BincangMuslimah.Com – Kebanyakan masjid memasang pembatas di antara shaf laki-laki dan perempuan. Terkadang pembatas tersebut ada yang setinggi perut ada pula yang setinggi kepala. Namun ada pula masjid yang tidak memasang pembatas, sebenarnya bagaimana hukum memasang pembatas di antara shaf laki-laki dan perempuan?
Sebenarnya memasang pembatas antara jamaah laki-laki dan perempuan tidak diwajibkan sebab pada zaman Nabi hal tersebut tidak dilakukan. Hal tersebut dapat diketahui lewat riwayat berikut ini
كَانَ رِجَالٌ يُصَلُّونَ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَاقِدِي أُزْرِهِمْ عَلَى أَعْنَاقِهِمْ كَهَيْئَةِ الصِّبْيَانِ وَيُقَالُ لِلنِّسَاءِ لَا تَرْفَعْنَ رُءُوسَكُنَّ حَتَّى يَسْتَوِيَ الرِّجَالُ جُلُوسًا
Para laki-laki ketika shalat bersama Nabi Saw mereka duduk dengan mengikatkan sarung mereka ke leher-leher mereka. Lalu Rasulullah berkata kepada para perempuan, “Janganlah kalian para perempuan mengangkat kepala kalian sehingga para laki-laki duduk dengan lurus sempurna.” (HR. Bukhari & Muslim)
Menurut Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menjelaskan, perintah Rasulullah agar para perempuan tidak mengangkat kepala sebelum para jamaah laki-laki duduk sempurna supaya pandangan mereka tidak melihat aurat laki-laki, karena kebiasaan para laki-laki saat itu yang ketika memakai sarung diikatkan ke leher saat sujud dikhawatirkan akan kelihatan bagian bawahnya.
Hadis ini menceritakan bahwa pada zaman itu belum ada kebiasaan memasang pembatas di antara shaf shalat pria dan perempuan. Karena tidak ada perintah untuk memasang pembatas, maka tidak ditemukan ketentuan yang menerangkan ukuran tinggi pembatas tersebut.
Namun jika ditakutkan terjadi fitnah atau hal-hal yang dapat mengganggu kekhusukan shalat maka dianjurkan untuk memasang pembatas tersebut. Dalam kitab Ihya’ ‘Ulumiddin Imam Al-Ghazali berkata sebagai berikut
ويجب أن يضرب بين الرجال والنساء حائل يمنع من النظر فإن ذلك أيضا مظنة الفساد والعادات تشهد لهذه المنكرات
Dan wajib memasang penghalang di antara laki-laki dan perempuan yang bisa menghalangi pandangan karena hal itu diduga sebab terjadinya kerusakan dan kebiasaan masyarakat memandang ini termasuk dari kemungkaran.
Dalam al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah ‘Ala Madzhab al-Imam al-Syafi’i, Ibnu Hajar al-Haitami menjelaskan anjuran memasang penghalang yang dijelaskan dalam Ihya Ulumuddin sebenarnya dalam konteks menyampaikan ceramah.
Namun hal ini bisa diaplikasikan dalam shalat berjamaah, jika memang ditakutkan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti disebut di atas. Wallahu’alam.