BincangMuslimah.Com – Hari Raya, di mana normalnya orang bersukacita dalam balutan baju baru dan makanan istimewa. Tidak begitu dengan kisah Sayyidah Fatimah beserta keluarganya yang memilih merayakan Idul Fitri dengan membagikan persediaan mereka untuk fakir miskin dan tamu yang datang, sementara untuk mereka sendiri malah hidangan sederhana bahkan tak layak untuk dimakan.
Sebagaimana dikisahkan oleh Syekh Mahmud al-Mishri dalam Kitab Sirrah Ashabu an-Nabi. Di suatu sore hari, Sayyid Ali bin Abi Thalib pulang dari Masjid dengan sedih karena bulan Ramadan yang penuh dengan keberkahan dan keutamaan itu akan segera berakhir. Dia memasuki rumah kecilnya dengan raut muka yang murung.
Hal tersebut disadari oleh istrinya, Siti Fatimah az-Zahra pun bertanya kepadanya, “Sebentar lagi kita akan menyambut hari raya. Kenapa kamu berwajah murung, wahai suamiku?”
“Hampir sebulan kita berpuasa menahan lapar dan haus. Segala puji syukur selalu kita haturkan karena Allah masih memberi kita kenikmatan rezeki,” jawab Ali.
Sayyidah Fatimah menyimak perkataan suaminya dengan seksama. Kemudian Sayyid Ali meminta pertimbangan dirinya untuk menyedekahkan semua simpanan pangannya kepada fakir miskin. Beliau yang mendengarkan ide dari suaminya pun terdiam. Tidak bisa berkata-kata karena kebesaran hati sang suami, kemudian ia mengatakan, “Wahai suamiku, jika itu yang kau inginkan maka tidak apa apa.”
Sehingga pada waktu sore itu juga, tepatnya menjelang malam takbiran. Sayyidah Fatimah beserta suaminya, tak lupa mereka juga mengajak kedua putra yang sangat ia kasihi, Hasan dan Husein untuk ikut berkeliling ke perkampungan hingga pojok kota Madinah untuk membagikan sedekah tersebut.
Sayyid Ali bertugas mendorong gerobak berisi beberapa karung gandum dan dua karung kurma hasil panen kebunnya. Sementara, Sayyidah Fathimah sambil menuntun Hasan dan Husein nampak di tangannya memegang kantong plastik yang besar.
Mereka berempat kompak mendatangi rumah-rumah dan membagikan makanan tersebut kepada fakir, miskin, anak-anak yatim. Sekeluarga itu berkeliling perkampungan hingga larut malam, sembari melantunkan takbir sebagai ungkapan rasa syukur dan mengagungkan Allah Rabb al-‘alamin di hari raya kemenangan bagi umat Islam.
Esok harinya ketika shalat Idul Fitri, Sayyidina Ali menjadi khatib di Masjid Qiblatain, potongan isi khutbah yang diterangkan beliau itu di antaranya tentang beberapa tanda-tanda orang yang mendapatkan derajat taqwa dari puasa yang dikerjakan sebulan penuh di bulan Ramadhan.
“Yaitu mereka yang peka hati nuraninya, sehingga menggerakkan tangannya untuk peduli kepada sesama, berbagi rezeki, berbagi kebahagiaan, berbagi senyuman yang hangat, sebab kita semua sudah merasakan, bahwa lapar dan dahaga itu sesuatu yang berat.” kata menantu Rasulullah.
Perbuatan keluarga Siti Fatimah sebelum hari itu merupakan contoh nyata dari apa yang disampaikan oleh Sayyidina Ali dalam khutbah Idul Fitri.
Kisah tersebut sejatinya hendak mengajarkan kita bahwa sedekah adalah amalan yang sangat dianjurkan khususnya di lakukan di hari-hari akhir bulan Ramadan juga di hari raya sebagai ungkapan rasa syukur kita kepada Allah karena telah mengizinkan dan memudahkan kita untuk menjalani ibadah Ramadan.
Sedekah sendiri merupakan amal ibadah mulia yang berhubungan kemanusian. Sebagaimana diriwayatkan Imam Ahmad saking agungnya keutamaan tersebut, bahkan ada belitan 70 setan yang menghalangi seseorang hendak mengeluarkan sedekah.
