BincangMuslimah.Com – Prof. DR. M. Quraish Syihab dalam bukunya yang berjudul “Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Berbagai Persoalan Umat” menulis bahwa Imam Bukhari pernah meriwayatkan hadis melalui jalur istri baginda Nabi Muhammad Saw. yakni Sayyidah Aisyah Ra., bahwa terdapat macam-macam pernikahan pada zaman Rasulullah.
Pertama, pernikahan sebagaimana yang berlaku saat ini, dimulai dengan pinangan kepada orang tua atau wali, membayar mahar dan kemudian menikah.
Kedua, ialah seorang suami yang memerintahkan kepada istrinya jika telah suci dari masa haid untuk menikah (berhubungan badan) dengan seseorang, dan apabila ia telah hamil, maka ia kembali untuk digauli suaminya; hal ini dilakukan guna untuk mendapat keturunan yang baik.
Ketiga, sekelompok lelaki kurang dari sepuluh orang, semuanya menggauli seorang wanita, dan bila ia hamil kemudian melahirkan, ia memanggil seluruh anggota kelompok tersebut (tidak boleh ada yang absen) lalu ia menunjuk salah seorang yang dikehendakinya untuk dinisbatkan kepadanya nama anak itu (menjadi bapak dari anak yang dikandung tersebut), dan yang bersangkutan (laki-laki yang ditunjuk) tidak boleh menolak.
Keempat, hubungan seks yang dilakukan oleh wanita tunasusila (Lonte/pelacur), yang memasang bendera atau tanda di pintu-pintu kediaman mereka dan “berhubungan badan” dengan siapa saja yang suka kepadanya. Kemudian agama Islam datang untuk melarang cara perkawinan yang demikian kecuali cara yang pertama. Pasca risalah Islam datang dibawa baginda Nabi Muhammad Saw., perempuan mendapat tempat yang terhormat dan meningkat perannya di ruang publik. Syari’at pernikahan disampaikan oleh Rasulullah untuk menjaga dan melindungi jiwa dan raga perempuan serta martabatnya.
Relasi Rasulullah dengan para istrinya merupakan relasi yang sangat terhormat nan agung, sebagaimana dalam keterangan Umar bin Khatthab. Dan tamsil yang semacam itu akan banyak dijumpai dalam sejarah (sirah) kehidupan beliau. Semua itu akan menjadi hujjah atau argumen bahwa belum ada seorang pun yang dapat menghormati wanita sebagaimana yang pernah dilakukan oleh baginda Nabi Muhammad. Belum ada seorang pun yang dapat mengangkat martabat wanita ke tempat yang layak sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman,
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا
Dan apabila kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut akan tidak dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. An-Nisaa: 3)
Dan dalam firman-Nya yang lain yang berbunyi,
وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِنْ تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara para isteri-isterimu, meskipun kamu sangat ingin berbuat demikian, oleh karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terlantar. Dan apabila kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. An-Nisaa: 129)
Dua ayat di atas diturunkan pada akhir-akhir tahun kedelapan Hijrah, setelah Rasulullah menikah dengan semua istrinya, maksud dari ayat-ayat tersebut adalah untuk membatasi jumlah istri itu sampai empat orang, sedangkan sebelum turunnya ayat tersebut pembatasan tidak ada. Hal ini juga yang telah membantah perkataan orang yang mengatakan bahwa Rasulullah membolehkan untuk dirinya sendiri dan melarang untuk orang lain. Kemudian diturunkanlah ayat yang memperkuat diutamakannya satu istri dan menganjurkan demikian karena dikhawatirkan tidak bisa berlaku adil, dengan penekanan bahwa berlaku adil itu tidak akan disanggupi. Wallahua’lam.