BincangMuslimah.Com – Ratu Safiatuddin, pemimpin perempuan pertama dalam sejarah kesultanan Aceh yang didaulat menjadi Sultanah pada 5 Februari 1641. Gelar lengkapnya yakni Sri Sultanah Ratu Safiatuddin Tajul-A’lam Syah Johan. Beliau lahir pada tahun 1612 dari rahim permaisuri pertama yakni Putri Sani Ratna Sendi Istana dari Kerajaan Pahang dan Sri Sultan Iskandar Muda yang memerintah kerajaan Aceh selama 29 tahun (1607-1636). Ratu Safiatuddin diangkat untuk menggantikan sang suami, Sultan Iskandar Tsani Alauddin Mughayat Syah yang wafat pada tahun 1614 tanpa adanya warisan penerus kerajaan.
Setelah itu, terjadi masa kekosongan pemerintahan (vacum of power) di kerajaan Aceh, di mana sulit mencari pemimpin laki-laki dari keluarga terdekat yang dapat meneruskan tahta kerajaan (wikipedia). Hiruk pikuk masyarakat Aceh perihal pemilihan Raja kian meredam setelah Syekh Nuruddin Ar-raniry, seorang ulama yang sangat berpengaruh di kerajaan mempelopori musyawarah pemilihan pemimpin tersebut. Dan hasil bulat musyawarah mengarah pada pengangkatan Ratu Safiatuddin sebagai Sultanah Aceh dengan pertimbangan bahwa wanita boleh diangkat menjadi pemimpin jika memenuhi syarat-syarat keagamaan, akhlak, dan ilmu pengetahuannya.
Dalam bukunya, “Aceh Merdeka di Bawah Pimpinan Ratu”, A. Hasjmy menuturkan bahwa Ratu Safiatuddin sangat menjunjung tinggi prinsipnya untuk mengangkat kedudukan wanita. Beliau ingin meruntuhkan stigma masyarakat yang selalu menganggap wanita lemah dan tidak berhak mendapatkan posisi dalam pemerintahan. Hal ini dibuktikan dengan tindakan beliau yang merekrut kurang lebih 22 orang wanita untuk menjadi anggota Majelis Mahkamah Rakyat. Beliau sampai hati membuat undang-undang khusus wanita agar meminimalisir kondisi buruk wanita pada saat itu serta tidak adanya ketimpangan dalam keadilan sosial bermasyarakat. Undang-undang tersebut diajukan kepada Majelis Mahkamah Rakyat kemudian resmi disahkan menjadi undang-undang. Adapun isinya adalah sebagai berikut:
- Setiap orang tua wajib menyediakan rumah untuk anak perempuannya. Setelah anak perempuan tersebut menikah, rumah tersebut menjadi hak milik anak perempuan itu.
- Tidak hanya rumah, orang tua juga harus memberikan investasi seperti sepetak sawah, sebidang kebun, atau seutas emas.
- Suami harus memberikan sawah kepada istrinya yang kemudian hak miliknya jatuh kepada istri, serta membawa seperangkat pakaian dan juga emas.
- Sepasang suami istri harus tinggal bersama di rumah yang dimiliki oleh istri tersebut.
- Selama rumah tangga berjalan dengan baik dan damai, maka seluruh harta yang mencakup rumah, sawah, dan kebun statusnya menjadi milik bersama.
- Harta kekayaan dalam masa pernikahan dibagi dua, 50% menjadi hak istri dan 50% menjadi hak suami.
- Jika terjadi perceraian, suami harus meninggalkan rumah istrinya, termasuk harta bawaan seperti sawah, kebun, perhiasan, sepenuhnya menjadi hak milik istri.
- Dalam masa iddah setelah perceraian, mantan suami masih harus bertanggung jawab menafkahi mantan istrinya. (Hasjmy.1977.126-128)
Selanjutnya sebagai orang yang sangat menyukai ilmu pengetahuan dan gemar belajar sedari kecil, Ratu Safiatuddin juga memfokuskan strateginya dalam pendidikan dengan mendirikan perpustakaan di wilayah kesultanan Aceh (Akbarizan, Kepemimpinan Perempuan dalam Islam dan Melayu). Beliau sendiri menguasai beberapa ilmu seperti ilmu mantik, tasawuf, sejarah, fikih, sastra, dan berapa bahasa (Arab, Urdu, Persia, dan Spanyol). Perhatian beliau terhadap pendidikan adalah dengan ikut andil dalam meratakan dan memajukan pendidikan di semua wilayah Aceh terutama di pusat pendidikan bernama Jami’ Baiturrahman. Hal semacam ini beliau perhatikan agar tidak ada kesenjangan dalam pendidikan, begitu pula tidak membedakan pendidikan untuk laki-laki dan wanita karena semua mendapat hak yang sama.
Bersumber dari buku Pahlawan Wanita Muslimah dari Kerajaan Aceh yang Melegenda, Ratu Safiatuddin juga memfokuskan kerja pemerintahan untuk menjaga keamanan wilayah Aceh karena pemerintahannya sedang bersamaan dengan penjajahan belanda. Kedatangan penjajah belanda dengan organisasi perdagangannya bernama V.O.C (Vereenigde Oost Indische Compagnie) yang mengincar penghasil timah terbesar di selat malaka dan seringkali membombardir kesultanan Aceh. Meskipun mereka lebih ganas, Ratu Safiatuddin tetap bersikukuh ingin mempertahankan keamanan wilayah Aceh dari kehancuran.
Selama kurun waktu 34 tahun, Ratu Safiatuddin sangat membuktikan keberanian dan kehebatannya sebagai sosok pemimpin wanita. Ia membuktikan pada zamannya bahwa wanita bisa setara dengan laki-laki dengan wujud nyata dalam setiap strategi pemerintahan yang dibentuknya. Bahkan Syekh Nuruddin ar-Raniry juga menuliskannya sebagai sosok sultanah yang adil dan bijaksana dalam karyanya, Bustanus Salatin.
Dilansir dari majalah Balai Pelestarian Nilai Budaya dan Nilai Tradisional Banda Aceh, sampai detik ini nama beliau dikenang sebagai nama salah satu tugu taman di Aceh, nama jalan dan nama sekolah di kawasan Jambo Tape, Aceh. Dari segi peran, harusnya beliau juga bisa disebut sebagai pelopor dan tokoh feminisme bahkan sebelum adanya R.A Kartini. Karena keberaniannya dalam peperangan dan kepandaiannya mengatur strategi pemerintahan, beliau mampu menstabilkan dan memulihkan kondisi kerajaan setelah sempat kosong dari dalam maupun luar pemerintahan tidak hanya dari bidang ekonomi, politik pertahanan, ilmu pengetahuan, sosial budaya, tapi juga kemakmuran rakyat termasuk para wanita.
1 Comment