BincangMuslimah.Com-Kehidupan masyarakat multikultural seperti di Indonesia ini, sarat akan perbedaan antar kelompok. Perbedaan tersebut bisa meliputi agama, adat, budaya, hingga perbedaan antar golongan-golongan kecil. Tantangan utama dalam masyarakat multikultural adalah gesekan antar kelompok yang memicu konflik di suatu daerah.
Atas berbagai keragaman di indonesia, moderasi beragama memegang peran penting dalam mewujudkan makna Bhinneka Tunggal Ika dengan menciptakan lingkungan yang memiliki jiwa persatuan. Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Moderasi memiliki arti pengurangan kekerasan dan penghindaran keekstreman. Dari definisi singkat ini tentu sudah tergambar bagaimana maksud digalakkan moderasi beragama di Indonesia. Sedangkan dalam bahasa Arab moderasi merupakan maksud dari kata wasathiyyah yang berarti tengah-tengah yang menunjukkan tidak condong ke salah satu bagian.
Tuntunan Moderasi Beragama dalam Islam
Jika kita kembali pada sejarah umat terdahulu, moderasi beragama sudah tercermin dari kisah-kisah terdahulu. Kisah tentang terbentuknya lingkungan kaum Muhajirin dan Anshar pada Zaman Nabi adalah salah satu contohnya. Bagaimanapun, penduduk asli dan pendatang; apalagi membawa ajaran baru, tentu rawan terjadi perselisihan. Kaum Muhajirin dan Anshar memiliki perbedaan latar belakang geografis, sosial, budaya, dan kepercayaan, bahkan masyarakat Madinah dikenal pendebat dan kerap berselisih.
Kaum Muhajirin yang notabene membawa ajaran Islam berhadapan dengan kaum Muhajirin yang mayoritas penganut yahudi. Tetapi Nabi Muhammad SAW mampu menjadi penengah agar lingkungan sosial tumbuh dengan kondusif dengan menandatangani perjanjian untuk menghormati agama satu sama lain. Perjanjian tersebut kemudian dikenal dengan piagam Madinah. Kisah ini sudah cukup mencerminkan bagaimana Nabi Muhammad mencontohkan sikap hidup berdampingan dengan umat yang berbeda agama, suku, dan kebudayaan.
Dalam kacamata dalil Naqli, persoalan moderasi beragama sejalan dengan intepretasi Qs. Al-Baqarah ayat 143
وَكَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ اُمَّةً وَّسَطًا لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاۤءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًاۗ
“Demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat pertengahan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Nabi Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.”
Tafsir kata wasathan menghendaki sikap umat Islam yang menunjukkan perilaku moderat, adil, dan seimbang satu sama lain. Sikap moderat juga dapat dimaknai dengan tidak berlebihan yang memicu pada radikalisme atau ekstremisme.
Moderasi Beragama vs Fanatisme Golongan
Sejak tahun 2019, kementerian agama sudah menggaungkan soal moderasi beragama. Menariknya, sebenarnya semua agama di Indonesia mengenal konsep moderasi dalam beragama. Agama Kristen mengenal konsep ‘golden main’, Agama Buddha dengan kosep ‘jalan tengah atau Majjhima Patipada, dan Agama Konghucu dengan konsep ‘Chung Yung’ nya.
Poin penting dalam moderasi beragama berupa komitmen untuk menjunjung nilai-nilai kebangsaan dan persatuan, menunjukkan sikap toleransi, menolak adanya kekerasan dengan konteks keagamaan termasuk pada hak kebebasan beragama, serta menghargai adanya tradisi dalam masyarakat.
Dengan fakta bahwa setiap masyarakat Indonesia memiliki agama, seharusnya masalah-masalah yang memudarkan moderasi bisa teratasi, Tapi, sudahkah Indonesia merasakan dampak moderasi beragama?
Pendidikan tentang moderasi beragama bahkan ditanamkan sejak bangku sekolah menengah dengan harapan dapat segera dipahami dan mampu menerapkannya dengan baik. Memeluk agama dengan fanatik akan menimbulkan berbagai masalah di kehidupan. Pelarangan pendirian tempat ibadah untuk kaum minoritas adalah salah satu contoh perilaku yang mencederai konsep moderasi.
Belum lagi di era digital, framing menggunakan narasi keagamaan sangat mudah menyulut perselisihan di media sosial. Jika terdapat perbedaan, bukan diskusi hangat yang tercipta, melainkan kerap kali saling membela berdasarkan kelompok agama atau kepercayaan masing-masing. Tentunya hal ini akan berdampak negatif dalam lingkungan sosial, media sosial, hingga politik.
Moderasi Beragama pada Masyarakat Urban dan Pedesaan
Pernahkah kamu memperhatikan cara beragama masyarakat desa dan kota? meskipun tidak bisa dipukul rata, tetapi masyarakat urban atau perkotaan memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk hidup berdampingan dengan masyarakat yang berbeda agama, suku, bahkan budaya. Kita pasti mengenal istilah “learning by doing” begitulah masyarakat urban yang sadar atau tidak telah mempraktekkan kehidupan beragama yang moderat.
Masyarakat urban yang heterogen cenderung bersifat individualis, memiliki pola pikir yang terbuka dan dekat dengan kecanggihan teknologi. hal-hal ini cukup mendukung untuk menumbuhkan toleransi ketika hidup berdampingan dengan masyarakat yang berbeda agama.
Sedangkan lingkungan pedesaan biasanya lebih eksklusif pada satu agama tertentu. Sehingga meskipun telah mengenal istilah moderasi beragama, tidak banyak bersinggungan dengan pemeluk agama lain dan melakukan praktik secara langsung.
Meskipun begitu, masyarakat pedesaan memiliki sifat cenderung guyub rukun dan mengutamakan kebahagiaan bersama. Hal ini sangat berguna untuk memupuk adanya moderasi dan sikap toleransi dalam kehidupan bersama.
Satu contoh di Kabupaten Lamongan yang 99 persen warganya adalah pemeluk agama Islam, terdapat satu desa dengan pemeluk agama Islam, Kristen, dan Hindu yang hidup berdampingan. Desa tersebut adalah desa Balun. Desa ini adalah salah satu wujud bahwa masyarakat pedesaan juga mampu membangun sikap moderat dalam bermasyarakat.