BincangMuslimah.Com – Setiap manusia akan melewati fase anak-anak, remaja, dewasa, hingga tua dalam hidupnya. Saat pertama dilahirkan, kita belum memiliki pengetahuan apapun tentang kehidupan di dunia. Perlahan kita tumbuh dan berkembang, hingga kemudian mampu mengenali hal-hal di sekeliling lewat bimbingan orang tua. Setelah beranjak dewasa, kita sudah tidak perlu lagi pembinaan orang tua dari jarak dekat.
Justru kita yang beralih peran mendidik anak-anak kita setelah menikah. Fase ini berlanjut hingga kita berusia senja. Saat di mana kemampuan indera perlahan menurun. Mata tidak sejernih saat memandang halaman rumah di masa muda. Telinga tidak sepeka saat mendengar teriakan teman bermain masa muda. Pun akal sudah tak kuat menyimpan memori-memori masa lalu.
Gambaran fase tersebut, bagi saya pribadi, sudah menjadi bukti yang sangat kuat akan kefanaan diri manusia. Hal apa saja yang dimiliki manusia, suatu waktu nanti akan tiba waktunya hal tersebut menghilang. Paras yang menawan, tubuh yang kuat, bahkan akal yang cerdas pun pada akhirnya menemui ujung kefanaannya.
Di sisi lain, gambaran fase tersebut juga mengisyaratkan bahwa manusia adalah makhluk yang lemah. Bagaimana tidak, sesempurna apapun manusia dibandingkan hewan ia tetap tidak memiliki kekuasaan penuh akan dirinya sendiri. Sekalipun dia adalah orang terpandai atau terkaya di dunia, yang bahkan kehebatannya telah diakui oleh seluruh penduduk dunia, dia tetap tidak mampu menghindari kodrat manusia untuk berjalan melewati fase-fase tersebut. Manusia tidak bisa menghindari sakit, serta tidak mampu menghindari musibah di depannya. Dan yang paling penting, manusia tidak kuasa menghindari kematian, walaupun ia berupaya lari darinya.
Titik inilah yang menunjukkan bagaimana lemahnya manusia tersebut, sebab masih ada kekuatan di atasnya. Dzat yang menguasai seluruh alam semesta, dan tidak ada satu makhluk pun yang ikut campur akan segala kehendak-Nya. Memang benar, bahwa manusia adalah makhluk paling sempurna, makhluk yang diberi keistimewaan akal sehingga dapat memakmurkan dan melestarikan kehidupan di dunia.
Akan tetapi, hal penting yang perlu diingat adalah keberadaan Dzat Pencipta alam semesta itu sendiri. Dzat yang kuasa untuk menciptakan langit-bumi seisinya hanya dengan kun fayakûn, seketika terciptalah. Dzat yang mampu menggerakkan isi dunia tanpa intervensi dari siapa pun. Fenomena alam berupa tsunami, gempa bumi, perubahan cuaca ekstrem tanpa prakiraan, sudah menjadi bukti kuat bagaimana Allah SWT. kuasa menggerakkan alam semesta tanpa berunding dengan siapa pun.
Setelah meyakini hal tersebut, maka bagi seorang muslim bukan hal yang sulit untuk mengimani kebenaran adanya kehidupan setelah kematian di dunia. Memang benar, sejauh yang bisa kita lihat, akhir perjalanan manusia adalah kematian. Yang tersisanya hanya jasad tak bernyawa dalam balutan kafan. Setelah dikubur, maka hanya tulang belulang yang tertinggal di bumi.
Akan tetapi, jika kita coba membayangkan ada kehidupan setelah kematian di dunia, maka kita akan mendapati hal tersebut adalah hal yang mungkin terjadi. Sangat mungkin jika ruh manusia diangkat dan diganti dengan jasad yang baru atau jasad yang telah hancur disatukan kembali di alam yang berbeda. Bukan hal yang mustahil bagi kita untuk mempercayainya, setelah kita meyakini keterbatasan manusia di hadapan Sang Pencipta.
Sebagaimana kita membayangkan asal muasal janin dalam perut ibu. Jika ditelisik secara empiris, maka kita akan menemukan fakta janin dalam kandungan ibu adalah hasil pembuahan sel telur ibu oleh sel sprema ayah. Akan tetapi, bagaimana janin tersebut tumbuh—yang mana ia bukan hanya benda mati melainkan makhluk bernyawa yang memiliki ruh dan jiwa dalam dirinya, adalah suatu hal yang sulit untuk dijelaskan lewat bukti empiris. Dalam kondisi tersebut, tentu kita akan meyakini adanya kekuatan lain di luar manusia itu sendiri. Yang tidak lain adalah Allah SWT. Jika demikian, maka adanya kehidupan setelah kematian pun bukan hal yang mustahil adanya. Untuk menciptakan manusia dari ketiadaan saja Allah SWT. mampu, apalagi hanya untuk menghidupkan kembali manusia di alam yang berbeda.
Selain dalil aqli di atas, Allah SWT. juga telah menegaskan kita akan kebenaran kehidupan manusia setelah kematian di beberapa ayat dalam Alquran. Di antaranya dalam Surat ar-Rum ayat 27 yang berbunyi
وَهُوَ الَّذِيْ يَبْدَؤُا الْخَلْقَ ثُمَّ يُعِيْدُه وَهُوَ اَهْوَنُ عَلَيْهِۗ
“Dan Dialah yang memulai penciptaan, kemudian mengulanginya kembali, dan itu lebih mudah bagi-Nya.” (QS. Ar-Rum ayat 27)
Dalam tafsir al-Washith, Syekh Muhammad Sayyid Thantawi menjelaskan, ayat tersebut menegaskan imkâniyyah al-ba’ts (Kemungkinan/ketidakmustahilan manusia dibangkitkan dari kematian). Allah lah Dzat yang menciptakan manusia tanpa ada yang mendahului, dan tanpa ada yang mampu meniru penciptan-Nya. Kemudian Allah juga lah yang membangkitkan kembali manusia dari alam kubur untuk memenuhi panggilan hisab dan menerima imbalan atas apa yang telah dilakukan di dunia (yaum al-jazâ’). Imam Ibnu Katsir juga mengutarakan hal serupa dalam tafsirnya.
Adapun kalimat وَهُوَ اَهْوَنُ عَلَيْهِ menegaskan akan mudahnya membangkitkan manusia bagi Allah SWT. jika dibanding menciptakannya dari awal ketiaadan. Syekh Muhammad Sayyid pun mengutarakan bahwa, secara logis manusia pun akan berpikir demikian. Untuk mengulangi atau mengembalikan suatu hal setelah ia berhasil menciptakannya adalah hal yang tidak sulit. Apalagi perkerjaan tersebut dinisbatkan kepada Allah, Tuhan alam semesta.
Hal ini juga diimani oleh Nabi-nabi terdahulu sebelum Nabi Muhammad SAW. Yang mana mengingkari kebenaran adanya kehidupan setelah mati menjadi rukun keimanan seorang muslim. Demikianlah dalil aqli dan naqli tentang kebenaran adanya kehidupan setelah manusia mati. Semoga kita dapat meyakini kebenaran hal tersebut dengan sebenar-benarnya, berlandaskan dalil-dalil yang kuat. Sebab di luar sana banyak sekali orang-orang yang mengingkari hal tersebut.
2 Comments