Ikuti Kami

Wawancara

Wawancara Eksklusif Prof Lies Marcoes: Menyelami Isu Kekerasan di Pesantren dan Penanganan Terbaik

Islamramah.co

BincangMuslimah.Com– Kekerasan di pesantren menjadi isu genting, karena bersinggungan dengan reputasi pesantren yang seharusnya menjadi tempat aman dan nyaman dalam pembelajaran agama dan karakter anak.

Pemberitaan kekerasan di lingkungan pesantren masih terus bermunculan mulai dari isu  bullying atau perundungan karena senioritas, hingga kekerasan seksual. Hal ini menjadi momok bagi orang tua santri, juga para korban yang akan mengalami beragam trauma fisik, mental atau psikis

Tentu hal ini menggugah para akademisi dan tokoh Pendidikan dan pesantren untuk mengkaji penyebab tindakanitu. Lalu apa solusi dan rekomendasi dari mereka yang terus menyuarakan tentang fakta kekeasan di Lembaga Pendidikan khususnya pesantren.

Tim Bincang Syariah mewawancarai pakar gender dan kajian Islam, Lies Marcoes-Natsir MA terkait pandangannya dalam menyikapi maraknya isu kekerasan di pesantren.

Berikut hasil wawancaranya.

Bagaimana Bu Lies menyikapi isu kekerasan di pesantren dalam konteks kekerasan berbasis gender? apa sebenarnya faktor utama yang mempengaruhinya, Bu?

 

Kita sedang berhadapan dengan sebuah glorifikasi atau mitos yang memujamu-muja bahwa  lembaga pendidikan agama dianggap sebagai sesuatu yang mulia dan suci dari akhlak buruk. Tapi saat ini kita hendak bicara realitas bagaimana ini agar dipahami bahwa hal semacam ini sangat mungkin terjadi karna beberapa hal.

Dalam hal ini terdapat dua penyebab teoritisnya:

Pertama, adanya relasi yang timpang. Relasi yang timpang itu bisa karena timpang secara power atau ekonomi. Antara guru-murid, kyai-santri, senior-junior, maupun secara gender lelaki dengan perempuan. Karena power atau kekuatan itu memiliki dua sifat. Yakni konkrit (tidak terlihat) dan naratif atau mitos yang akan berkembang.

Jadi hal yang melanggengkan adanya kekerasan atau ketimpangan di pesantren adalah adanya relasi kuasa yang bersifat konkrit dan abstrak yang ada pada pemahaman dan kontruksi. Misalnya relasi antara santri biasa dengan Bu nyai dan Kyai.

Baca Juga:  Musdah Mulia; Feminisme untuk Seluruh Gender Bukan Hanya Perempuan

Kedua, relasi tersebut mendapat pembenaran dengan adanya penyalahartian ‘kepatuhan atau ketundukan pada pihak yang kuat, yang punya kuasa sepertu kepada kyai’, pada senior melali pemahaman dalam pemaknaan ta’limuttaallim atau pembelajaran. Hal itu dimungkinkan karena mereka yang punya power menginterpretasikannya sesuai dengan pepentingannya, yaitu kepentingan untuk menguasi, mengontrol atau mengimplementasikan powernya.

Jadi, kekerasan selalu ada hubungan relasi power dengan adanya pembenaran melalui narasi seperti  argumentasi keagamaan berbasis pemahaman atau interpretasi, yang dimaknai secara sepihak oleh orang yang punya power. Itulah basis adanya kekerasan di mana pun, terlebih di lingkungan pesantren, di mana kedua syarat itu sangat mungkin diterapkan.

 

Menurut Bu Lies, bagaimana bentuk atau model penanganan terbaik dalam mencegah dan mengatasi kasus kekerasan ini, Bu?

 

Pertama, penanganan yang ada saat ini belum memadai jika hanya berasal dari unit non independen yang dibentuk oleh pengasuh pesantren atau oleh pengasuh pondok, atau kyai, ustadz atau Ibu Nyainya sendiri. Karena masih terdapat unsur relasi kuasa, sangat bias dan pasti akan menyalahkan si korban. Misalnya ‘kamu yang genit, pakai make up atau bicaranya menggoda’, dan lainnya.

