BincangMuslimah.Com – Islam acap kali digambarkan sebagai gagasan yang sangat patriarkis. Mulai dari larangan kaum perempuan bersekolah oleh Taliban dan keluar rumah, hingga macam-macam kartun dari media Barat yang meledek para perempuan muslim bercadar.
Pada 2016, dunia dikejutkan dengan media sosial yang mengabarkan bahwa Dewan Ideologi Islam di Pakistan mengizinkan seorang suami memukul istrinya jika menolak berhubungan seks. Pernyataan di atas seolah menjadi pembenaran untuk melakukan kekerasan terhadap istri, yang identik dengan pemaksaan dari kehendak ssuami.
Masalah ini berlanjut hingga bagaimana prosedur pemukulan, seberapa keras, dan seterusnya. Kesimpulannya ialah Islam digambarkan sebagai sebuah ajaran dan agama yang membenarkan penindasan terhadap perempuan.
Tak berhenti disana, dewasa ini masih ada sebagian orang yang kurang setuju bahkan alergi ketika mendengar kata feminis. Feminis diasumsikan sebagai sebuah ideologi kebarat-baratan dan memberikan kesimpulan bahwa feminis tidak islami. Hal di atas kemudian menimbulkan beberapa pertanyaan besar yakni bagaimana posisi perempuan dalam Islam?. Apakah Islam mengajarkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan?
Pertanyaaan-pertanyaan tersebut tidak hanya dalam kalangan ulama namun juga di kalangan non muslim. Ada berbagai tudingan yang menyebut Islam kurang menghargai dan menghormati perempuan diakibatkan beberapa kontruksi dan budaya kerap memposisikan sebagai benda, bukan manusia. Pandangan-pandangan yang telah dijabarkan di atas seolah sangat bertentangan dengan apa yang telah diajarkan nabi Muhammad Saw.
Menurut KH Marzuki Wahid, jelas jika memang kata feminis ini merupakan bahasa Inggris, besar kemungkinan dari Barat. Jika dari bahasa Arab, besar kemungkinan dari Timur Tengah. Kemudian, lebih lanjut beliau mempertanyakan apakah segala hal yang berasal dari Barat tidak Islami? Sebaliknya apakah semua hal yang berasal dari Timur Tengah itu cenderung atau selalu Islami? Di Barat juga ada Islam, di Timur Tengah juga ada kekafiran. Begitu juga dalam praktik keseharian.
“Saya melihat Islam tanpa orang Islam di Paris (Barat), dan saya melihat orang Islam tanpa Islam di Mesir (Timur Tengah). Ketahuilah Islam itu melintasi Barat dan Timur bahkan Utara dan Selatan. Islam bukan ruang, melainkan tata nilai, ajaran dan sikap juga tindakan pada tauhid dan bermuara pada perwujudan kemaslahatan umat manusia, keadilan, kerahmatan, kearifan dan kebaikan semesta.” jelas KH Marzuki Wahid, pada acara Xpedisi Feminis, di Cirebon (25-26/08/2018)
Untuk menjawab dua pertanyaan besar tersebut, mari kita telisik apa yang telah dilakukan Nabi Muhammad Saw selama hidupnya. Tidak ada seorang pun yang akan menolak bahwa Nabi Muhammad Saw merupakan seorang yang dengan ajaran-ajarannya mengangkat harkat dan martabat perempuan.
Sebelum kedatangan beliau, perempuan diwariskan, Islam lalu memberinya hak warisan. Juga, bayi perempuan yang baru saja lahir dikubur hidup-hidup, karena malunya memiliki anak perempuan. Pada saat itu datanglah Islam dengan utusan Nabi Muhammad Saw mengangkat derajat perempuan setinggi-tingginya dan dimuliakan.
Dulu perempuan biasa dipaksa nikah, oleh Islam untuk menikahi perempuan harus melalui persetujuannya, dilakukan oleh wali dan disaksikan minimal dua orang. Pada akhirnya, Islam hadir untuk menegaskan humanisasi perempuan setara dengan laki-laki di tengah budaya patriarki yang menjajah perempuan.
Dalam Jurnal Muwazah mengutip Ibnu Hisyam dalam kitab Tarikh-nya, Nabi Muhammad secara jelas telah menyerukan kesetaraan dalam khutbah hajjatulwada’ di hadapan 114.000 jamaah haji, “Wahai manusia, sebagaimana laki-laki mempunyai hak atas perempuan, perempuan juga mempunyai hak atas laki-laki. Layanilah perempuan dengan baik dan berlaku lemah lembut terhadap mereka, karena sesungguhnya mereka adalah teman dan sahabatmu yang setia. Takutlah kepada Allah dalam bersikap terhadap perempuan, karena kalian telah mengambil mereka dengan amanah Allah dan menghalalkan hubungan mereka dengan kalimat Allah”. (HR. Abi Dawud)
Badriyah Fayumi dalam buku Keadilan dan Kesetaraan Gender mengatakan Istri Rasulullah Saw diberikan kebebasan untuk mengeluarkan pendapat dan mengembangkan daya kreasinya sesuai dengan minatnya. Ini menandakan bahwa terjadi hubungan yang setara dengan para istrinya benar-benar dipraktekkan.
Sikap dan perilaku feminisme atau kesetaraan gender inilah yang sering ditunjukkan oleh Rasulullah dalam kehidupan berumah tangga. Di antaranya beliau tidak segan-segan melakukan pekerjaan yang pada saat itu, bahkan juga pada saat ini, dianggap sebagai kewajiban perempuan, seperti menyapu,menjahit, atau memeras susu. Juga sudah menjadi kebiasaan Rasulullah mengasuh anak dan cucu-cucunya.
Nah, dari yang dijabarkan di atas, dapat disimpulkan bahwa nabi Muhammad merupakan feminis pertama dalam Islam. Apa yang diajarkan nabi Muhammad Saw jauh lebih mendasar dan mendalam dari sekedar gerakan feminisme yang muncul pada abad 20an. Nabi Saw tidak hanya memperjuangkan namun juga membangun dasar dan landasan teologis yang kokoh untuk kemuliaan martabat perempuan dalam semua aspek kehidupan.
Dari sinilah gerakan feminis dalam Islam dimulai sekaligus menolak bahwa feminisme bukan milik Barat. Gerakan ini secara nyata telah hadir dengan kelahiran Nabi Saw sebagai utusan Allah Swt. Ajaran tauhid dalam Islam itu sendiri menjadi dasar keadilan dalam relasi laki-laki dan perempuan. Islam bukan hanya datang untuk muslim tapi datang untuk semua manusia.