BincangMuslimah.Com – “Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan (pemerintahan) mereka kepada seorang perempuan.” (HR. Bukhari)
Mungkin di antara kita ada yang pernah mendengarkan hadits tersebut. Ya, berdasarkan potongan hadits tersebut banyak ulama seperti Al-Khatthabi yang berpendapat bahwa perempuan tidak sah untuk menduduki jabatan sebagai pemimpin. Asy-Syaukani sendiri menilai bahwa perempuan tidak memiliki kompetensi dan keahlian dalam berpolitik.
Selain hadits di atas, juga ada riwayat lain yang berkenaan dengan perempuan dan politik, yaitu, “Hancurlah laki-laki ketika mereka tunduk pada perempuan.” Hadits yang dibawakan oleh Imam Thabrani ini mengindikasikan bahwa kaum pria sebaiknya tidak memberikan peluang dan jabatan politik apapun kepada kaum perempuan, dengan menggunakan alasan teologis, bahwa jika perempuan diberikan jabatan politik, maka itu akan membawa kehancuran bagi negara.
Banyaknya riwayat dan fatwa para ulama tradisional tentang perempuan dan politik, berdampak pada hilangnya hak politik bagi perempuan dan juga hilangnya kesempatan perempuan dalam berpartisipasi dalam mengurus masalah kenegaraan. Lewat riwayat dan hadits tersebut, para ulama (tentu ulama yang didominasi laki-laki) secara sepihak menutup peluang wanita dalam berpolitik dengan mengeluarkan fatwa “haram”.
Hampir selama beradab-abad perempuan tidak dapat berkontribusi dalam ranah sosial dan politik. perempuan dianggap sebagai warga kelas 2 bahkan di sebagian budaya ada yang menganggap bahwa perempuan hanya properti laki-laki, dengan kata lain perempuan memiliki nilai lebih jika disisinya ada seorang pria. Dan ini berlaku selama ratusan tahun baik di dunia Islam atau juga di belahan dunia lainnya
***
Namun zaman berubah, gerak pemikiran dan juga pembaruan muncul, termasuk ide kesetaraan gender. Pada zaman sekarng posisi perempuan sudah masuk ke dalam berbagai aspek, entah budaya, ekonomi termasuk di antaranya aspek sosial dan aspek politik. Di Indonesia sendiri, pada tahun 1999 di bawah pemerintahan Presiden B.J. Habibie, ratifikasi Optional Protocol of the Women Convention menjadi titik awal dari program pemberdayaan perempuan melalui pengarusutamaan gender.
Di dalam Instruksi Presiden (INPRES) Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional, seluruh lembaga dan instansi negara sampai Pemerintahan Daerah diperintahkan untuk mengimplementasikan pengarusutamaan gender dalam perencanaan, penerapan, pengawasan dan evaluasi program, serta kebijakan pembangunan yang bertujuan untuk meningkatkan partisipasi perempuan ke dalam sektor publik.
Bahkan pada tahun 2001, kita memiliki presiden dari kalangan perempuan untuk yang pertama kali, ini adalah fenomena yang cukup luar biasa, Indonesia sebagai negara dengan pemeluk Islam terbanyak, memiliki seorang presiden dari kalangan perempuan. Lalu bagaimana? Dalam catatan sejarah kita, hampir semua ormas dan partai Islam sepakat menyetujui Megawati sebagai presiden ke-5 RI.
Tetapi, bagaimanakah pandangan Islam kontemporer tentang perempuan dalam sektor politik?
Keharaman perempuan masuk kedalam sektor publik (khususnya politik) adalah kesepakatan (ijma) yang direkonstruksi oleh para ulama yang notabene adalah laki-laki. Begitu juga masalah aurat perempuan, perselisihan dan perbedaan pandangan mengenai mana ruang privat tubuh perempuan saja tidak sedikitpun melibatkan perempuan.
Padahal Al-Qur’an menjelaskan, bahwa perempuan dan laki-laki memiliki kedudukan yang setara sebagai manusia (QS. Hujurat: 13) .Untuk melihat peran perempuan dalam dunia politik Islam, kita harus merekontruksi ulang sumber-sumber sejarah yang sampai ketangan kita. Seperti nama-nama seperti Fatimah, Khadijah, dan Aisyah yang memiliki peran pubik yang luas.
