BincangMuslimah.Com – Dalam diskusi pakar yang diselenggarakan oleh El Bukhari Institute, berkerja sama Komnas Perempuan, pada Selasa, 09 agustus melalui via daring membahas mengenai “Regulasi Busana Berdasar Ajaran Salah Satu Agama di Lingkungan Pendidikan”.
Berlandas kepada hasil pengamatan Komnas Perempuan tahun 2009, beberapa narasumber menyebutkan bahwa maksud adanya pengaturan busana adalah agar sejalan dengan visi daerah, yakni menciptakan daerah yang religius. Selain itu, diterbitkannya aturan mengenakan busana muslim yang kemudian dipatuhi masyarakat dianggap sebagai sebuah prestasi yang patut dibanggakan. Tidak hanya di lingkungan pendidikan, citra religius juga diterbitkan pemerintah daerah pada ranah lingkungan Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam bentuk kewajiban, instruksi, dan himbauan seperti kewajiban penggunaan busana agama.
Perlu diketahui, adanya beberapa aturan busana yang diterbitkan pemerintah daerah pada kenyataannya merupakan sebuah bentuk pelanggaran hak kebijakan busana. Beberapa bukti pola pelanggaran tersebut ialah; kewajiban busana berdasarkan suatu agama tertentu saja seperti kewajiban penggunaan jilbab sebagai simbol agama dan stereotip terhadap kaum perempuan contohnya peraturan ketat terhadap cara berpakain perempuan. Kebijakan tersebut dianggap bersifat diskriminatif karena dalam penetapan dan perumusan kebijakan, muatan, isi kebijakan, maupun dampak dan pelaksanaannya tersirat pembatasan. Adanya pengucilan baik secara langsung maupun tidak langsung, mengkotak-kotakan golongan berdasarkan agama, suku, ras, etnik, kelompok, strata sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, ataupun keyakinan politik yang melawan semboyan bangsa Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika.
Adanya penyelewengan penetapan peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah daerah diketahui karena memiliki beberapa isu utama sebagai latar belakangnya, antara lain:
Pertama, permasalahan politik, maksudnya terdapat politisasi identitas yang digunakan sebagai senjata pertarungan kekuasaan, penguatan kelompok melalui kekerasan di atas nama agama tertentu, dan berada di zona nyaman dalam relasi timpang.
Kedua, kurangnya pemahaman masalah konseptual (pengetahuan perspektif) seperti, jaminan konstitusional atas HAM terkhusus bagi perempuan, demokrasi: golongan mayoritas dan minoritas, hubungan antar agama dan negara, antara kekerasan seksual dan iso moralitas, pengaturan hukum dan pendidikan (relasi negara & masyarakat), serta otonomi daerah: Negara dan lokal, maupun bentuk-bentuk penghukuman.
Ketiga, minimnya pengetahuan penyelesaian masalah struktural baik berupa kewenangan maupun sumber daya. Seperti keterampilan pengambilan keputusan (analisis sosial, ukuran partisipasi publik, perumusan hasil debat, dan komunikasi politik), infrastruktur partisipasi publik yang substantif, serta kewenangan lembaga yakni fungsi pengawasan, pencegahan, penangan sesuai UU).
Setelah terjadinya beberapa fenomena di berbagai daerah sebagai akibat adanya peraturan sepihak tersebut, di sini Komnas Perempuan berupaya meluruskan beberapa peraturan yang keluar dari jalurnya. Adapun usaha yang dilakukan seperti, mengkaji dan meneliti terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku dan instrumen internasional yang relevan bagi perlindungan hak-hak asasi manusia, terkhusus kaum perempuan. Selain itu, Komnas Perempuan juga memberikan saran kepada pemerintah, lembaga legislatif dan yudikatif, dan organisasi-organisasi masyarakat untuk mendukung penyusunan dan pengesahan kerangka hukum maupun kebijakan, serta beragam upaya pencegahan dan penanggulangan seluruh jenis kekerasan terhadap perempuan Indonesia.
Namun yang perlu digarisbawahi adalah adanya penyelewengan peraturan yang menyebabkan lahirnya permasalahan-permasalahan baru di berbagai daerah bukanlah sepenuhnya kesalahan pemerintah daerahnya, melainkan terdapat pula kelalaian pemerintah pusat atas kurangnya sosialisasi terhadap isi undang-undang sebagai inti dari dasar hukum di Indonesia. Oleh karena itu, sangat diperlukan adanya kolaborasi dan komunikasi yang baik antar pejabat pemerintah pusat hingga pemerintah yang menempati posisi paling bawah.
Demikian hasil diskusi bersama Komnas Perempuan mengenai “Regulasi Busana Berdasar Ajaran Salah Satu Agama di Lingkungan Pendidikan”.
2 Comments