BincangMuslimah.Com- Allah SWT menciptakan alam semesta untuk tunduk dan beribadah kepada-Nya. Kemudian Rasul sebagai utusan Allah mengatur ibadah ini dalam ketentuan-ketentuan ajaran agama. Setiap dari Rasul membawa ajaran untuk para umatnya lalu Rasulullah menyempurnakannya sebagai untusan terakhir dengan membawa agama Islam. Sebagaimana firman Allah SWT yang termaktub di dalam QS. Al-Maidah [5]:3:
ٱلۡيَوۡمَ أَكۡمَلۡتُ لَكُمۡ دِينَكُمۡ وَأَتۡمَمۡتُ عَلَيۡكُمۡ نِعۡمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلۡإِسۡلَٰمَ دِينٗاۚ…
Artinya: “…Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu umtukmu, telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu”.
Syahadat Merupakan Syarat Utama Menjadi Seorang Muslim
Dari ayat tersebut menunjukkan bahwa agama Islam adalah agama yang mendapat ridha dari Allah yang Mahaesa. Di dalam agama Islam sendiri, ada 5 hal yang menjadi pondasi sebagai seorang muslim. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
بني الإسلام على خمس شهادة أن لا إله إلا الله وإقام الصلاة وإيتاء الزكاة وحج البيت وصوم رمضان
“Islam itu dibangun atas 5 hal, bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, melaksanakan shalat, menunaikan zakat, menunaikan haji ke Baitullah dan melakukan puasa Ramadan”.
Untuk itu setiap orang yang beragama Islam atau baru masuk Islam harus melakukan 5 hal ini sebagai syarat menjadi seorang Muslim. Sebagaimana penjelasan di atas bahwa syarat pertama untuk menjadi seorang muslim adalah mempersaksikan/bersyahadat. Syahadat ini dilakukan dengan mengucapkan 2 kalimat syahadat yang berbunyi اشهد ان لا اله الا الله واشهد انّ محمدا رسول الله. Lantas jika yang akan menjadi muslim ini adalah seorang disabilitas wicara, bagaimana cara ia bersyahadat?
Syahadat bagi Penyandang Disabilitas Wicara
Tidak menjadi syarat bagi penyandang disabilitas wicara untuk mengucapkan kedua kalimat syahadat karena ia tidak mampu. Sedangkan Allah tidak pernah membebani hamba-Nya di luar batas kemampuan hamba tersebut. Sehingga orang bisu yang masuk Islam cukup menggunakan isyarat saja untuk menyatakan keIslamannya. Sebagaimana Imam Nawawi menyebutkan di dalam kitab Raudlah al-Thalibīn wa ‘Umdah al-Muftīn juz. 8 hal. 282:
يَصِحُّ إِسْلَامُ الْأَخْرَسِ بِالْإِشَارَةِ الْمُفْهِمَةِ. وَقِيلَ: لَا يُحْكَمُ بِإِسْلَامِهِ إِلَّا إِذَا صَلَّى بَعْدَ الْإِشَارَةِ، وَهُوَ ظَاهِرُ نَصِّهِ فِي الْأُمِّ وَالصَّحِيحُ الْمَعْرُوفُ الْأَوَّلُ، وَحملَ النَّصَّ عَلَى مَا إِذَا لَمْ تَكُنِ الْإِشَارَةُ مُفْهَمَةً
Keislaman seorang yang bisu sah dengan menggunakan isyarat yang dipahami. Sedangkan menurut satu pendapat: keislamannya tidak putus kecuali apabila ia melaksanakan shalat setelah isyarat. Dan ini adalah zhahirnya pendapat Imam Syafi’i di dalam kitab al-Umm. Pendapat yang shahih adalah pendapat pertama. Sedangkan pendapat nas Imam Syafi’i mengarah kepada isyarat yang tidak bisa dipahami.
Hal ini selaras dengan pendapat Mazhab Maliki di dalam kitab al-Mausū’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah juz. 19 hal. 92:
فَإِنْ كَانَ عَاجِزًا عَنِ النُّطْقِ لِخَرَسٍ، فَإِنَّهُ يُكْتَفَى فِي إِسْلَامِهِ بِالإِشَارَةِ مَعَ قِيَامِ الْقَرَائِنِ عَلَى أَنَّهُ أَذْعَنَ بِقَلْبِهِ
“Jika orang kafir yang hendak masuk Islam tidak mampu mengucapkan 2 kalimat syahadat karena bisu, maka ia cukup berisyarat di dalam keislamannya di samping adanya indikasi-indikasi yang menyatakan pengakuan dengan hatinya”.
Di dalam kedua keterangan tersebut setidaknya ada 2 pendapat tentang syahadat seorang disabilitas wicara dengan menggunakan isyarat. Pendapat pertama merupakan pendapat yang shahih menyatakan bahwa mutlak Islamnya seorang disabilitas bicara dengan menggunakan isyarat tersebut dan sah. Sedangkan pendapat kedua menyatakan bahwa seorang disabilitas bicara tersebut dengan syarat harus melakukan shalat terlebih dahulu setelah memberi isyarat. Lalu kedua pendapat ini dikompromikan dengan mengarahkan pendapat kedua kepada isyarat yang tidak dipahami. Sehingga dapat kita pahami bahwa keIslaman seorang disabilitas wicara dapat sah ketika menggunakan isyarat yang dipahami.
Wallahu a’lam, semoga bermanfaat