BincangMuslimah.Com – Sejarah mengenai tradisi atau kebiasaan khataman Alquran yang dilakukan oleh sahabat Nabi terdapat dalam beragam literatur Islam. Dalam Kutub al-Tis’ah, yang mencantumkan riwayat ini hanya dari Sunan al-Darimi. Namun, riwayat tentang peristiwa ini hanya sampai pada sahabat. Sedangkan riwayat yang sampai pada Nabi saw -yakni mengenai diperintahkannya al-hall wa al-murtahil- tidak ditemukan riwayatnya.
Al-Darimi meletakkan riwayat tersebut dalam bab “Khatm Alquran”. Al-Qasim (w. 224 H) dan al-Firyabi (w. 301) sebagai penulis kitab Fada’il Alquran juga melakukan hal yang sama dengan al-Darimi, yaitu meletakkannya pada bab “Keutamaan khatam Alquran”. Akan tetapi, terdapat perbedaan pendapat. al-Darimi hanya meriwayatkan kabar perihal tradisi sahabat saat khataman yang dilakukan oleh sahabat Anas bin Malik. Di sisi lain, Al-Qasim dan al-Firyabi juga menuliskan tradisi tabi’in yang juga melakukan tradisi serupa seperti halnya Mujahid dan ‘Abdah bin Abu Lubabah. Hal yang dikerjakan oleh ketiga penulis kitab tersebut termasuk dalam pola relasi interpretasi informatif terhadap praktik.
Ketiganya menyampaikan pesan keutamaan khatam Alquran. Walaupun tidak menutup kemungkinan untuk para pembaca setelahnya memahaminya dari sisi performatifnya. Al-Qurtubi dalam mukadimah tafsirnya pun menjabarkan tentang khatm Alquran ini. Dalam penjelasannya, al-Qurtubi mengawalinya dengan menjelaskan ‘kebiasaan’ Nabi saw. ketika khatam membaca Alquran. Selanjutnya, menyambungkannya dengan riwayat al-hall wa al-murtahil. Lalu di akhir, al-Qurtubi mengutip riwayat praktik khataman Anas bin Malik serta beberapa tabi’in lainnya.
Dalam hal ini, dapat dipahami dua interpretasi terjadi sekaligus. Di satu sisi, al-Qurtubi memberikan informasi dalam kitab tafsirnya. Di sisi lain, dia menstimulus atau menggiatkan lahirnya kegiatan khataman Alquran.
Tak beda jauh, al-Nawawi menuliskan riwayat tersebut dalam bab “Adab ketika khatam Alquran”. Di sini, al-Nawawi menjabarkan mengenai empat permasalahan yang erat hubungannya dengan khatam Alquran. Lebih luas lagi, selain khataman dengan melaksanakan doa bersama, sebagaimana yang dilakukan oleh sahabat dan tabi’in, al-Nawawi juga menyebutkan waktu yang paling tepat saat berniat mengkhatamkan Alquran adalah di waktu pagi hari sebelum shalat Subuh.
Selain itu, al-Nawawi juga memberikan kabar bahwa disunnahkan untuk berpuasa saat khatam Alquran seperti yang dilakukan oleh tabi’in. Dari penjelasan yang disampaikannya, al-Nawawi lebih cenderung pada intrepretasi performatif terhadap praktik-praktik khataman Alquran yang dilakukan oleh sahabat.
Riwayat khataman Alquran ini menunjukkan adanya transformasi tradisi khataman dari masa sahabat. Pada mulanya, tradisi doa bersama yang dilakukan oleh Anas bin Malik hanya dilaksanakan secara sederhana dengan mengumpulkan sanak keluarganya. Kemudian pada generasi selanjutnya, Mujahid dan yang lainnya tidak hanya mengundang sanak keluarga, tetapi juga orang-orang secara umum.
Berikutnya pada masa al-Nawawi, beliau membahas tentang waktu lebih penting saat mengkhatamkan Alquran. Dalam riwayat disebutkan bahwa ada dua waktu yang utama untuk mengkhatamkan Alquran ini, yaitu awal pagi dan awal malam. Al-Nawawi menyampaikan bahwa waktu awal pagilah yang paling utama, berdasarkan pendapat ulama. Selain penjelasan mengenai waktu, al-Nawawi juga menambahkan tradisi puasa pada saat khatam Alquran. Penambahan informasi perihal tradisi dari al-Nawawi ini menunjukkan adanya transformasi bentuk praktik kebiasaan atau ritual ketika khataman Alquran.
Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwasannya terdapat beberapa sunnah yang dilakukan oleh para sahabat Nabi ketika mengkhatamkan Alquran, di antaranya mengelar doa bersama, berpuasa saat khataman Alquran, dan memulai khataman Alquran di waktu awal pagi hari atau setelah shalat Subuh.
Sumber
Amiroh, Ade. “Living Qur’an Pada Masa Sahabat (Analisis Teori Fungsi Informatif-Performatif)”. Skripsi: Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya. 2022.
3 Comments