BincangMuslimah.Com – Takfîri biasanya dipahami sebagai sebuah pernyataan dari seseorang bahwa si Fulan telah kafir. Sehingga takfîri berkaitan erat dengan hukum kafir. Dalam hal ini, bolehkah kita menghakimi orang lain dengan sebutan kafir? Oleh karenanya, sebelum membahas lebih detail tentang takfîri, perlu kita pahami terlebih dahulu apa itu kafir.
Secara bahasa, kafir memiliki makna kebalikan dari iman. Ia juga memiliki makna lain seperti kufur nikmat, yang disebutkan juga di beberapa kamus. Pelaku kufur nikmat ataupun orang yang tidak beriman tersebut lah yang dimaksud dengan kata kafir.
Sedangkan secara istilah (menurut syariat), kafir merujuk kepada orang yang mengingkari ajaran-ajaran agama yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw. Ajaran yang dimaksud adalah hal-hal yang sifatnya dharûriy atau yang tidak boleh tidak. Seperti mengingkari keberadaan Tuhan yang menciptakan alam semesta, tidak mengakui kenabian Nabi Muhammad saw., menolak keharaman zina, dan lain-lain.
Imam al-Ghazali menuturkan, bahwa kafir adalah bagian dari hukum syar’i sebagaimana shalat, puasa, zakat, dan lain-lain. Oleh karena itu, untuk mengetahui hakikatnya tidak bisa dicapai melalui akal, melainkan harus dari nash-nash Alquran dan hadist, ijma’ atau pun qiyas. Sebab umat Islam terdiri dari berbagai mazhab, maka perbedaan pendapat terkait hukum kafir pun tak terelakkan. Yang jelas mereka bahwa sepakat bahwa hakikat kafir adalah mengingkari apa-apa yang disampaikan Nabi Muhammad saw.
Adapun Imam al-Qarafi mengatakan, “Hakikat kekafiran adalah tindakan-tindakan yang menghinakan kehormatan Allah Swt. Tidak mengakui keberadaan-Nya sebagai Pencipta alam, misalnya. Atau pun tidak mengakui sifat-sifat agung yang dinisbatkan ke Allah Swt., serta mengingkari dengan yakin ajaran-ajaran agama yang sifatnya dharûriy.”
Jika merujuk ke Surat an-Nisa ayat 48, kita akan mendapati satu poin penting tentang hukum kafir, yang barangkali selama ini kita luput tentang hal tersebut saat melihat fenomena takfîri yang acapkali keluar dari mulut sesama muslim sendiri. Ayat tersebut berarti, “Sesungguhnya Allah Swt. tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukan-Nya (syirik), dan Dia mengampuni dosa yang selainnya (syirik) itu bagi siapa saja yang Dia kehendaki. Barang siapa mempersekutukan Allah Swt. maka sungguh, dia telah berbuat dosa yang besar.”
Perlu digarisbawahi, salah satu inti dari akidah seorang muslim adalah, tidak mengkafirkan sesama muslim sebab perbuatan dosa. Bahkan dosa besar sekalipun, seperti berzina dan minum khamr. Allah Swt. pun telah menegaskan, bahwa Dia akan mengampuni segala macam perbuatan dosa, kecuali syirik (sebagaimana maksud ayat di atas). Jika Allah Swt. saja sudah bermaksud mengampuni dosa besar, mengapa kita yang sesama manusia berani mengkafirkan muslim lain sebab perkara yang ternyata masih menjadi perselisihan di antara mazhab muslim.
Sehingga pelaku dosa besar sekalipun tidak bisa menerima cap ‘kafir’, sebab makna asal kafir adalah mengingkari dengan sengaja dan merasa pengingkaran tersebut adalah hal yang benar. Dibanding menghukumi kafir, menurut Ulama Ahlussunnah wal Jamaah, para pelaku dosa besar tersebut dihukumi sebagai orang fasik atau pun orang yang imannya tidak sempurna.
Lantas bagaimana hukum menghakimi orang dengan sebutan kafir?
Syekh Syauqi Alam (Mufti Darul Ifta’ Mesir saat ini) menjawab, adakalanya haram, dan adakalanya wajib. Haram jika takfîri tersebut merupakan tuduhan palsu, tidak berdasarkan fakta yang bisa dibuktikan bahwa seseorang telah kafir. Sekalipun ada tanda-tanda kekafiran, akan tetapi masih samar dan meragukan, maka tetap haram hukumnya untuk mencap seseorang telah kafir. Sebagaimana termaktub dalam Surat al-Nisa’ ayat 94.
Takfîri bisa menjadi wajib hukumnya jika hukum kafir tersebut berdasarkan fatwa dari seorang mufti (sosok ulama yang kredibilitas keilmuannya sudah memenuhi syarat seorang mufti) atau pun dari seorang hakim agung di daerahnya. Itu pun sah jika kekafiran si Fulan telah terbukti adanya, sebagaimana ketentuan-ketentuan kafir yang sudah termaktub.
Sekalipun seorang mufti legal untuk menetapkan si Fulan telah kafir atau murtad dari agama Islam, namun Allah SWT. tetap mewanti-wanti mereka untuk selalu berhati-hati dalam berfatwa, tidak tergesa-gesa dalam memutuskan suatu perkara, dan tetap mempertimbangkan hak-hak si Fulan jika masih ada tanda keimanan dalam dirinya, sekecil apapun. Pun, jika ada potensi untuk mengalihkan makna perkataan si Fulan dari mafhum kafir ke sesuatu yang lebih baik, maka hendaklah perkataan tersebut diambil makna baiknya.
Coba kita renungkan. Seorang mufti yang telah terbukti kredibilitas keilmuannya saja masih harus berhati-hati, bahkan sebisa mungkin mengalihkan mafhum tersebut ke sesuatu yang lebih baik, apalagi kita yang masih awam dan belum banyak tahu soal agama?
1 Comment