BincangMuslimah.com Semakin meningkatnya kebutuhan setiap orang di samping penghasilan yang kurang dari kata cukup membuat kebanyakan orang tersebut mencari jalan lain untuk mencari sesuatu terutama uang agar bisa memenuhi kebutuhannya tersebut. Di antara cara mendapatkan uang tersebut, biasanya banyak orang yang menempuh jalan pinjaman dengan meminjam uang. Baik kepada teman, kerabat maupun bank atau tidak jarang pula dengan menempuh jalan gadai baik kepada orang yang terpercaya maupun kepada suatu lembaga.
Definisi Gadai
Gadai merupakan bentuk memberikan barang sebagai jaminan atas suatu pinjaman kepada pihak tertentu yang akan ditebus dengan melunasi barang ataupun uang yang dipinjam sesuai dengan kesepakatan.
Namun pada zaman sekarang terkadang aktifitas gadai dengan memberikan barang gadai kepada suatu pihak bukan hanya sebagai jaminan dari seorang peminjam kepada orang yang meminjamkan saja. Melainkan juga sebagai kesempatan dari pihak yang meminjamkan untuk bisa menggunakan dan memanfaatkan barang gadaian tersebut. Lantas bagaimana pandangan syariat tentang penerima barang yang memanfaatkan barang gadai?
Di dalam literatur fikih, gadai dikenal dengan kata rahn. Menurut ulama fikih sebagaimana penjelasan Syekh Ibn Qasim di dalam kitab Fath al-Qarib al-Mujib fi Syarh Alfazh al-Taqrib hal. 173:
فصل في أحكام الرهن. وهو لغةً الثبوت، وشرعا جعل عين مالية وثيقةً بِدَينٍ يُستوفى منها عند تعذر الوفاء
“Fasal tentang hukum rahn. Rahn secara etimologi adalah tetap. Sedangkan menurut terminologi syariat rahn adalah menjadikan suatu barang yang bernilai harta sebagau jaminan terhadap hutang yang bisa dijadikan alat untuk melunasi hutang ketika seorang yang berhutang uzur (memiliki halangan) untuk melunasi hutangnya”.
Kekuasaan Penerima Gadai terhadap Barang Gadai
Gadai sendiri memang diperbolehkan dengan syarat sesuai dengan aturan yang sudah ditentukan oleh syariat dan sudah banyak ditulis oleh para ulama terutama ulama fikih. Di dalam muamalah, kekuasaan murtahin (penerima gadai/orang yang memberi pinjaman) terhadap barang gadai adalah yad al-amanah. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Syekh Zainuddin al-Malibary di dalam kitab Fath al-Mu’in bi Syarh Qurrah al-‘Ain bi Muhimmat al-Din hal. 346
واليد في المرهون لمرتهن بعد لزوم الرهن غالبا وهي على الرهن أمانة أي يد أمانة ولو بعد البراءة من الدين فلا يضمنه المرتهن إلا بالتعدي: كأن امتنع من الرد بعد سقوط الدين
“Dan kekuasaan pada barang gadai bagi murtahin (penerima gadai) setelah tetapnya akad rahn pada biasanya adalah Amanah maksudnya yad al-amanah sekalipun setelah peminjam (pemberi gadai) sudah terbebas dari hutang. Sehingga murtahin tidak bertanggung jawab terhadap barang gadai kecuali ia melampaui batas. Seperti misalnya murtahin menolak untuk mengembalikan barang gadaian setelah gugurnya hutang”.
Di dalam redaksi ini memberi pemahaman bahwa penerima gadai bersifat amanah. Hal ini berimplikasi pada tidak adanya tanggung jawab penerima gadai terhadap barang yang digadaikan. Sehingga meniscayakan penerima gadai tidak memiliki hak untuk memanfaatkan barang gadai. Sebab, pemanfaatan penerima gadai terhadap barang gadai sama halnya dengan melampaui batas.
Hukum Memanfaatkan Barang Gadai oleh Penerima Gadai
Pada prinsipnya, terdapat perbedaan pendapat mengenai hukum memanfaatkan barang gadai oleh penerima gadai. Pendapat pertama sebagaimana dalam penjelasan sebelumnya, bahwa kekuasaan penerima gadai terhadap barang gadai bersifat amanah. Sehingga penerima gadai seharusnya tidak menggunakan barang gadai agar tidak mengurangi nilai dari barang gadai tersebut.
Namun, terdapat pendapat lain yang salah satunya oleh Imam al-Syuyuthi di dalam kitab al-Asybah wa al-Nazhair hal. 96
لَوْ عَمَّ فِي النَّاسِ اعْتِيَادُ إبَاحَةِ مَنَافِعِ الرَّهْنِ لِلْمُرْتَهِنِ فَهَلْ يُنَزَّلُ مَنْزِلَةَ شَرْطِهِ حَتَّى يَفْسُدَ الرَّهْنُ، قَالَ الْجُمْهُورُ: لَا، وَقَالَ الْقَفَّالُ: نَعَمْ
“Apabila di dalam masyarakat sudah berlaku umum kebiasaan untuk memperbolehkan megambil manfaat barang gadai oleh murtahin, maka apakah pemberlakuan kebiasaan tersebut sama dengan pemberlakuan syarat sehingga merusak akad gadai? Mayoritas ulama berpendapat tidak berpengaruh sedangkan menurut imam al-Qaffal berpengaruh”.
Redaksi ini menunjukkan bahwa penerima gadai boleh memanfaatkan barang gadai ketika adat yang berlaku demikian. Hal ini terlihat dari pendapat ulama yang mengatakan bahwa hal seperti ini tidak merusak akad gadai serta perbedaan pendapat ulama pula.
Dengan demikian, hukum memangfaatkan barang gadai oleh penerima gadai terdapat perbedaan pendapat ulama. Menurut mayoritas ulama, orang yang memberi pinjaman/penerima gadai boleh-boleh saja menggunakan barang gadai ketika adat berlaku demikian. Sedangkan menurut ulama lain seperti Imam al-Qaffal misalnya, pemanfaatan terhadap barang gadai dapat merusak akad gadai.
Semoga bermanfaat.