Nabi Muhammad sendiri menjadikan Khadijah sebagai teman diskusi dalam urusan keagamaan dan juga sosial. Siti Fatimah dalam sejarah adalah tokoh yang paling berani memperotes masalah pembaiatan Abu Bakar di Tsaqifah Bani Sa’idah yang tidak melibatkan partisipasi ahlul waris nabi, perdebatan ini membuat Abu Bakar menangis memohon maaf kepada Siti Fatimah. Begitu juga Aisyah yang menjadi pemimpin oposisi di zaman Khalifah Ali bin Abi Thalib. Pasca perselisihan itu, Imam Ali tetap menghormati keputusan Aisyah dan memuliakannya.
Dari fakta sejarah diatas, kita bisa melihat peran wanita dalam politik sangat besar sekali. Al-Qur’an sendiri menceritakan kisah negeri Saba yang dipimpin oleh Ratu Balqis. Walaupun para ulama tekstualis menyanggah bahwa kisah Ratu Balqis hanya sebuah cerita, namun Allah dalam Al-Qur’an sekali-kali tidak mengecam, mencela, dan mengutuk negeri Saba yang dipimpin oleh perempuan, sebaliknya Allah menyebut negeri Saba sebagai “Baldatun thayyibatun wa rabbun ghafûr” (QS. Saba: 15)
Di Indonesia pun, yaitu di Aceh, kita memiliki seorang perempuan pemimpin, yaitu Sulthanah Safiatuddin yang dihormati dan dijunjung dan diakui kepemimpinannya oleh para ulama Aceh hingga sekarang. Karena itulah para tokoh Muslim dan Muslimah kontemporer, seperti Fatimah Mernissi dan Syaikh Muhammad Al-Ghazali, membolehkan perempuan berperan serta dalam mengurus negara.
Pentingnya Partisipasi Perempuan Dewasa Ini
Partisipasi perempuan ke dalam sektor publik sangatlah penting. Misalnya dalam konteks demokrasi sangat berpengaruh untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik. Dalam bukunya yang berjudul Gender and Culture (polity Press, 2010) Anne Phillips mengatakan bahwa representasi perempuan dalam politik berguna untuk menekan perbedaan sehingga perempuan dapat mewakili kelompoknya karena beberapa kelompok membutuhkan hak dan jaminan yang berbeda dari yang lain untuk mencapai kesetaraan yang sama.
Dikutip dari National Democratic Institute for International Affairs, representasi perempuan sangat dibutuhkan untuk membangun dan mempertahankan demokrasi yang kuat, serta mewujudkan kesetaraan gender. Partisipasi politik perempuan menghasilkan manfaat yang nyata bagi demokrasi, termasuk responsif yang lebih besar terhadap kebutuhan masyarakat, peningkatan kerja sama, serta perdamaian yang lebih berkelanjutan.
Selain itu, partisipasi perempuan dalam politik dapat meningkatkan standar kehidupan yang lebih tinggi di dalam suatu negara, produktivitas ekonomi, perkembangan positif yang dapat dilihat dari aspek pendidikan, pembangunan infrastruktur, aspek kesehatan, serta langkah-langkah konkret yang diambil untuk mewujudkan demokrasi.
Selain di dalam ranah politik, partisipasi perempuan dalam ranah ekonomi juga dibutuhkan untuk mengurangi ketimpangan dan kemiskinan yang ada. Dengan adanya partisipasi perempuan, maka baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak akses dan kontrol serta manfaat yang sama di dalam proses pembangunan.
Kita tidak bisa menafikan bahwa partisipasi perempuan dalam bidang politik telah menciptakan sebuah kehidupan yang lebih baik untuk sesama, baik dalam pertumbuhan ekonomi, politik, pembangunan, dan lain sebagainya. rasa-rasanya setiap lini ruang kehidupan, pasti disana turut serta peran perempuan. Karena itulah konsep lama para ulama klasik yang cenderung negatif dalam memandang prtisipasi politik kaum perempuan sudah tidak relevan bahkan harus sesegera mungkin untuk ditafsir ulang.