Kedua, jika ada penanganan dari lembaga dari luar seperti Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan Dan Anak (P2TP2A) juga belum tentu efektif karena belum berani dalam megadili pelaku (kyai). Karena tingkatan power atau otoritas pihak yang menangani rendah.

(Karenanya) harus ada lembaga yang punya kekuatan otonom dan politik yang cukup. Seperti polisi yang masuk menggunakan Undang-Undang perlindungan anak. Jadi kekerasan di Pesantren akan bisa ditangani oleh pihak yang berwenang  dengan menggunakan undang-undang yang tepat seperti UU perlindungan anak.

 

Baca Juga:  Filosofi I'rab Santri: Rafa’, Nashab, Khafadh, dan Jazm

Bagaimana peran masyarakat dan media dalam merespon isu ini, Bu?

Terima kasih sebelumnya kepada pihak media atau lainnya yang berani dalam mengangkat isu ini hingga membuat gencar dan viral (sehingga berita terangkat sebagai pelajaran dan lekas ditangani). Karena saat ini, kita sedang berhadapan dengan sebuah glorifikasi atau mitos yang memujamu-muja bahwa lembaga pendidikan agama dianggap sebagai sesuatu yang mulia dan suci dari akhlak buruk.

Saya kagum dengan sikap tokoh agama yang tegas seperti Gus Mus atau Mas Lukman Hakim, untuk mengakui dan mematahkan mitos bahwa pesantren itu baik-baik saja, bak surgawi, kyai itu bak malaikat dan di dalamnya tidak mungkin ada kekerasan. Padahal, pesantren itu lembaga pendidikan yang bisa saja terjadi kekerasan di dalamnya jikalau tidak ada adab atau aturan yang disepakati.

Apakah perlu untuk pesantren lebih terbuka dan bekerja sama dengan LSM hingga lembaga pemerintah, Bu? Selain itu, perlukah adanya pelatihan dan pendidikan perihal hak-hak anak dan pencegahan kekerasan bagi pengasuh pesantren?

Pastinya perlu. Pemerintah hendaknya memastikan ketersediaan unit atau lembaga perlindungan di lingkungan pesantren yang independen. Anak atau santri berhak mengadukan bentuk kekerasan yang dialaminya.

Pesantren juga harus cukup rendah hati untuk mengakui jika terdapat keterbatasan dalam penanganan dan pengawasan. Agar nanti bisa mendapat bangtuan Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama (LKKNU) dan mendapat dukungan secara motivasi maupun pendanaan oleh kementerian agama, yang juga sudah megizinkan pesantren tersebut berdiri.

Untuk pelatihan pemahaman tentang cara keja kekerasan dan penanggulangannya saya rasa sangat perlu. Apalagi jika nanti terdapat unit perlindungan bagi santri. Misalnya terdapat pengawasan oleh musyrif atau musyrifah dengan lingkup kecil yang mampu memantau sepuluh santri dan sebagainya.  Dan dalam hal itu, yang mengawasi harus memiliki pengetahuan yang standar tentang apa itu kekerasan, hak anak, dan pengetahuan dasar dalam memahami gejala atau karakter santri yang mengalami atau menjadi korban kekerasan.

Baca Juga:  Hari Santri Nasional dan Maraknya Kekerasan Seksual di Pesantren

Sehingga dari upaya tersebut dapat mengedukasi para pengasuh dan mengatasi adanya ketimpangan relasi gender dan kuasa.

 

Adakah rekomendasi dari Bu Lies untuk perbaikan sistem pengawasan dan perlindungan anak (santri) untuk masa depan pesantren di Indonesia?

Pemerintah dan pesantren haruslah saling bersinergi. Pemerintah harus terlebih dulu berterima kasih pada pesantren-pesantren yang membantu negara dalam memberikan pendidikan. Negara harus memberikan perlindungan kepada mereka yang powerless, tidak bisa melepaskan begitu saja dan hanya menjadi tanggung jawab pesantren sendiri. Juga memberikan kenyamanan terhadap proses pembelajaran anak di manapun berada dari segala bentuk kekerasan.

