pandangan kenapa situasi ini bisa terjadi.
Pertama, sosialisasi dan internalisasi norma gender. Dari kecil, perempuan diajarkan norma-norma tradisional. Bahwa perempuan harus lembut, patuh, mengutamakan peran domestik, menghindari konflik, menjaga kehormatan keluarga dan sebagainya.
Norma-norma ini tidak hanya diajarkan oleh laki-laki, tetapi juga oleh perempuan yaitu ibu, nenek, guru, saudara perempuan, yang meneruskan ekspektasi sosial tersebut. Karena menganggap norma ini “biasa,” banyak perempuan tidak menyadari bahwa mereka sedang menginternalisasi struktur yang subordinatif.
Kedua, patriarchal bargain. Sebelumnya sempat membahas soal patriarchal bargain. Dalam literatur gender, mengartikan istilah ini sebagai bentuk strategi di mana perempuan “menyesuaikan diri” dengan aturan patriarki agar memperoleh keamanan, pengakuan sosial, status, atau perlindungan.
Meskipun strategi ini bisa memberikan keuntungan jangka pendek, hal itu juga memperkuat struktur patriarki secara keseluruhan karena tetap mempertahankan norma-norma tersebut.
Mengapa ‘Bermain Aman’ Menjadi Pilihan?
Ketiga, legitimasi budaya, agama, dan hukum. Perempuan sering menerima atau bahkan mendukung interpretasi budaya, agama, dan hukum yang menempatkan laki-laki sebagai otoritas dalam keluarga dan masyarakat.
Keempat, preservasi melalui stereotip gender dan peran ganda. Perempuan juga berperan dalam mempertahankan stereotip gender. Perempuan itu harus menjadi pengasuh utama, yang paling bertanggung jawab mengurus rumah tangga dan anak, sekaligus menjaga kehormatan keluarga.
Ketika terus mengulang stereotip ini, baik oleh media, pendidikan, maupun interaksi sosial, perempuan yang berbeda dari stereotip sering mendapat pengucilan atau kritik. Kelima, tekanan sosial dan pengakuan. Perempuan yang taat norma patriarki biasanya mendapatkan pengakuan sosial, penerimaan dalam komunitas, keamanan.
Terutama dalam konteks budaya yang sangat menekankan reputasi, kehormatan, dan ‘pemikiran orang lain’. Sebaliknya, perempuan yang menolak norma atau membuat pilihan berbeda.
Misalnya memilih karier maju daripada langsung menikah atau tidak memakai pakaian tradisional sering mendapat kritik, isolasi, stereotip negatif. Karena konsekuensinya sosial dan psikologis bisa berat, banyak perempuan memilih untuk mengikuti norma meskipun tahu ada pembatasan.
Keenam, ketergantungan ekonomi dan struktur kekuasaan kecil. Dalam banyak kasus, perempuan berada dalam posisi ketergantungan ekonomi atau sosial pada laki-laki (ayah, suami, keluarga).
Karena itu, mereka mungkin memilih untuk “bermain aman” dengan mematuhi norma agar tidak kehilangan dukungan, keamanan, atau akses ke kehidupan sosial yang seolah “normal”. Ketergantungan ini bisa memperkuat posisi patriarki karena perempuan kurang punya pilihan alternatif.
Bagaimana bersikap?
Karena tidak mendasarinya dengan satu faktor dalam waktu yang ringkas, maka perlu respons bijak menghadapi kondisi ini. Mungkin ada beberapa hal yang bisa dilakukan. Pertama, memahami konteks sosial dan budaya.
Banyak perempuan yang melanggengkan patriarki bukan karena mereka setuju sepenuhnya, tapi karena tumbuh besar dalam norma yang menekankan “kepatuhan” dan “kodrat”. Jadi, sebelum menghakimi, penting memahami latar belakang dan alasan mereka.
Kedua, gunakan dialog yang empati tanpa menghakimi. Konfrontasi keras biasanya membuat orang bertahan dengan keyakinannya. Ketiga, berikan alternatif narasi. Kita bisa menunjukkan bahwa nilai-nilai keadilan, kebersamaan, dan kemitraan gender tidak bertentangan dengan budaya atau agama. Bahkan, banyak ajaran tradisi dan agama yang menekankan kesalingan.
Terakhir, kuatkan solidaritas antar perempuan. Ketimbang menegur dengan nada menggurui, lebih baik membangun ruang aman di mana perempuan bisa saling mendukung. Sering kali, mereka melanggengkan patriarki karena merasa tidak ada pilihan atau takut dikucilkan.
6 Comments