Kisah Fatimah saat Merayakan Idul Fitri
Sama halnya dengan perayaan Idul Fitri di zaman sekarang, di masa Rasulullah para sahabat dahulu juga saling berkunjung ke rumah-rumah satu sama lain untuk silaturahmi dan halal bi halal.
Sebagaimana dalam Kitab Siyar A’lam an-Nubala karya Imam adz-Dzahabi dikisahkan bahwa suatu ketika kediaman keluarga tersebut didatangi oleh dua sahabat karib Sayyid Ali yang sering berjuang bersama bahkan dalam peperangan. Keduanya ialah Ibnu Rafi’i dan Abu al-Aswad ad-Du’ali.
Betapa terkejutnya saat keduanya telah sampai di depan pintu rumah ahlul-bait Rasulullah, kedua sahabat itu lantas kaget setelah mencium bau makanan basi yang dimakan dengan lahap oleh Sayyid Ali dan keluarganya.
Ar-Rafi’i dan ad-Du’ali lantas menangis dan singgah hanya sebentar karena mereka merasa tak kuat melihatnya. Selama perjalanan kembali ke rumah, mata Ibnu Rafi’i terus saja menangis. Sedangkan ad-Du’ali pergi menemui Rasulullah karena menyadari bahwa Hasan dan Husein, cucu Nabi Muhammad juga ikut mengkonsumsi makanan basi bersama orang tuanya.
“Ya Rasulullah, putra baginda, putri baginda, dan cucu baginda.” ujar ad-Du’ali terbata-bata.
“Tenangkan dirimu, ada apa wahai sahabatku?” tanya Rasulullah menenangkan.
Ia meminta Nabi saw. untuk langsung mendatangi rumah putrinya karena ia tak kuat menceritakan kondisi yang telah ia lihat. Mendengar aduan sahabat tersebut Rasulullah pun bersegera menuju ke kediaman putrinya.
Beliau saw. mencoba memastikan keadaan Siti Fatimah dan Hasan juga Husein. Namun, berbeda dari yang dikatakan oleh ad-Du’ali, Rasulullah malah melihat riuh kebahagiaan yang terpancar dari keluarga tersebut.
Sayyidah Fatimah dan keluarganya tengah berbincang bahagia sembari menyiapkan kurma yang segar dan layak dikonsumsi untuk tamu. Ternyata mereka masih menyimpan kurma yang layak dikonsumsi bukan untuk dirinya namun menyambut orang lain yang datang.
Namun, Rasulullah nampaknya juga mencium bau menyengat dari sisa-sisa gandum dan roti kering basi. Nabi saw yang menyadari apa yang terjadi pun akhirnya ikut menangis haru.
“Allahumma isyhad, Wahai Allah saksikanlah, saksikanlah.” Demikian lisan Rasulullah berbisik lembut.
Sayyidatuna Fatimah tersadar kalau di luar pintu rumah, ayahnya sedang berdiri tegak. “Wahai ayahku, kenapa engkau biarkan dirimu berdiri di situ, tanpa memberi tahu kami. Oh, relakah engkau menjadikan kami anak yang tak berbakti?” Kata Siti Fatimah menghampiri lalu mencium tangan Rasulullah dan mempersilahkan keduanya masuk.
“Kenapa ayah menangis? Kenapa pula sahabat ad-Duali mengikuti di belakang ayah.” Tanya Siti Fatimah penasaran.
Rasulullah tak tahan mendengar pertanyaan itu. Setengah berlari ia memeluk putri kesayangannya sambil berujar, “Semoga kelak surga tempatmu nak, surga untukmu.” Mereka yang berada di situ lalu mengaminkan doa Rasulullah bersama-sama. Air mata Rasulullah tiba-tiba mengucur deras, saat melihat kesederhanaan dan kebersahajaan putri beliau bersama keluarganya.
Sayyidah Fatimah dan keluarganya mengajarkan betapa mudah memaknai Idul Fitri, yakni dengan niat yang ikhlas dan bersyukur. Demikianlah cara keluarga terkasih Rasulullah dalam merayakan hari hari raya Idul Fitri bagi umat Islam tersebut.