Ikuti Kami

Kajian

Ulama Fikih Klasik; Orang Murtad Harus Dibunuh?

Siti Zubaidah Risalah Tarawih
Credit: Photo from Gettyimages.com

BincangMuslimah.Com – Beberapa ulama fikih seperti Imam Abu Hanifah mendefinisikan fikih sebagai pengetahuan seorang muslim tentang kewajiban dan haknya sebagai hamba Allah SWT. Termasuk di dalamnya, membahas persoalan orang murtad yang seringkali secara tekstual dalam fikih harus dibunuh. 

Murtad secara bahasa berasal dari kata riddah yang bermakna “kembali”. Maksudnya adalah, berpindah dari satu hal ke hal lain. Adapun secara syariat, murtad didefinisikan sebagai sebuah tindakan meninggalkan agama Islam, baik itu berupa niat kafir, perkataan kafir, atau perbuatan kafir  (seperti sujud kepada berhala). 

Dalam kitab-kitab fikih klasik seperti Fathul Qarîb yang biasa dikaji di pondok pesantren, seseorang yang memutuskan untuk keluar dari Islam (murtad) dianggap telah melakukan sebuah tindak kejahatan.  Sehingga keluar dari Islam, dinilai sebagai perbuatan dosa yang pelakunya diancam atau berhak mendapat hukuman. Pertama yang harus dilakukan terhadap orang murtad, adalah diminta untuk bertaubat. Jika sampai tiga hari dia tidak bertaubat, maka jatuhlah hukuman mati bagi orang murtad tersebut. Yakni Imam yang berkuasa di daerahnya, berhak membunuhnya dengan cara dipenggal kepalanya atas kejahatannya tersebut. Lantas jenazahnya diperlakukan sebagaimana orang non-muslim, tidak dimandikan, tidak dikafani, tidak disholati, juga tidak dikuburkan di pemakaman orang muslim. Demikianlah hasil ijtihad jumhur ulama fikih klasik dalam persoalan murtad.

Dengan hanya membaca kitab-kitab fikih klasik, kita mungkin akan dibuat bertanya-tanya. Bagaimana hukum ini dapat direalisasikan di masa sekarang? Apakah mungkin setiap muslim yang berpindah ke agama lain lantas darahnya menjadi halal untuk dibunuh?

Syekh Ahmad Thayyib dalam siarannya di sebuah kanal televisi Mesir, membongkar mengapa jumhur ulama fikih klasik mengatakan demikian. Beliau menjelaskan, persoalan penghalalan darah orang-orang murtad ini bertumpu pada sebuah hadis Rasulullah SAW. yang berbunyi:

Baca Juga:  Tafsir al-Ahzab Ayat 35: Kritik Ummu Salamah atas Ketiadaan Penyebutan Perempuan dalam Alquran

لَا يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلَّا بِإِحْدَى ثَلَاثٍ الثَيِّبُ الزَانٍي وَالنَفْسُ بِالنَفْسِ وَالتَارِكُ لِدِيْنِهِ المُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ 

“Dari Ibnu Abbas RA. Berkata: Rasulullah SAW. bersabda “Tidak halal darah seorang muslim (untuk ditumpahkan) kecuali karena salah satu dari tiga perkara; orang yang menikah lalu berzina, jiwa dengan jiwa (qishash membunuh orang), dan  orang yang meninggalkan agamanya serta memisahkan diri dari jamaah (kaum muslim).” (Hadis riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim)

Hasil ijtihad jumhur ulama klasik, memasukkan orang murtad dalam kategori المفارق للجماعة . Baik seorang murtad tersebut melawan jamaah muslim atau tidak. Dan hukum ini berlaku untuk muslim laki-laki maupun muslim perempuan. Akan tetapi, ulama Hanafiyah memiliki hasil ijtihad sendiri. Yakni yang boleh dihukum mati hanyalah orang murtad laki-laki, sedangkan perempuan tidak dengan dibunuh.

