BincangMuslimah.Com – Mengamati pengalaman kemanusiaan, perempuan memiliki pengalaman yang unik. Salah satunya adalah sistem reproduksi yang secara biologis melekat pada mereka. Namun, seringkali pengalaman unik ini malah menimbulkan ketidakadilan bagi perempuan. Salah satu contoh yang sering terjadi adalah diskriminasi terhadap perempuan yang sedang haid, karena haid dianggap sebagai sesuatu yang tabu dan kotor.
Perempuan Haid dalam Narasi Keagamaan
Stigma demikian memiliki akar yang kompleks dan bervariasi tergantung pada konteks budaya, agama, dan sejarah. Dalam banyak budaya tradisional, haid dipandang sebagai sesuatu yang misterius. Selain itu juga mengarah pada pengucilan atau pembatasan aktivitas mereka, seperti tidak diizinkan memasuki tempat-tempat ibadah atau mengikuti ritual tertentu.
Hal ini memperkuat mitos dan kesalahpahaman yang telah diwariskan secara turun-temurun, termasuk pandangan bahwa haid adalah tanda kelemahan fisik atau spiritual. Seringkali menganggap perempuan yang sedang haid lemah atau tidak layak untuk berpartisipasi dalam kehidupan publik, yang menciptakan pembatasan sosial lebih lanjut.
Sehubungan dengan fenomena tersebut, bagaimanakah narasi keagamaan terkait perempuan haid? Ayat haid termuat dalam surah al-Baqarah [2]: 222 berikut:
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُواْ النِّسَاء فِي الْمَحِيضِ وَلاَ تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىَ يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللهُ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: “Haid itu adalah kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.
Ayat tersebut menjelaskan bahwa haid pada perempuan tidak seharusnya menjadi alasan untuk mengucilkan mereka. Sebaliknya, haid seharusnya memberikan kesempatan bagi perempuan untuk beristirahat, menghindari pekerjaan berat, dan menerima perhatian khusus. Hal ini karena haid merupakan pengalaman unik perempuan yang bisa menyebabkan kelelahan dan rasa sakit.
Tafsir Surah al-Baqarah Ayat 222 Dalam Pandangan Sayyidah Nushrat Al-Amin
Secara literal, ayat di atas seolah mendukung pandangan bahwa haid adalah sesuatu yang tabu. Namun, jika memperhatikan hadis-hadis yang menjelaskan konteks turunnya ayat ini, akan menjadi jelas bahwa sebenarnya ayat tersebut menolak pandangan tabu tersebut.
Penafsiran yang benar adalah yang tidak memperburuk kondisi reproduksi perempuan serta tidak boleh mengandung atau mendorong hal-hal yang menyebabkan ketidakadilan bagi perempuan hanya karena identitas mereka.
Tidak boleh ada tafsir yang bersifat stigmatis, meminggirkan perempuan, menempatkan mereka sebagai makhluk yang lebih rendah, mendorong kekerasan terhadap perempuan, atau melegalkan beban ganda.
Dalam tafsir Makhjan al-‘Irfan fî Tafsir al-Qur’an karya Sayyidah Nushrat al-Amin, ayat tersebut menerangkan kebiasaan orang Arab pada masa jahiliyah adalah apabila wanita sedang mengalami masa haid, maka mereka akan menjauhi suami dan hanya mengurung diri di dalam kamar.
Surah Al-Baqarah ayat 222 menerangkan bahwa darah haid merupakan suatu kotoran. Qatadah dan Sadi mengatakan bahwa haid berarti najis dan kotoran yang nyata. Ayat ini juga menjelaskan dampak negatif dalam melaksanakan hubungan seksual di masa haid.
Mujahid mengatakan hubungan seksual pada masa haid, dapat merujuk kepada “hal yang berbahaya”. Pada saat haid, lubang rahim kosong dan secara alamiah sedang sibuk membersihkan rahim, maka apabila melakukan hubungan seksual dapat menggores rahim dan merusak rahim seorang wanita.
Hal tersebut yang menjadi latar belakang larangan untuk menghindari hubungan seksual selama haid. Dalam kasus haid, hanya dapat melakukan hubungan seksual antara suami dengan istri sampai mereka bersih dari darah haid dan mandi.
Apabila wanita yang haid telah suci, maka tidak ada lagi larangan dan halangan baginya dalam kaitannya berhubungan dengan suami. Dalam ajaran Islam, larangan ini bertujuan untuk menghindari bahaya secara fisik dan psikis.
Refleksi Surah al-Baqarah: 222
Islam tidak hanya memperhatikan hal-hal yang bersifat alamiah, tetapi juga memperhatikan hal-hal yang bersifat rohaniah. Ayat tersebut menunjukkan bahwa sebagaimana kotoran dan najis fisik selalu ada, maka harus membersihkan kotoran batin yang timbul akibat kemaksiatan dan kedurhakaan. Melalui refleksi dari Surah al-Baqarah ayat 222, terdapat himbauan untuk membersihkan kotoran-kotoran lahir dan batin dari kotoran-kotoran fisik dan moral.
Menindaklanjuti diskriminasi terhadap perempuan haid, perlu adanya upaya global untuk mengatasi stigma ini melalui pendidikan kesehatan reproduksi, kampanye advokasi, dan gerakan feminisme. Tujuan utama adalah untuk menormalkan pembicaraan tentang haid sebagai bagian dari kehidupan perempuan yang alami dan penting.
Referensi:
Al-Amin, Nushrat. Makhzan Al-‘Irfan Fi Tafsir Al-Qur’an. Isfahan: Gulbahar, 1389.
4 Comments