BincangMuslimah.Com – Setelah beberapa waktu lalu, kita dikejutkan oleh beberapa kabar yang kurang mengenakkan. Beberapa kasus diantaranya seperti kekerasan seksual yang terjadi di Pesantren Shiddiqiyyah. Korban yang merupakan salah satu santri tersebut akhirnya buka suara mengenai kejadian yang tidak adil menimpanya, setelah diusut, tersangka yang merupakan anak dari pengasuh pesantren tersebut tentu menuai kemarahan berbagai pihak.
Tak hanya itu saja pelecehan seksual, terjadinya kekerasan yang menyebabkan salah satu santrinya menghembuskan nafas terakhirnya terjadi di Pesantren Gontor yang terjadi (22/8/2022) juga menuai kemarahan. Pada dasarnya, kasus kekerasan tidak pernah dibenarkan di manapun, terlebih di Pesantren yang notabenenya adalah lembaga yang mengkader para santrinya dalam ilmu agama.
Dari dua hal di atas, kita dapat melihat bahwasannya lembaga agama yang digadang mencetak generasi yang lebih berakhlak tidak menutup kemungkinan terjadinya hal-hal yang di atas. Lalu, apakah pondok pesantren masihkah relevan?
Berangkat dari problematika di atas, saya teringat pernyataan Gus Dur, bahwasannya pendidikan pesantren merupakan subkultur yang ciri-cirinya tidak dimiliki oleh lembaga lainnya. Artinya, konsep pendidikan yang dimiliki pesantren hanya mampu dijalankan pesantren.
Setelah saya melihat, pesantren memiliki beberapa hal yang menjadikan pendidikan pesantren berbeda dengan lembaga-lembaga pendidikan lainnya, baik pendidikan negeri maupun swasta. Di sini, saya akan menguraikan dua alasana mengapa pesantren masih menjadi tempat belajar terbaik. Di antaranya; Pertama, pendidikan moral. Pesantren memiliki peran besar dalam membentuk karakter setiap santri. Di antara pendidikan formal baik boarding school maupun sekolah negeri hanya mampu mengatur kurang dari 12 jam per harinya, sedangkan pesantren membersamai hampir 24 jam dalam seharinya. Dengan begitu, pembentukan karakter lebih mudah terbentuk di pesantren. Selain itu, pengawasan Kiai dan Bu Nyai turut mewarnai proses pembentukan karakter santri, baik melalui ngaji sorogan maupun kultum-kultum. Sistem-sistem yang kompleks inilah yang menjadi pondasi terbentuknya pendidikan moral yang ingin dicapai.
Kedua, kurikulum. Selain membentuk karakter santri melalui pengawasan yang cukup ketat, kurikulum juga menjadi poin penting. Pesantren sangat kental dengan tradisi yang melekat, salah satunya yaitu cara pengajaran ilmu-ilmunya. Ada dua metode yang masih dijadikan patokan dalam menjembatani kitab-kitab turats maupun kontemporer, pertama bandongan, atau mengajari tatap muka antara Kiai-Santri, sang Kiai memberikan maklumat dan santri sebagai pendengar . Metode ini sudah ada sejak munculnya Islam di Nusantara. Masuknya Islam di Nusantara tidak terlepas dari Wali Songo, ajaran Islam dikenalkan melalui masjid atau surau-surau yang tersedia. Metode ini digadang sebagai bentuk interaksi antara Kiai-Santri.
Selain bandongan, selanjutnya sorogan. Di mana santri yang mampu memahami dengan penuh isi dari suatu kitab naik ke level selanjutnya, yaitu sorogan. Sistem ini mengembangkan apa yang diketahui, seberapa jauh dia memahami suatu teks, menerjemahkan dan menjelaskannya. Sedangkan kiai sebagai pentashih jika adanya kekeliruan.
Dari dua poin di atas, saya rasa keberadaan pesantren tetap tidak bisa digantikan dengan lembaga pendidikan lainnya, karena pesantren memiliki corak tersendiri dalam membentuk karakter santri. Dua poin tersebut masih bisa menjadi alasan kuat mengapa pesantren disebut sebagai tempat belajar terbaik. Jika problematika di atas terjadi, kita harus melihat bahwasannya yang menjadi kesalahan bukan sepenuhnya pesantren, akan tetapi oknum. Selain itu, memilah pesantren juga menjadi suatu hal yang harus dilakukan setiap orang tua.
2 Comments