Sebaliknya, pesantren juga tidak boleh tertutup terhadap realitas terjadinya kekerasan. Karena hal ini bukan sebatas tentang anak nakal saja, tapi terkait dengan relasi kuasa. Perlu mengkaji ulang konsep untuk kepatuhan penuh seperti ‘santri yang diam dan nurut agar mendapat berkah’ itu. Karena takut menjadi sarang dan bibit adanya intimidasi dan kekerasan.

Rekomendasi

Hari Santri Nasional dan Maraknya Kekerasan Seksual di Pesantren Hari Santri Nasional dan Maraknya Kekerasan Seksual di Pesantren

Hari Santri Nasional dan Maraknya Kekerasan Seksual di Pesantren

Wawancara Komisioner Komnas Perempuan Tentang Pendampingan Penyintas Kekerasan Seksual di Pesantren Wawancara Komisioner Komnas Perempuan Tentang Pendampingan Penyintas Kekerasan Seksual di Pesantren

Wawancara Komisioner Komnas Perempuan Tentang Pendampingan Penyintas Kekerasan Seksual di Pesantren

Filosofi I'rab Santri: Rafa’, Khafadh, Jazm, dan Nashab Filosofi I'rab Santri: Rafa’, Khafadh, Jazm, dan Nashab

Filosofi I’rab Santri: Rafa’, Nashab, Khafadh, dan Jazm

Ditulis oleh

Mahasiwi Fakultas Dirasat Islamiyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Mahasantriwati Pesantren Luhur Sabilussalam.

Komentari

Komentari

Terbaru

Kata Nabi Tentang Seseorang yang Senang Membully Temannya

Kajian

Pelaku Pemerkosaan Dibela Ayahnya Pelaku Pemerkosaan Dibela Ayahnya

Sulitnya Menjegal Pelaku Pelecehan Seksual

Diari

Mengapa Menyebarkan Kesadaran Tentang Penyandang Disabilitas itu Penting? Mengapa Menyebarkan Kesadaran Tentang Penyandang Disabilitas itu Penting?

Mengapa Menyebarkan Kesadaran Tentang Penyandang Disabilitas itu Penting?

Khazanah

Kiat Syariat Islam dalam Menghapus Perbudakan Kiat Syariat Islam dalam Menghapus Perbudakan

Kiat Syariat Islam dalam Menghapus Perbudakan

Tak Berkategori

Meutya Hafid, Menkomdigi Perempuan Pertama, dan Kebijakan dalam Penangangan KBGO Meutya Hafid, Menkomdigi Perempuan Pertama, dan Kebijakan dalam Penangangan KBGO

Meutya Hafid, Menkomdigi Perempuan Pertama, dan Kebijakan dalam Penangangan KBGO

Muslimah Talk

Konsep 'Frugal Living' Sebagai Manifestasi Nilai-nilai Al-Quran Konsep 'Frugal Living' Sebagai Manifestasi Nilai-nilai Al-Quran

Konsep ‘Frugal Living’ Sebagai Manifestasi Nilai-nilai Al-Quran

Muslimah Daily

menghilangkan Stigma Negatif Janda menghilangkan Stigma Negatif Janda

Tiga Alasan Kita Wajib Memuliakan Perempuan

Kajian

Hukum Menjual Barang Orang Lain Hukum Menjual Barang Orang Lain

Hukum Menjual Barang Orang Lain

Kajian

Trending

Jangan Insecure, Mari Bersyukur

Muslimah Daily

Kata Nabi Tentang Seseorang yang Senang Membully Temannya

Kajian

anjuran menghadapi istri haid anjuran menghadapi istri haid

Haid Tidak Stabil, Bagaimana Cara Menghitung Masa Suci dan Masa Haid?

Ibadah

Siapa yang Paling Berhak Memasukkan Jenazah Perempuan Ke Kuburnya?

Ibadah

ratu bilqis ratu bilqis

Tafsir Q.S An-Naml Ayat 23: Meneladani Kepemimpinan Ratu Balqis dalam Politik

Kajian

Pentingnya Self Love Bagi Perempuan Muslim

Diari

Bolehkah Akikah Anak Kembar dengan Satu Kambing?

Ibadah

Sya’wanah al-Ubullah: Perempuan yang Gemar Menangis Karena Allah

Muslimah Talk

Connect