BincangMuslimah.Com – Rasulullah Saw. hadir di tengah kehidupan bangsa Arab pada abad keenam Masehi yang menganut sistem relasi kuasa patriarkis. Sistem ini serupa dengan apa yang dianut bangsa-bangsa di bagian dunia lain pada saat itu. Sistem patriarkisme memosisikan laki-laki sebagai pengambil keputusan atas segala hal dalam kehidupan bermasyarakat.
Dalam sistem ini, ada pola pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin. Laki-laki bekerja dan beraktualisasi di ruang publik sedangkan para perempuan aktif di ruang domestik. Posisi dan peran perempuan yang seperti inilah yang membuat rendahnya pengalaman, pengetahuan, dan keterampilan perempuan dalam menjalankan kehidupan.
Islam sebagai agama kemanusiaan atau religious of humanity, ajarannya mencakup dan melingkupi semua aspek hidup dan perikehidupan. Sejak awal, kelahiran Islam sudah mengajarkan dan mengapresiasi prinsip-prinsip hak asasi manusia. Perlu digarisbawahi bahwa penghormatan dan penghargaan terhadap manusia dan kemanusiaan adalah ajaran pokok dan penting di dalam Islam.
Ibnu Rusyd al-Hafid dalam Talkhish al-Siyasah li Aflathon menyatakan bahwa diantara ajaran pokok tentang hak asasi manusia dalam Islam adalah tentang tata cara yang mesti dilakukan manusia dalam berilmu, beramal dan menjalin hubungan dengan sesama manusia dan seluruh makhluk Tuhan yang lainnya.
Dalam konteks hak asasi pendidikan, ajaran Islam sangat menaruh perhatian terhadap umatnya yang menuntut ilmu pengetahuan. Ada banyak sekali ayat-ayat dalam al-Qur’an dan al-Hadits yang menganjurkan dan mengagungkan setiap orang yang berilmu. Dalam Islam, hukum menuntut ilmu bahkan wajib bagi setiap manusia baik laki-laki, perempuan, anak-anak, dan orang dewasa. Dalam memperoleh akses pendidikan, setiap manusia memperoleh hak yang sama.
Pendidikan dalam Islam
Praktik hak dan kewajiban pemenuhan pendidikan untuk umat manusia sebenarnya telah tersirat dalam kehidupan Rasulullah Saw. yang dituangkan dalam Piagam Madinah. Piagam Madinah pada intinya menggarisbawahi lima hal pokok sebagai dasar kehidupan bermasyarakat dan bernegara sebagai berikut:
Pertama, prinsip persaudaraan. Prinsip ini menegaskan bahwa semua manusia berasal dari satu asal. Maka dari itu, mereka semua bersaudara. Kedua, prinsip saling menolong dan melindungi. Saat itu, penduduk Madinah terdiri dari berbagai macam suku, agama, dan bahasa haru saling membantu dalam menghadapi lawan. Ketiga, prinsip melindungi yang lemah dan teraniaya. Keempat, prinsip saling menasehati, dan kelima, prinsip kebebasan beragama.
Ketercapaian kehidupan umat yang madani yang ditekankan oleh Rasulullah Saw. pada saat itu tidak mungkin bisa tercapai apabila tidak mempunyai ilmu pengetahuan yakni dengan memfungsikan dan mengoptimalkan potensi akal melalui pendidikan.
Pendidikan Untuk Perempuan
Sayangnya, masih jelas terlihat perbedaan secara mendasar di kalangan para ahli dalam melihat kedudukan laki-laki dan perempuan. Hal inilah yang membawa pengaruh atas posisi, fungsi, ekspresi dan ruang aktualialisi diri dari kedua jenis kelamin tersebut.
Meskipun demikian, kenyataan sejarah bahwa di setiap zaman selalu ada perempuan yang lebih unggul secara intelektual daripada laki-laki. Hal ini setidaknya menegaskan bahwa potensi kecerdasan intelektual bukanlah kodrat tapi merupakan dimensi kasbi yang data diraih, diupayakan, dan diusahakan lewat pendidikan.
K.H. Husein Muhammad dalam esainya Islam dan Pendidikan Perempuan (2014) menuliskan bahwa proses pendidikan untuk kaum perempuan mengalami proses degradasi yang luar biasa dalam waktu yang sangat panjang. Barulah pada abad ke-19 sejumlah tokoh tampil untuk menyerukan dibukanya pendidikan bagi kaum perempuan.
Sebagai misal, Rifa’ah Rafi’ al-Thahthawi (1801-1873 M), perempuan pertama yang mengampanyekan dengan gigih kesetaraan dan keadilan gender serta menyerukan dibukanya akses pendidikan yang sama bagi kaum perempuan.
Hal yang sama dilakukan pula di Indonesia oleh Dewi Sartika, Rahma el-Yunisiah, KH. A. Wahid Hasyim dan lain-lain. Sejarah mencatat, tahun 1928 menjadi momen paling penting dalam sejarah perempuan di Indonesia yakni sebuah Kongres Perempuan berhasil diselenggarakan.
Beberapa butir dari rekomendasi Kongres Perempuan tersebut adalah menuntut kepada pemerintah kolonial untuk menambah sekolah bagi anak perempuan. Selanjutnya, memberikan beasiswa bagi siswa perempuan yang memiliki kemampuan belajar tetapi tidak memiliki biaya pendidikan, lembaga itu disebut stuidie fonds.
Kongres Perempuan juga menghasilkan rekomendasi untuk mendirikan suatu lembaga dan mendirikan kursus pemberantasan buta huruf, kursus kesehatan serta mengaktifkan usaha pemberantasan perkawinan kanak-kanak. Peristiwa tersebut tentu menjadi bukti bahwa perempuan bisa menjadi manusia unggul apabila mendapat kesempatan.
Hal ini juga menguatkan bahwa ajaran agama Islam yang tak membedakan laki-laki dan perempuan dalam menuntut ilmu bisa dibuktikan dengan banyaknya perempuan yang telah menjadi tokoh dan mengenyam pendidikan tinggi. Dalam pendidikan, perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama.[]