BincangMuslimah.Com – Dalam budaya Indonesia, menyambut bulan puasa Ramadhan seringkali diawali dengan tradisi-tradisi tertentu. Salah satu di antara aktivitas menyambut Ramadhan adalah tradisi megengan yang merupakan salah satu bagian dari kebiasaan masyarakat Jawa yang dilakukan untuk menyambut datangnya bulan Ramadhan. Biasanya tradisi ini dilaksanakan pada malam terakhir bulan Ruwah.
Dari sisi etimologinya, kata “megengan” memiliki arti megeng yang maknanya menahan dan an mengandung arti proses yang dilakukan secara terus menerus. Hal tersebut bermakna peringatan bahwa sebentar lagi akan memasuki bulan Ramadhan. Yakni, bulan di mana kita diwajibkan untuk berpuasa, yaitu menahan untuk tidak melakukan segala perbuatan yang dapat menggugurkan ibadah puasa.
Sedangkan kata “ruwah” diseraMenyambut Ramadhan dengan Tradisi Megenganp dari bahasa Arab yakni “arwah”, yang bermakna orang yang sudah meninggal. Jadi, isi acara dari tradisi megengan adalah selametan yang bertujuan untuk mengirimkan doa kepada leluhur yang sudah meninggal. Tradisi megengan sendiri mulai muncul pada masa Kerajaan Demak, kira-kira pada tahun 1500 M.
Menurut Prof. Nur Syam, berbagai macam tradisi yang sering kali dilakukan oleh masyarakat Jawa, salah satunya adalah megengan, pada hakikatnya itu adalah penerimaan orang Jawa atas ajaran Islam yang sudah diyakini kebenarannya.
Upacara megengan adalah hasil kreasi dari waliyullah, khususnya Sunan Kalijaga dalam proses penyebaran agama Islam pada orang Jawa. Masyarakat Jawa memiliki cita rasa ketuhanan yang khas, sehingga memerlukan cara-cara yang khusus dalam penyebaran Islamnya. Masyarakat Jawa yang menyukai olah batin, maka juga diperlukan lambang-lambang yang sesuai dengan dunia ritual dan olah rasanya. Di sinilah peran penting para waliyullah dalam Islamisasi di Nusantara.
Tata cara tradisi megengan biasanya dilakukan oleh umat muslim di masjid. Acara tersebut dilaksanakan setelah menunaikan salat isya’ dan diikuti oleh masyarakat umum. Pembacaan doa-doa dan tahlil dilakukan secara bersama-sama. Kemudian ditutup dengan pembagian makanan yang sebelumnya telah dibawa oleh mereka yang hadir pada acara tersebut.
Beberapa makna simbolis yang terkandung dalam tradisi megengan adalah;
Permohonan maaf sebelum memasuki bulan Ramadhan
Dalam acara tradisi megengan, biasanya disuguhkan sejenis kue yang dikenal dengan istilah apem. Kue apem adalah makanan tradisional yang kerap kali dihidangkan dalam acara-acara sakral, yakni acara tahlil atau mengirimkan doa kepada orang yang sudah meninggal.
Makna simbolik dari kue apem ialah karena penamaan kue tersebut berasal dari kata “ngafwan” atau “ngafwun” yang memiliki arti maaf atau permohonan maaf. Sehingga, dengan dihidangkannya kue apem dalam tradisi megengan merupakan simbol saling memohon maaf kepada sesame gar bersih dari dosa-dosa sebelum memasuki bulan puasa Ramadhan.
Mengikat kerukunan dengan saling berbagi kepada sesama
Setiap masyarakat yang ikut serta dalam tradisi megengan pasti membawa makanan dengan tujuan supaya makanan tersebut mendapatkan doa-doa, sehingga menjadi makanan berkat atau barakah. Ketika acara selametan selesai, makanan berkat tersebut dibagikan kembali kepada masyarakat. Ini merupakan simbol saling berbagi antar sesama untuk mengikat kerukunan warga masyarakat.
Merawat dan melestarikan nilai-nilai ajaran Islam
Jika dipandang dari sudut dakwah, tradisi megengan merupakan cara untuk menyebarkan nilai-nilai ajaran Islam. Sebagaimana yang telah disinggung di atas, bahwa tradisi megengan merupakan hasil kreasi waliyullah untuk mengakulturasikan ajaran Islam dengan tradisi masyarakat setempat. Demikianlah uraian terkait tradisi megengan yang menjadi tradisi rutinan masyarakat Jawa dalam rangka menyambut datangnya bulan suci Ramadhan. Wallahu a’lam.[]
Referensi: (Lilik Setiawan, dkk, Fenomena Sosial Keagamaan Masyarakat Jawa dalam Kajian Sosiologi)
Fauzi Himma S, Makna Simbolik dalam Budaya “Megengan” Sebagai Tradisi penyambutan Bulan Ramadhan)
(Nur Syam, Megengan Sebagai Tradisi Persiapan Menuju Puasa)