Selanjutnya, Syekh Ahmad Thayyib menegaskan “Mengapa perempuan tidak dihukum mati, sebab dari kemurtadan mereka tidak mengisyaratkan adanya perlawanan dari mereka terhadap jamaah muslim, atau mereka tidak akan keluar dari jamaah muslim. Hal ini yang juga mengakidkan, bahwa alasan jumhur ulama klasik menghukumi orang murtad  berhak dibunuh adalah sebab dikhawatirkan mereka akan membahayakan umat Islam. Yang mana hal ini juga kemudian menjadi titik tolak ijtihad ulama modern terkait hukum orang murtad.”

Banyak ulama fikih modern seperti Imam Abu Zahra’, Imam Syaltut, Imam Khallaf, dan lain-lain yang kemudian berijtihad kembali soal hukum orang murtad, dan hasilnya pun berbeda dengan mayoritas ulama fikih klasik. Mereka (ulama fikih modern) membenarkan bahwa murtad adalah bagian dari tindakan kejahatan atau dosa seorang muslim. Akan tetapi, mereka tidak lantas dibunuh jika tidak segera bertaubat. Hukuman orang murtad tidak berlaku sebagai had (untuk dibunuh). Melainkan ia berupa ta’zîr yang dipasrahkan kepada hakim atau pemangku kebijakan di wilayahnya masing-masing. Dalam literatur fikih, had diartikan sebagai hukuman yang bersifat pasti dan telah ditentukan. Sedangkan ta’zîr bersifat fleksibel menyesuaikan keadaan. Yang berhak mendapatkan ta’zîr tersebut pun, tidak mutlak setiap orang yang keluar dari Islam. Melainkan dengan syarat dia murtad yang lantas memerangi Allah SWT. dan Rasulullah SAW.

Baca Juga:  Pengertian Kaidah al-Masyaqqah Tajlibu al-Taisir

Landasan ulama fikih modern di antaranya ada tiga hal. Pertama, hukumun orang murtad tidak dijelaskan langsung dalam Alquran. Kedua, Rasulullah SAW. selama hidupnya tidak pernah membunuh orang murtad. Ketiga, menyikapi hadis yang dijadikan landasan oleh ulama fikih klasik, para ulama fikih modern pun bertumpu pada hadis serupa namun diriwayatkan oleh Sayyidah Aisyah RA. dengan redaksi yang agak berbeda. Namun keduanya sama-sama hadis shahih. 

لَا يَحِلُّ قَتْلُ مُسْلِمٍ إِلَّا فِيْ إِحْدَى ثَلَاثِ خِصَالٍ زَانٍ مُحْصِنٍ فَيُرْجَمُ وَرَجُلٌ يَقْتُلُ مُسْلِمًا مُتَعَمِّدًا فَيُقْتَلُ وَرَجُلٌ يَخْرُجُ مِنَ الإِسْلَامِ فَيُحَارِبُ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَيُقْتَلُ أَوْ يُصْلَبُ أَوْ يُنْفَوْ مِنَ الأَرْضِ

“Tidak halal membunuh seorang muslim kecuali sebab tiga perkara; seorang pezina yang telah menikah maka dia dirajam, seseorang yang membunuh muslim secara sengaja maka dia dibunuh sebab qishas, dan seseorang yang keluar dari Islam lantas memerangi Allah SWT. dan Rasulnya SAW. maka ia dibunuh atau disalib atau diasingkan.”

Hadis ini menegaskan bahwa seorang murtad yang yang dijatuhi hukuman adalah mereka yang membahayakan, melawan, dan memerangi kaum muslim. Sehingga jika kemurtadannya tidak tidak untuk melawan dan memerangi muslim, maka tidak ada hukuman baginya.  

Sebagaimana yang kita tahu juga, bahwa Islam bukanlah agama yang mengajarkan kekerasan. Islam hadir membawa rahmat untuk seluruh manusia, bukan hanya orang muslim. Sehingga hukum-hukum yang ada dalam Islam pun, pasti mengedepankan maslahat dan berlandaskan asas kemanusian. Hal ini bukan lantas menjadikan pendapat ulama fikih klasik sepenuhnya tidak sesuai atau tidak membawa nilai Islam.

Akan tetapi, perlu kita ketahui bahwa hukum fikih merupakan produk ijtihad manusia yang bersifat dzanniy atau tidak pasti. Sehingga produk hukum tersebut berbeda-beda di kalangan ulamanya sendiri, pun tidak bisa disama ratakan realisasinya di semua keadaan. Sekali lagi, hukum fikih bersifat dinamis, ia berubah-ubah  menyesuaikan zaman, tempat dan keadaan.  

Baca Juga:  Penjelasan Rukun Iman dalam Kitab I’anatu al-Mustafid

 

Rekomendasi

fatimah ahli fikih uzbekistan fatimah ahli fikih uzbekistan

Fatimah as-Samarqandi, Sang Ahli Fikih Perempuan dari Uzbekistan

sheila hasina influencer fikih sheila hasina influencer fikih

Ning Sheila Hasina, Influencer Fikih Perempuan

single mom ulama besar single mom ulama besar

Kisah Ibu dari Rabi’ah Ar-Ra’yi, Single Mom yang Didik Anaknya Jadi Ulama Besar

Boleh Membunuh Orang Murtad Boleh Membunuh Orang Murtad

Apakah Boleh Membunuh Orang Murtad?

Ditulis oleh

Tanzila Feby Nur Aini, mahasiswi Universitas al-Azhar, Kairo di jurusan Akidah dan Filsafat. MediaI sosial yang bisa dihubugi: Instagram @tanzilfeby.

2 Komentar

2 Comments

Komentari

Terbaru

Sekjen IIFA: Syariat Islam Terbentuk Dari Fondasi Kemaslahatan Sekjen IIFA: Syariat Islam Terbentuk Dari Fondasi Kemaslahatan

Sekjen IIFA: Syariat Islam Terbentuk Dari Fondasi Kemaslahatan

Berita

Prof. Dr. Nasaruddin Umar: Syariah Bukan fenomena Agama Tetapi Fenomena Ekonomi Juga Prof. Dr. Nasaruddin Umar: Syariah Bukan fenomena Agama Tetapi Fenomena Ekonomi Juga

Prof. Dr. Nasaruddin Umar: Syariah Bukan fenomena Agama Tetapi Fenomena Ekonomi Juga

Berita

Prof. Dr. Phil. Kamaruddin Amin, M.A. : SHARIF 2024 Membahas Prinsip Syariah yang inklusif Prof. Dr. Phil. Kamaruddin Amin, M.A. : SHARIF 2024 Membahas Prinsip Syariah yang inklusif

Prof. Dr. Phil. Kamaruddin Amin, M.A. : SHARIF 2024 Membahas Prinsip Syariah yang inklusif

Berita

Apakah Komentar Seksis Termasuk Pelecehan Seksual?

Diari

Jangan Insecure, Mari Bersyukur

Muslimah Daily

Pentingnya Self Love Bagi Perempuan Muslim

Diari

Mengenal Ingrid Mattson, Cendekiawan Muslimah dari Barat Mengenal Ingrid Mattson, Cendekiawan Muslimah dari Barat

Mengenal Ingrid Mattson, Cendekiawan Muslimah dari Barat

Muslimah Talk

anjuran menghadapi istri haid anjuran menghadapi istri haid

Haid Tidak Stabil, Bagaimana Cara Menghitung Masa Suci dan Masa Haid?

Ibadah

Trending

Jangan Insecure, Mari Bersyukur

Muslimah Daily

anjuran menghadapi istri haid anjuran menghadapi istri haid

Haid Tidak Stabil, Bagaimana Cara Menghitung Masa Suci dan Masa Haid?

Ibadah

Siapa yang Paling Berhak Memasukkan Jenazah Perempuan Ke Kuburnya?

Ibadah

keadaan dibolehkan memandang perempuan keadaan dibolehkan memandang perempuan

Adab Perempuan Ketika Berbicara dengan Laki-Laki

Kajian

Pentingnya Self Love Bagi Perempuan Muslim

Diari

Sya’wanah al-Ubullah: Perempuan yang Gemar Menangis Karena Allah

Muslimah Talk

anak yatim ayah tiri luqman hakim mengasuh dan mendidik anak anak yatim ayah tiri luqman hakim mengasuh dan mendidik anak

Hukum Orangtua Menyakiti Hati Anak

Keluarga

ayat landasan mendiskriminasi perempuan ayat landasan mendiskriminasi perempuan

Manfaat Membaca Surat Al-Waqiah Setiap Hari

Ibadah

Connect